Oleh: Alwan Samri
Ketua MPM USM Banda Aceh
Akhir-akhir ini kita melihat suhu politik di Aceh semakin memanas. Hal ini disebabkan fenomena kontestasi politik pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, bulan november mendatang. Politik pilkada di Aceh ini, menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis, politisi maupun tokoh masyarakat ataupun masyarakat yang terlibat langsung didalamya. Baik terlibat dalam politik praktis, maupun sebagai pengamat. Sehingga, menjadi sangat menarik ketika berbicara politik menjelang pilkada khususnya di provinsi Aceh.
Aceh atau yang kerap kali disebut bumi serambi mekkah, telah mengukir banyak sekali sejarah perpolitikkan. Mulai dari melawan penjajah Portugis, Jepang, Belanda, sampai konflik antara kelompok etnis serta perjuangan untuk otonomi dan kemerdekaan serta mempertahankan marwah dan kekuasaan Aceh pada saat itu.
Sejarah Aceh (History Of Aceh), menjadi catatan politik kita hari ini bahwa pada masanya Aceh pernah mengalami masa keemasan ketika berhasil mengusir imperialisme dan kolonialisme yang mencoba ingin berkuasa di tanah Aceh. Namun, dalam hal ini sempat terjadi perpecahan antara ulama dengan umara karena ulah politik adu domba kolonial Belanda.
Topik ini bagi penulis sangat menarik untuk kita bahas. Sejenak mari kita merefleksikan serta mengkaji ulang, mengapa politik adu domba ini sangat berbahaya?
Pertanyaan ini, kembali membawa kita kepada suasana sejarah peradaban Aceh kira-kira berkisar pada tahun 1945-1946 sesudah Indonesia menyatakan kedaulatannya. Dimana pada saat itu terjadi konflik sosial atau perang saudara antara uleebalang/bangsawan dengan ulama. Peristiwa ini tidak terlepas dari upaya politik adu domba yang di lakukan oleh kolonial Belanda pada saat itu untuk memisahkan ulama dengan umara. Belanda merangkul ulee balang untuk memerintahkan rakyat dan mencegah ulama terjun dalam bidang pemerintahan. Sehingga, melahirkan kontroversi dan polemik diantara tokoh bangsa tersebut. Sejarah ini kerap kali di kenal dengan peristiwa cumbok atau revolusi sosial.
Ulama dan ulee balang ini, sebetulnya jantong hate rakyat Aceh. Karena diadu domba oleh kolonial Belanda akhirnya terjadilah kebencian dan saling mencurigai satu sama lain. Politik adu domba Inilah, cara yang dilakukan oleh kolonialisme dan kapitalisme untuk mendapatkan kekuasaanya. Namun, seiring berjalannya waktu kebencian serta saling mencurigai yang terjadi dikalangan ulama dan umara hilang dengan sendirinya setelah kedua tokoh tersebut sama-sama memahami kesalahan dan kekhilafannya. Sejarah tersebut memberikan pelajaran kepada kita, betapa bahayanya politik adu domba untuk mendapatkan kekuasaan.
Melihat peristiwa ini, ada kecemasan batin yang kita alami. Ketika dibumi serambi ini dibudayakan politik kotor seperti politik adu domba yang dilakukan kolonial Belanda. Hal ini, selalu mendorong kita untuk menuliskan ide-ide dan gagasan, supaya History Of Aceh menjadi Pelajaran politik kita kedepan.
Bangsa yang dipandang kental akan hukum adat dan hukum syariat, tentu menjadi cerminan yang baik dalam berkehidupan berkebangsaan. Hal ini, kita mulai dari cara pandang kita dalam memainkan peran politik dilingkungan kita, sesuai dengan hukum dan sesuai dengan aturan.
Kembali kepada politik pilkada di Aceh, ada banyak kita melihat di media-media massa, bahwa budaya politik adu domba juga menjadi senjata emas untuk memenangkan kandidat mereka yang akan maju di kontestasi pilkada mendatang. Praktik yang di lakukan sangat bervariasi. Mulai dari saling menjatuhkan, menyebarkan informasi yang tidak jelas, menghalangi dan membatasi hak politik perempuan, dan bahkan mengadu domba antara masyarakat dan kandidat lawan politiknya dengan cara menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan data dan realita yang terjadi. Budaya politik adu domba inilah sebetulnya yang kita takutkan di tanah rencong ini. Kita mengangap bahwa, lebih berbahaya ketika politik adu domba ini dibudayakan oleh politisi lokal daerah itu sendiri. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan semata.
Aceh dengan segala keistimewaanya, sudah memperkenalkan kepada kita satu pemikiran bahwa pemimpin bangsa atau cendikiawan dengan ulama itu tidak boleh di pisahkan atau bercerai. Sebab jikalau bercerai antara ulama dengan umara/cendikiawan niscaya binasalah negri ini. Maka sejarah aceh mencatat, betapa pentinya persatuan dan kesatuan dalam merawat persaudaraan dan peradaban yang berkemajuan.
Sebagai mahasiswa yang cinta akan keadilan dan perdamaian, kita ingin pemimpin aceh kedepan lebih berfikir secara visioner untuk melihat masa depan Aceh yang lebih cerah. Kita ingin, pemimpin kita kedepan siap adu gagasan bukan adu domba. Sebab, yang di perlukan masyarakat hari ini, bukan baliho besar di sepanjang jalan, bukan janji-janji manis para politisi, bukan pencitraan dan bukan pula adu domba sana sini. Namun, yang masyarakat inginkan adalah pemimpin yang punya gagasan untuk menjawab terkait persoalan masyarakat Aceh sesuai dengan tantangan zaman.
Ada banyak cara untuk menyampaikan gagasan, baik melalui tulisan maupun lisan. Hadir dalam forum diskusi, serta membuka ruang diskusi di tengah-tengah masyarakat itu baru dikatakan pemimpin. Dari sekian banyaknya calon pemimpin Aceh kedepan, hanya satu di antara banyaknya calon, yang selalu membuka ruang diskusi bersama masyarakat. Terjun ke lapangan melihat masyarakat dan ini menjadi budaya politik yang seharusnya kita terapkan di bumi serambi mekkah ini.
Didalam buku dasar-dasar ilmu politik yang di tulis Prof. Miriam Budiardjo beliau mengatakan politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Maka untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan keterampilan dan etika serta permainan dan pengetahuan politik yang baik.
Barangkali untuk menjaga hukum adat dan hukum syariat di Aceh, maka mari kita jadikan Aceh sebagai role model dalam menjalankan proses memilih pemimpin kedepan. Oleh sebab itu, penting bagi setiap kalangan politisi atau para pemangku kepentingan terlebih kepada calon pemimpin kedepan, baik dari Aceh maupun luar Aceh untuk menghindari politik adu domba. Dari pada menghabiskan energi untuk memecah belah, lebih baik fokus pada isu yang benar-benar penting bagi masyarakat. Ini termasuk isu-isu seperti infrastruktur, pendidikkan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi.
Menjelang pilkada kedepan, harapan-harapan yang selalu kita sampaikan kepada masyarakat adalah untuk lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Kita sebagai masyarakat, jangan mau terbuai dengan janji-janji para pemangku kepentingan, jangan mau di adu domba oleh mereka. Maka oleh sebab itu, pandai-pandailah dalam memahami isu politik serta perbanyak literasi terutama di kalangan anak muda sebagai pemilih produktif. Kita sama-sama menjaga nafas-nafas sejarah yang baik yang telah di wariskan para pahlawan kita. Stop politik adu domba dan stop politik uang (Money Politics).
Suatu bangsa itu akan maju ketika adanya pemimpin yang visioner, dan adanya rakyat yang berkualitas. Mari rajuk persaudaraan, hindari politik adu domba, cegah perpecahan, sukseskan pilkada 2024.
Leave a Review