Membedah Socrates dengan Humor; Socrates dan Ironi Sebuah Kematian (Bagian 3)

Syarifuddin Abe

Oleh Syarifuddin Abe

Kebenaran adalah tonggak kebijaksanaan dalam hidup manusia. Karena menegakkan kebenaranlah Socrates rela mengakhiri hidupnya. Sebuah ide adalah sebuah kebenaran. Bagi orang-orang yang meyakininya, secuil ide sebagai momentum sebuah kebenaran. Makanya, di negara-negara tertentu, ide mesti dipatenkan agar tidak ada orang yang sembarangan menggunakannya. Menggunakan ide tertentu tanpa mendapatkan izin berarti melanggar hukum. Pada masa Yunani Kuno, belum ada pematenan ide, makanya ide dipertahankan.

Bagi Socrates, kematian menjadi hal terkecil dari sebuah ide yang diyakini kebenarannya dan itu dapat berubah sebagai sebuah kenikmatan. Tak ada yang dapat menghentikan ketika kenikmatan menjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan kelezatan. Apakah kematian itu sebuah kenikmatan? Bisa saja, bagi orang-orang tertentu kematian boleh jadi sebagai sebuah kenikmatan. Namun, mempertahankan sebuah ide merupakan kenikmatan tersendiri juga, bahkan kenikmatan yang tiada taranya. Tidah hanya itu, Socrates juga dihukum karena penolakannya terhadap demokrasi, Socrates meragukan demokrasi di Athena karena dikuasai oleh orang-orang yang telah dipengaruhi oleh kaum Sofis, sehingga Socrates berkata, “mana mungkin demokrasi dapat berjalan baik dan pemerintahan akan dapat bertahan, kalau negara dikuasai oleh para orator?”.

Dalam dunia tasawuf, ada Husin Ibnu Mansur Al-Hallaj yang dihukum mati di Baghdad tahun 922, Al-Hallah dituduh sesat dengan ide al-hulul, nur Muhammad dan kesatuan semua agama. Di Jawa ada Syech Siti Jenar, yang dihukum mati dengan ide manunggaling kawula gusti. Di Aceh ada Hamzah Fanshuri yang dihukum mati di depan masjid Raya Baiturrahman dengan ide wahdatul wujud. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan politik, Socrates bukan satu-satunya yang dihukum dengan ide-idenya, masih ada lagi yang lain. Demikian juga apa yang dialami dengan Copernicus dan Galileo Galilei pada abad pertengahan di Eropa dengan heliosentris-nya, juga dihukum mati.

Di Aceh, tokoh Gerakan Aceh Merdeka, Abdullah Syafi’i pernah mengatakan, ide-ide bukanlah sesuatu yang dapat ditukar seperti barang tertentu, dapat dihapus begitu saja, namun ide-ide itu akan hidup sepanjang masa. Orang boleh mati, namun ide-ide itu tetap akan hidup. Istilah Tgk. Abdullah Syafi’ie, dalam ië na bubèe, dalam bubèe na ië, dalam air ada bubu, dalam bubu ada air. Seorang Gerwani ketika tragedi pemberontakan 1965 di Indonesia, sebelum dieksekusi juga pernah berkata, “hari ini kami boleh saja dihukum mati, peluru yang menembus dada kami tidaklah seberapa, tapi darah kami yang menguncur dan muncrat dari dada kami di tanah ini, suatu saat akan bangkit kembali lewat sayur yang tumbuh di sini, sayur itu akan dimakan, maka saat itulah ide-ide yang kami usung ini akan kembali ada”.

Bagi Socrates hukum itu harus ada, harus tegak. Hanya orang-orang yang dianggap aneh dan lucu bahkan gila saja yang rela mati demi hukum itu tegak. Socrates selalu bersikukuh, betapapun jeleknya penegakan hukum pada suatu bangsa, tetap harus dipatuhi. Terlepas para ahli hukum di negara tersebut menghargai hukum atau tidak? Terserah ahli hukum gemar bermain dengan pasal-pasal yang dipercundanginya atau tidak? Demi jabatan atau demi sebuah posisi? Atau demi yang ingin mereka capai? Ahli hukum yang seperti itu bukan racun yang diminum oleh Socrates, melainkan yang telah menjadi ludah dan lendir yang disembur oleh Socrates ke muka-muka para pecundang yang tidak memiliki rasa malu itu.

Bagi seseorang yang tidak jelas idealismenya, jangankan takut mati, suara ‘lapar’ hanya menari-nari saja dalam imajinasinya, para ahli hukum seperti itu dengan penuh keikhlasannya dan kerelaannya mempermainkan hukum sepenuh nafsunya. Demi memperjuangkan tegaknya hukumlah Socrates rela mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun. Kematian bukanlah sesuatu yang ditakutkan oleh Socrates, tapi Socrates rela mati demi sebuah kebenaran. Mati karena menegakkan kebenaran adalah kenikmatan yang tidak dapat dibayangkan nikmatnya. Kalau kita pikir, apa hubungannya antara hukum harus tegak dengan Socrates? Pikir aja sendiri.

Ketika Socrates diputuskan oleh pengadilan dengan hukuman mati, yang menjadi perhatian Socrates bukan masalah kematiannya, melainkan bagaimana nasib filsafat setelah ia tiada? Ia boleh saja tiada hanya karena kesalahpahaman orang memahami filsafatnya, namun ide-ide filsafatnya harus tetap ada, tidak boleh berhenti karena Socrates telah mati. Kematian itu bukanlah jalan akhir dari sebuah ide, karena ide itu akan abadi. Socrates tenang-tenang saja terhadap keputusan itu. Yang tidak tenang adalah murid-murid setia Socrates. Pikiran murid-murid Socrates begejolak. Air mata tumpah. Tapi dasar Socrates, biasa-biasa saja terhadap keputusan itu. Malah Socrates dengan lantang berkata, “Di alam kematianku itu, aku masih bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan filsafat kepada siapa saja yang aku jumpai di sana”.

Plato dan murid-murid Socrates lainnya

Ketika Socrates dihukum lalu dieksekusi mati meminum racun, umur masih Plato 30 tahun. Ia sebagaimana gurunya Socrates, telah membuktikan nasionalisme kepada negara dengan keikutsertaannya dalam perang membela Negara, sebagai prajurit yang tangguh dan berani dalam tiga peperangan. Plato bertemu Socrates pada umur 20 tahun. Plato belajar filsafat pada Socrates dengan tekun dan mengikutinya ke mana saja. Socrates adalah sosok yang tak ada duanya dalam mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran filsafat. Terlepas apapun, Plato telah memiliki banyak kenangan bersama gurunya itu dan ia memahami makna hidup dari gurunya itu juga. Plato adalah catatan-catatan yang lengkap seorang Socrates. Plato adalah tinda emas Socrates. Karena Socrates seorang yang buta-huruf, namun kebijaksanaan yang dimiliki Socrates, telah menjadikan Plato sebagai juru kunci ilmunya. Plato ingat betul kata-kata dari gurunya, “Sebuah kehidupan yang luput dari pengamatan dan direnungkan tidak akan berharga bagi manusia mana pun” (Gunawan Mohamad, 2011).

Plato tidak sendirian sebagai murid Socrates, masih ada murid Socrates lainnya yang setia, seperti Auklides, Anthisthenes, Aristippos dan lainnya. Namun ketiganya tidak memahami dengan sepenuhnya ajaran-ajaran Socrates. Walau mereka juga mendirikan academia, namun mereka memahami ajaran Socrates sepotong-sepotong. Plato-lah yang mengamalkan ajaran-ajaran Socrates dengan benar dan konsisten. Tujuan Socrates dengan bertanya dan bertanya kepada masyarakat Athena, merupakan sebuah reaksi terhadap ajaran yang diajarkan kaum Sofis kepada masyarakat di Athena. Socrates tahu betul penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Sofis, sehingga menggerakkan dirinya untuk memperbaiki masyarakat. Maka dengan bertanya dan bertanya, mengajak masyarakat berpikir lewat pertanyaannya itu. Pertanyaan itu juga dipertanyakan kepada kaum Sofis, hingga mereka kehilangan retorika serta tidak menemukan jawaban yang tepat. Akibatnya, guru-guru Sofis merasa dipermalukan di muka umum, sehingga kaum Sofis menjadi benci dan marah terhadap Socrates.

Apakah Socrates Seorang Nabi?

Kalau ada yang mengatakan Socrates seorang nabi, menurut saya itu sah-sah saja. Berdasarkan sejarah hidupnya, apa yang dialami oleh Socrates hampir sama dengan apa yang dialami oleh para nabi semasa hidup mereka. Hanya saja, pada persoalan ini telah menjadi pro-kontra. Kisah hidupnya juga seperti kisah seorang nabi. Socrates adalah seorang yang percaya kepada Tuhan. Saya malah curiga, ketika kaum Sofis menuduhnya tidak percaya kepada dewa-dewa yang selama ini mereka sembah, Socrates malah percaya kepada Tuhan selain dewa-dewa itu serta telah mengajari pemuda-pemuda Athena-Yunani ajaran benar.

Nurnaningsih dalam bukunya (2017), menjelaskan Socrates dengan sikap religiusitas dalam hidupnya menganggap mitologi yang berkembang di Yunani tidak benar, bagi Socrates itu semua dikarang oleh para penyair waktu itu. Socrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan yang Mahabijaksana dan Mahabaik, yang menciptakan seluruh alam. Socrates menganggap keaktifannya dalam filsafat merupakan tugas dan kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, manusia harus beribadah kepada Tuhan sesuai dengan aturan yang tercantum dalam polis (tidak menolak politeisme). Socrates juga menganggap antara politeisme dan monoteisme, merupakan keyakinan yang tidak perlu diperdebatkan.

Socrates orang yang yakin kepada Tuhan. Menurutnya, Tuhan yang memperkenalkan diri-Nya kepada orang shaleh melalui mimpi, hal ini sesuai dengan apa yang dialami Socrates sejak kecil, yang mengalami pertanda Ilahi. Yang perlu dicatat di sini adalah Socrates tidak pernah menyatakan dirinya dan juga tidak ditemukan pernyataannya yang menunjukkan dirinya mengaku sebagai seorang nabi. Sebelum Socrates dihukum mati, dalam penjara ia gunakan waktunya untuk mengajari murid-muridnya tentang jiwa, keabadian roh serta pandangannya tentang akhirat.

Musuh utama Socrates adalah para elit sosial-politik, penyembah dewa, dan ekonom, mereka mencari berbagai cara untuk menjatuhkan Socrates. Hal seperti inilah yang menjadi batu sandungan utama yang dialami oleh para nabi. Apa yang dialami oleh para nabi juga dialami oleh Socrates. Para elit yang menjadi musuh Socrates dengan berbagai cara mencari cara untuk memanipulasi semua keadaan, perilaku serta cara berpikir Socrates, hal ini untuk mempengaruhi masyarakat umum. Kebenaran obyektif adalah hal terakhir yang diinginkan para penguasa waktu itu, kebajikan yang mereka anut tidak lain hanyalah sikap mementingkan diri mereka sendiri yang penuh dengan keserakahan. Di sinilah para nabi diuji, sebagaimana dalam Alquran, tidak punya pilihan kecuali sabar menghadapi situasi seperti itu. Hal serupa juga dialami Socrates, dengan keberanian yang dimilikinya serta kepasrahan kepada Tuhan yang diyakininya.

Menurut Socrates, inti dari manusia adalah jiwa, manusia pada hakikatnya adalah pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya. Manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya, jiwa yang baik lebih bahagia dari kesehatan badan dan kekayaan yang dimiliki manusia. Socrates selalu berkata “kenali dirimu”. Socrates adalah orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, baginya Tuhan telah membimbingnya (daimonion) dalam segala perbuatannya. Adanya alam membuktikan adanya Tuhan yang mengatur, Socrates meyakini bahwa ajarannya betul-betul rasional.

Socrates konsisten dengan warisan semua nabi, kecuali Nabi Muhammad (saw). Berdasarkan sejarah, Socrates hidup sezaman dengan nabi Zakaria, Ezra, Maleakhi, Hagai dan Nehemia yang terdapat dalam al-Kitab. Socrates hidup jauh sebelum Nabi Muhammad diutus. Harus diakui juga bahwa, perjalanan hidup dan warisan Socrates sendiri banyak juga diselimuti misteri dan kontroversi. Maka tidak ada kemungkinan yang dapat dipastikan tanpa keraguan, sama seperti tidak ada kemungkinan yang dapat dikesampingkan. Namun demikian, benar tidaknya Socrates sebagai seorang nabi, kita kembalikan kepada pendapat dan pandangan para peneliti. Socrates juga telah mengajarkan tentang nilai-nilai moral tertinggi, bagi Socrates nilai-nilai moral itu ada yang baik dan ada yang kurang baik. Socrates sangat yakin bahwa melakukan perbuatan yang tidak baik (jahat) merupakan suatu kemalangan bagi seseorang dan berbuat baik merupakan satu-satunya kebahagiaan bagi manusia. Oleh karenanya, Socrates selalu ingin memberikan contoh yang baik, menjadi simbol kebenaran dan kebajikan, hal ini juga mirip dengan teladan yang dilakukan para nabi. Socrates meyakini, “tidak ada kebajikan yang dapat bertahan jika tidak dilaksanakan dengan tekun dan seharusnya.”

Pandangan Terhadap Sosok Socrates

Socrates adalah tokoh sekaligus filsuf legendaris yang kisah dan pemikirannya tidak akan pernah mati. Abad boleh berganti, pemikiran-pemikirannya akan terus hidup dan akan menjadi rujukan berbagai kalangan. Walau akhir hidupnya boleh dibilang tragis, namun pada masa hidupnya dan dengan kharisma yang Socrates miliki, sangat dikagumi oleh para pengikutnya dan itu juga tidak dimiliki secara mengakar oleh musuh-musuhnya waktu itu. Socrates menjadi kekuatan dan sebagai pribadi yang memiliki integritas, penguasaan dirinya, memiliki wawasan filsafat yang sangat dalam serta memiliki keterampilan argumentasinya yang sangat hebat, bahkan tidak dimiliki oleh siapa pun waktu itu. Socrates merupakan seorang filsuf Yunani pertama yang secara serius mempertanyakan tentang keberadaan etika dan kegunaannya.

Sebagai murid Socrates, Plato memandang Socrates sebagai seorang filsuf yang sangat istimewa, tak pernah berhenti mencari kebenaran. Socrates sangat yakin hanya pengetahuan ‘yang baik’ dapat mengantar manusia kepada kebahagiaan. Demikian juga apa yang disampaikan Xenophon, baginya Socrates adalah pembaharu, khususnya dalam bidang susila, moral, etika serta sebagai seorang pendidik yang selalu memberikan nasehat-nasehat kepada anak-anak muda (Nurnaningsih Nawawi, 2017).

Sebagai filsuf masyhur, Socrates telah banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, di samping mempelajari kehidupannya juga pemikiran dan filsafatnya. Secara khusus, oleh filsuf Islam juga memberikan penghargaan yang tinggi bahkan telah mempengaruhi pemikiran mereka. Al-Kindi (805-873 M) misalnya, sangat mengagumi Socrates, banyak menulis buku tentang Socrates walaupun literaturnya kemudian banyak yang hilang. Ichwanus Al-Safha (840-980 M) juga sebagai pengagum Socrates, bahkan menganggap kematian Socrates sebagai kematian seorang syuhada karbala.

Tidak hanya di dunia Islam, di dunia Barat apalagi. Oleh Jean Jaques Rousseau (1712-1778) yang selalu membanding-bandingkan Socrates dengan al-Masih. Bahkan Shelley (1792-1822) menamai Socrates sebagai seorang al-Masih Yunani. Demikian berkesan dan masyhurnya Socrates sebagai sebuah tonggak berdirinya filsafat, yang hingga saat ini masih menjadi sumber keilmuan. Pengetahuannya tidak pernah kering bagi sebagian besar penulis dan para ahli pikir.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi