Mahasiswa: Antara Idealisme & Tantangan Pusaran Kekuasaan

Oleh: Yuki Vegoeista
Kabid PTKP HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan

Mahasiswa telah lama dipandang sebagai simbol perubahan dan penjaga idealisme. Dalam sejarah Indonesia, mereka memiliki peran penting dalam perjuangan menuju keadilan dan reformasi, baik pada masa pra-kemerdekaan maupun dalam berbagai gerakan sosial yang terjadi setelahnya. Idealisme mahasiswa, yang diwarnai semangat keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan, merupakan pendorong utama keberanian mereka untuk menentang kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat. Namun, semakin maraknya fenomena keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis mengundang perdebatan. Apakah ini merupakan jalan pengabdian ataukah suatu bentuk kompromi yang justru mengorbankan nilai-nilai idealisme?

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan dalam Perspektif Teoretis
Dalam teori sosiologi, mahasiswa digolongkan sebagai kelompok yang berada dalam fase transisi menuju kedewasaan yang dikenal dengan istilah “pemuda” atau youth. Pemuda, menurut Karl Mannheim, memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan karena mereka berada dalam fase “generasi terputus” yang bebas dari ideologi dan pengalaman generasi sebelumnya. Mereka cenderung memiliki pemikiran kritis dan bebas dari beban tradisi, sehingga lebih mudah menerima ide-ide baru dan segar. Dalam konteks ini, mahasiswa dipandang sebagai motor perubahan yang dapat menginspirasi transformasi sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Antonio Gramsci, seorang pemikir dalam ranah teori kritis, memperkenalkan konsep “intelektual organik.” Menurut Gramsci, intelektual organik adalah individu atau kelompok yang tidak hanya menciptakan teori atau gagasan, tetapi juga berkontribusi langsung dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat. Dalam konteks mahasiswa, konsep ini mengindikasikan bahwa mahasiswa bukan sekadar penonton, tetapi aktor aktif yang diharapkan mampu menciptakan perubahan. Mereka diharapkan untuk terlibat secara langsung dalam isu-isu politik dan sosial demi memperjuangkan keadilan bagi masyarakat luas.

Namun, Gramsci juga menekankan pentingnya keberpihakan yang konsisten pada kepentingan rakyat. Idealisme mahasiswa seharusnya menjadi landasan kuat agar mereka tetap berpihak kepada kepentingan publik dan tidak tergoda oleh keuntungan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu. Keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis diharapkan mampu memperkuat posisi mereka sebagai intelektual organik yang mampu menjadi penyambung lidah masyarakat, bukan justru terjebak dalam kepentingan elit politik.

Idealisme dan Sikap: Dasar Nilai dan Tindakan Nyata
Untuk memahami posisi mahasiswa dalam politik praktis, penting memahami perbedaan antara idealisme dan sikap, yang memiliki arti serta fungsi berbeda, meskipun sering saling berkaitan.

  1. Idealisme adalah prinsip atau nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang sebagai pedoman hidup. Idealisme bersifat abstrak dan mengacu pada nilai-nilai tinggi yang sering kali sulit untuk direalisasikan sepenuhnya di dunia nyata, seperti keinginan akan keadilan, kebenaran, atau perubahan sosial. Dalam konteks mahasiswa, idealisme mereka sering kali mengarahkan pada perjuangan hak-hak masyarakat atau keadilan sosial, yang menjadi panduan moral mereka. Teori etika idealisme, seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, menyatakan bahwa idealisme adalah komitmen terhadap nilai-nilai yang dianggap benar, meskipun pencapaiannya mungkin memerlukan pengorbanan besar.
  2. Sikap adalah respons atau cara seseorang dalam menghadapi suatu situasi atau pandangannya terhadap sesuatu. Sikap lebih konkret daripada idealisme, karena diwujudkan melalui tindakan atau perilaku yang bisa dilihat sehari-hari. Misalnya, sikap terhadap orang lain, sikap dalam menghadapi masalah, atau keputusan yang diambil. Sikap dapat terbentuk dari nilai-nilai yang diyakini seseorang, termasuk idealisme, tetapi sikap juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti situasi dan kebutuhan pragmatis. Teori perilaku oleh B.F. Skinner menyebutkan bahwa sikap adalah hasil dari pengalaman dan pengaruh lingkungan, yang sering kali bersifat adaptif.

Dengan kata lain, idealisme adalah cita-cita atau prinsip yang berfungsi sebagai panduan hidup, sementara sikap adalah cara nyata kita dalam merespons berbagai situasi yang dihadapi. Idealisme mungkin memengaruhi sikap seseorang, tetapi tidak semua sikap berakar pada idealisme, karena sikap juga bisa terbentuk dari pengaruh sosial dan adaptasi terhadap lingkungan.

Manfaat Keterlibatan Mahasiswa dalam Politik Praktis
Keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis dapat dipandang sebagai upaya mewujudkan idealisme mereka dalam tindakan nyata. Menurut teori belajar eksperiensial dari John Dewey, keterlibatan langsung adalah cara terbaik untuk belajar dan memahami situasi secara mendalam. Dalam konteks ini, keterlibatan mahasiswa dalam politik memungkinkan mereka untuk belajar bagaimana proses kebijakan publik dibuat, aktor-aktor yang terlibat, serta dinamika kekuasaan yang ada. Pengalaman ini dapat memperkaya wawasan mahasiswa dan membuat mereka lebih peka terhadap isu-isu sosial, yang kemudian diharapkan dapat melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang kompeten dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Dari perspektif teori partisipasi politik, Almond dan Verba dalam The Civic Culture menjelaskan bahwa partisipasi politik yang aktif dari semua lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa, dapat memperkuat budaya demokrasi. Kehadiran mahasiswa dalam politik praktis diharapkan bisa menjadi dorongan bagi terciptanya pemerintahan yang lebih adil dan akuntabel, karena mahasiswa dikenal sebagai pihak yang berani menyuarakan kebenaran. Partisipasi mahasiswa yang aktif juga diyakini bisa mendorong kebijakan publik yang lebih merata dan berkeadilan, sehingga membawa dampak positif bagi masyarakat luas.

Tantangan dan Risiko: Menghadapi Kompromi Idealisme dalam Politik Praktis
Di sisi lain, keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis menghadapkan mereka pada tantangan besar, terutama terkait risiko kompromi nilai dan idealisme. Teori kekuasaan dari Michel Foucault menyoroti bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang meresap ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk pemikiran dan tindakan manusia. Kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai kepemilikan oleh aktor tertentu, tetapi juga tersebar dalam sistem sosial, institusi, dan bahkan budaya. Ketika mahasiswa mulai memasuki ranah politik praktis, mereka mulai bersentuhan langsung dengan berbagai bentuk kekuasaan yang mungkin tidak sesuai dengan idealisme mereka. Di sinilah risiko kompromi idealisme menjadi sangat besar.

Secara psikologis, mahasiswa yang terjun dalam politik praktis bisa mengalami apa yang disebut sebagai “kompromi nilai.” Dalam teori kognitif, manusia cenderung mengubah atau menyesuaikan nilai-nilai yang mereka pegang agar sesuai dengan lingkungan atau kondisi yang dihadapi. Dalam lingkungan politik yang sering kali pragmatis dan penuh tekanan, mahasiswa berisiko mengubah pandangan atau sikap mereka agar selaras dengan kepentingan tertentu, baik untuk keuntungan pribadi atau untuk menjaga posisi dalam politik. Jika tidak berhati-hati, mahasiswa yang semula memiliki idealisme tinggi bisa kehilangan keberpihakannya pada masyarakat dan berubah menjadi bagian dari sistem politik yang mereka kritisi.

Kesimpulan: Mempertahankan Idealisme di Tengah Tantangan Politik
Keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis bukanlah hal yang bisa dipandang hitam-putih. Di satu sisi, politik praktis memberikan kesempatan belajar yang berharga dan bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara langsung. Di sisi lain, keterlibatan ini mengandung risiko besar yang dapat mengancam idealisme mereka, terutama jika mahasiswa mulai terpengaruh oleh dinamika kekuasaan dan kepentingan pragmatis yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai ideal.

Mahasiswa yang memilih untuk terlibat dalam politik praktis memerlukan integritas dan komitmen yang kuat untuk tetap setia pada idealisme mereka. Mereka perlu mengingat bahwa peran mereka bukan sekadar memperoleh posisi atau kekuasaan, tetapi untuk mewakili suara masyarakat yang selama ini tidak terwakili. Jika mahasiswa dapat mempertahankan idealisme mereka dan tetap berpihak pada keadilan, keterlibatan ini akan bermakna dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, jika idealisme tergadai demi kepentingan pribadi atau ambisi sesaat, mahasiswa akan kehilangan peran sejati mereka sebagai agen perubahan.

Pada akhirnya, keterlibatan dalam politik praktis adalah sebuah bentuk pengabdian yang memerlukan keberanian dan keteguhan hati. Mahasiswa perlu memahami bahwa idealisme dan sikap adalah dua elemen yang bisa saling melengkapi. Idealisme adalah panduan moral yang memberikan arah, sementara sikap adalah tindakan nyata yang menunjukkan komitmen pada nilai tersebut. Hanya dengan kesadaran ini, mahasiswa dapat tetap menjadi simbol perubahan yang tulus dan berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi