Masa (Tidak) Tenang Pemilu 2024

Zulfata. (Foto: IST)

Oleh : Zulfata.
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM),dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)

Mungkin republik ini terlalu banyak basa-basi dalam upaya memperbaiki kualitas Pemilu. Di tengah bayang-bayang kecurangan Pemilu 2024, namun masih ada poros yang terkesan lucu dalam melakukan pengawasan. Berbeda dengan makna masa tenang yang selama tiga hari setelah masa kampanye menuju hari pemungunan suara, jauh dari Undang-Udang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sungguh secara sosiologi, ekonomi dan politik detik-detik menjelang puncak pesta demokrasi merupakan bukanlah masa tenang, melainkan masa tidak tenang.

Bagainama dapat dikatakan masa tenang saat rumah-rumah warga dihantui transaksional politik (belum lagi hal tipu-tipu), jual beli suara, hingga mendengar berita ratusan personil kepolisian turun ke lokasi untuk mengamankan proses Pemilu. Belum lagi soal para kompetitor politik, apakah itu capres, cawapres, caleg hingga semua tim sukses yang berpengaruh, bahkan juga para penyelenggara Pemilu barang kali tidak bisa tenang dengan intervesi titipan yang terletak di pundaknya.

Dari sisi kerakyatan dan kebangsaan, bagaimana mungkin bisa tenang saat negeri ini mengalami transisi kepemimpinan. Bukannya tidak percaya kepada kualitas semua kandidat pemimpin yang ada, justru yang mengkhawatirkan adalah masa depan demokrasi Indonesia yang tampak mengalami pembusukan, bukannya mati, tetapi membusuk, merusak kesehatan politik skala besar, mulai dari tingkat lorong-lorong desa hingga meja-meja hijau dan karpet merah istana.

Diakui atau tidak, dalam pelaksanaan pilpres 2024, mulai dari masa pengumuman partai politik yang lulus sebagai peserta Pemilu, hingga Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat teguran keras terkait pelanggaran kode etik. Belum lagi problem politik KPU di level daerah seluruh Indonesia, belum lagi ketumpulan pengawasan pelaksanaan Pemilu di berbagai wilayah Indonesia. Jika terus dihayati, direnungkan, barangkali publik saaat menyambut hari puncak pemilihan bukannya menikmati masa tenang, justru sebaliknya, cemas bercampur penuh harapan.

Terkadang, bagi pemilih merasa cemas bagaimana kandidatnya yang dipilih tidak menang, cemas karena uang serangan fajarnya menjadikan ia telah dibeli elite. Cemas karena harapannya akan menjadi harapan palsu di kemudian hari. Hingga cemas pada saat dirinya tidak dapat menjabat di saat hutang politik semakin menumpuk.

Femonena apa yang diuraikan melalui kajian ini barang kali tidak dapat dilihat secara hitam di atas putih, terlebih hanya melihat UU Nomor 7 tentag Pemilu. Menghormati masa tenang mungkin adalah kewajiban warga negara yang taat hukum, namun di balik semua itu warga negara juga mesti mengerti bagaimana praktik dan dampak dari basa-basi politik di masa tenang. Warga negara juga mesti dididik dan dilentingkan intelektualitas publiknya dalam melihat kualitas dan taktik terselubung dari setiap penyelenggara Pemilu. Labih jauh, sudahkah elite penguasa bahkan penyelenggara Pemilu menjadi teladan seperti apa yang disebut dengan Pemilu jujur dan adil? Mungkin jawaban anehnya adalah masih jauh panggang dari api.

Dalam kacamata politik, barangkali masa tenang itu tidak ada, yang ada adalah masa perjuangan di saat waktu-waktu yang tersisa. Berbagai macam cara dilakukan, baik melalui politik “orang dalam” maupun politik senyap yang mengetuk pintu-pintu rumah warga. Sungguh terlalu naif mengakui masa tenang jika kita paham sejarah praktik Pemilu di republik ini.

Lantas apa yang dapat dilakukan oleh warga saat detik-detik berakhirnya Pemilu atau pemilihan legislatif? Beberapa di antaranya adalah terus berpartisipasi dalam mewujudkan Pemilu yang jujur, adil, aman dan damai. Selebihnya, rakyat terkadang telah berpengalaman bahwa akan tiba waktunya jumlah uang yang beredar di desa mereka meningkat tidak seperti biasanya. Rakyat terkadang juga meramaikan hal itu, melibatkan diri menjadi bagian dari unit terkecil dari politik uang. Nyaris rakyat turut  mendonai proses Pemilu jujur dan adil.

Untuk itu, masih layakkah dianggap tiga hari menjelang Pemilu disebut masa tenang di saat rakyat juga sedang berpesta-pora menggelar politik uang? Tenang di waktu sesaat mungkin iya, tenang dalam istilah hukum mungkin iya. Tenang dalam arti praqmatis mungkin iya. Tetapi, tenang melihat nasib demokrasi dan kebijakan yang pro-rakyat mungkin belum tentu, terlebih menjustifikasi suara rakyat adalah suara tuhan. Padahal, jarang diakui bahwa suara rakyat adalah suara elite yang dikemas melalui Pemilu.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi