Oleh: Dwi Setiawan.
Eks Presiden Mahasiswa Universitas Samudra 2021/2022
Kuliah merupakan proses pendidikan tingkat lanjut untuk membentuk diri menambah wawasan keilmuan sesuai pilihan minat dan bakat dengan pilihan jurusan atau keahlian yang di inginkan. Seringkali keinginan untuk melanjutkan pendidikan itu juga harus terpaksa dilakukan karna harus mengikuti standarisasi melamar pekerjaan yang diingini karna harus memiliki gelar didepan.
Belum lagi belakangan dengan banyaknya kampus-kampus yang menaikkan biaya perkuliahan nya. Tentunya ini sangat membuat tekanan ke bawah bagi keluarga dan masyarakat kelas menengah kebawah yang ingin anaknya melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat lanjut tersebut.
Namun pada praktik nya pendidikan juga tidak selalu bisa menjamin seseorang mempunyai keahlian yang sebanding dengan yang di inginkan para pencari tenaga kerja. Karna dalam pendidikan itu, ilmu-ilmu yang diberikan tentunya sudah di batasi standarisasi dari kurikullum penyelenggara pendidikan itu sendiri.
Namun dalam dunia pekerjaan yang notabene nya terbatasi oleh peluang yang sempit, pendidikan justru berlomba meningkatkan jumlah mahasiswa dengan biaya kuliah yang tinggi agar penghasilan kampus juga meningkat. Namun hasil dari pendidikan yang mahal itu justru malah berpotensi besar meningkatkan para pengangguran berlabel sarjana. Karna memiliki gelar dan ijazah tapi minim pengetahuan yang sebanding dengan dunia lapangan pekerjaan yang dibutuhkan.
Miris nasib pendidikan masa kini. Seakan-akan kampus bukan bagian dari pendidikan melainkan warung komersialisasi mencari untung dengan mencetak ijazah dan gelar sebanyak-banyak nya. Padahal tujuan dari pendidikan itu adalah mencerahkan dan pendidikan itu adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya milik segelintir orang yang punya uang atau harta melimpah.
Nilai-nilai pendidikan yang harusnya mampu membuat kaum marjinal tercerahkan, kini malah seperti naik level hanya untuk orang-orang yang banyak harta saja. Lalu apakah kedepan hanya orang kaya dan punya ekonomi yang tinggi yang boleh berkuliah?
Bahkan kalau dibandingkan dengan zaman penjajahan dulu, mungkin pendidikan masa itu lebih jujur dibandingkan pendidikan masa kini. Memang benar dulu secara politik pemerintah Hindia Belanda itu tetaplah kolonial. Akan tetapi guru-guru dan mahaguru mereka adalah kaum humanis cerah budi (enlightened humanists) yang bersikap tulus dan bangga bila berhasil mengembangkan intelegensi eksploratif kreatif, kritis dan mandiri masuk ke dalam pemikiran dan disiplin kerja pada para murid pribumi saat itu.
Humanisme dan kejujuran mereka tampak begitu mengesankan, ketika separuh lebih dari para profesor dan dosen terkemuka dari Recht Hoge School protes dan mengajukan petisi resmi atas penangkapan Ir. Soekarno oleh Gubernur Jenderal de Graeff, karna menurut mereka penangkapan itu tidak berdasarkan hukum.
Memang benar tidak di sengaja tetapi secara alamiah kemerdekaan kita pun kita dapatkan berkat buah dari pencerdasan pendidikan barat saat itu. Paradigma pendidikan enlightened humanists kala itu telah membuahkan calon-calon perintis kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Soetan Sjahrir dan lain-lain.
Saat itu memang arti ijazah masih kurang berbicara, melainkan pendidikan yang mengedepankan mutu dan kualitas. Ini terbukti ketika kita mengamati generasi perintis dan para pendiri negeri ini dulu. Hanya sedikit dari mereka yang sebenarnya memiliki gelar sarjana, sebagian besar mereka hanya tamatan SD, SLTP, ataupun SLTA. Seperti Soetan Sjahrir yang hanya memiliki ijazah SMA di laci lemarinya. Tapi ketika ia ditugaskan menjadi perdana menteri mampu manjadi pengatur strategi dan diplomasi menghadapi pemerintah Hindia Belanda di Den Haag ataupun saat diserang di sidang Keamanan PBB. Bahkan sjahrir sanggup bermain catur dalam dunia strategi dan diplomasi dengan beberapa kerajaan dan negara lain seperti Inggris, Amerika, Australia, Singapura, Blok uni Soviet, dll.
Bukan saja Soetan Sjahrir kala itu. Saat itu banyak tingkatan menteri lainnya yang hanya tamatan SLTA seperti Haji Agoes Salim, Mohammad Natsir, Aroedji Kartawinata, Baswedan, dan lain-lain. Bahkan pendiri kantor berita Antara dan diplomat berbakat Adam Malik pun konon hanyalah mengantongi ijazah formal SD saat itu. Betapa terbukti nya mereka memiliki prestasi yang luar biasa.
Dari sana kita paham bahwa dunia pendidikan adalah hal vital bagi kemajuan negara kita kedepan. Upaya perbaikan kualitas pendidikan adalah hal yang mendesak untuk dilakukan. Karna melalui pendidikan lah pilar-pilar utama penggerak negeri ini kedepan akan tumbuh. Jadi kita semua berharap berhenti melibatkan dunia pendidikan dengan keuntungan ataupun komersialisasi. Anggap saja pendidikan itu bagian dari investasi masa depan negeri ini ke depan.
Pendidikan harus tumbuh berkualitas, dengan mengedepankan keahlian dan kompetensi dengan kebutuhan dunia kerja dan kaitan nya dengan masa depan negeri ini. Oleh sebab itu pembenahan pendidikan yang mengedepankan pembentukan kepribadian dan kapabilitas individu sangat dibutuhkan bagi negeri kita.
Jika itu terbenahi maka kedepan yang menjadi tolak ukur pendidikan itu adalah mutu. Bukan lagi selembar kertas ataupun gelar semata. Saat itu pendidikan bukan lagi sekedar impian kosong, melainkan fondasi untuk membangun negeri bagi generasi mendatang.
Leave a Review