Editorial ǀ 13 Maret 2024
Konflik satwa dan manusia masih menghantui republik Indonesia. Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, seekor harimau Sumatera mati di Medan Zoo (Sumatera Utara). Harimau Sumatera dan beberapa harimau lainnya juga mati di tempat tersebut sebagai akibat pengelolaan kandang yang tidak efektif oleh pengelola, (15/02/2024). Dalam konteks ini, satwa jika dikandangkan juga tidak menjamin keselamatan satwa, untuk itu, pilihan untuk pelepasliaran satwa merupakan pilihan yang tepat.
Kemudian, di Sumatera Selatan, di bulan yang sama, (27/02/2024) masyarakat kembali memasuki pemukiman warga, “harimau masuk kampung”, begitulah judul berita waktu itu. Sehari setelah itu, konflik satwa dan manusia kembali terjadi di Jambi (28/02/2024), gajah menyerang pemukiman warga. Kemudian, gajah Sumatera mati di kebun warga, ini terjadi di Aceh Tengah (11/03/2024). Tidak terhenti di situ, sehari setelahnya juga muncul feomena konflik manusia dan satwa di Lampung Barat, harimau menyerang manusia hingga massa berujung membakar kantor Resor Suoh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (12/03/2024)
Jika dicermati, dalam rentang waktu dua bulan berturut, tajamnya konflik yang melanda satwa dan mansuia. Efeknya, jika tidak satwa yang mati, maka manusia yang menjadi korban atau terancam. Saat mencermati dunia konservasi di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera, maka ada suatu benang merah yang belum terurai dengan baik, di antaranya adalah deforestasi yang menyulut satwa konflik dengan warga, bahkan menciptakan kesenangan ekonomi dan budaya bagi warga.
Di balik politik deforestasi yang cenderung dimainkan oleh para pemilik modal yang besar, kemudian ditambah dengan kondisi himpitan ekonomi yang dialami warga. Dalam hal ini warga mebang hutan atau bekera mengelola sawit milik perusahaan di tempat atau kawasannya satwa, sehingga satwa secara bertahap tidak ada lagi mendapat tempat, sehingga satwa turun ke wilayah yang ramah dengan jangkauan waga, apakah itu pemukiman atau perkebunan warga.
Melalui tajuk ini, pada prinsipnya tidak ada dikotomi prioritas dalam membela satwa dan manusia. Keduanya mesti dilindungi secara seimbang, ibarat sebuah ekosistem, semua makhluk hidup saling membutuhkan. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara aktivitas satwa dan manusia, maka yang akan berdampak pada ketidakstabilan sosial, yaitu konflik satwa dan manusia. Tidak tanggung-tanggung, konflik ini dapat mengakibatkan kerugian yang besar, menghilangkan nyawa manusia bahkan mengancam keberlangsungan hidup manusia sebagai akibat lingkungan yang tidak stabil.
Mengenai satwa, mungkin di antara kita masih ada yang belum memahami terkait berapa pentingnya melindungi satwa kunci. Empat satwa kunci tersebut adalah gajah Sumatera, harimau Sumatera, orangutan Sumatera dan badak Sumatera. Rata-rata empat satwa kunci tersebut yang belum mengalami kepunahan adalah di wilayah Sumatera. Barangkali, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa saja nasib harimau Sumatera akan sama dengan nasib harimau Jawa yang mengalami kepunahan.
Lantas mengapa satwa tersebut disebut sebagai satwa kunci? Jawabannya tidak lepas dari faktor bahwa empat satwa tersebut sangat menentukan situasi ekosistem. Misalnya, orangutan juga disebut sebagai petaninya hutan yang secara tidak langsung dapat menghidupkan tumbuhan lainnya di hutan. Demikian juga dengan harimau Sumatera dikenal sebagai raja hutan yang dapat mempengaruhi stabilitas ekosistem.
Namun demikian, tantangan dalam hal melindungi satwa dan kemanusiaan, atau mencegah terjadinya konflik satwa dengan manusia masih berpunca pada persoalan deforestasi yang bersembunyi di balik topeng penguatan ekonomi. Misalnya, di beberapa wilayah Sumatera adalah maraknya perusahaan sawit secara ilegal merambat hutan serta lahan gabut bahkan juga perkebunan milik warga. Selain itu, perdagangan hewan secara ilegal pun masih berlasung di republik ini.
Ketimpangan yang diakibatkan oleh praktik deforestasi dan perdagangan satwa secara ilegal tampak kalah kuat dengan praktik konservasi dan pecegahan perdagangan satwa secara ilegal. Ketidakseimbangan ini tentunya yang menadi korban adalah masyarakat di sekitar satwa atau hutan. Dengan status apapun yang melekat kepada hutan suatu wilayah sejatinya tidak menjamin kemeslahatan masyarakat. Hal ini dapat dicermati dari peristiwa yang menelan korban seperti yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung Barat), juga yang terjadi di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh) yang beberapa daerah di kawasan tersebut masih dihantui oleh konflik satwa dan manusia.
Untuk itu, tantangan untuk melindungi satwa, terutama satwa kunci dan manusia merupakan tantangan yang begitu besar serta berkelanjutan. Berbagai kolaborasi antara pemerintah dan swasta terus dibutuhkan hingga tercapainya harmonisasi dan keseimbangan antara lingkungan dan kemanusiaan. Masih banyaknya tangan-tangan nakal dan tangan “dewa” tak terlihat yang merusak satwa, lingkungan dan manusia dengan motif ekonomi masih menguat bahkan dibuka karpet merah menuju hal tersebut. Akhirnya, atas nama keberlangsungan hidup manusia dan kelestarian lingkungan, ada perjuangan yang tidak boleh berhenti, dan ada harga yang tidak bisa hanya diganti dengan materi. (zulfata)
Leave a Review