Oleh Qomardiansyah
Seluruh Indonesia menggaungkan kalimat selamat dan bangga akan himpunan mahasiswa islam (HMI) yang di mana usia sudah cukup lama dalam dunia organisasi, bahkan 2 tahun setelah kemerdekaan ini menjadi gebrakan bahwa HMI ini mampu eksis bahkan menawarkan tenaga dan gagasan untuk Indonesia.
Eksistensi HMI dalam proses sejarah yang panjang, nampaknya secara sosiologis sudah mensejarah, dan bahkan sudah menjadi kekuatan sejarah bangsa itu sendiri. Hal itu bisa diurai dengan keterlibatan sejumlah generasi awal kader HMI turut memikul senjata mempertahankan republik dari ekspansi imperialis Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pada saat ini bukan senjata yang di pikul tapi gadget yang di pikul di peruntukkan untuk kemaslahatan kah atau justru menambah kemudharatan.
Sejarah juga mencatat bahwa HMI merupakan komponen mahasiswa yang menentukan gerakan mahasiswa menentang Presiden Soekarno yang ditunggangi Partai Komunis Indonesia, dan sekarang sejarah berbalik haluan justru king maker pada saat adanya kontestasi perperangan politik ini menjadi alasan inilah waktu kita berjuang bersama kanda (senior).
Dengan tujuan yang nan indah bila di maknai menjadi poros hidup nya sebuah organisasi perkaderan yang cukup besar ini. Mencetak para ilmuan bahkan relawan (rela berkorban), semua yang terlahir dari rahim HMI sering kita dengar sebutan kanda, dinda, ayunda.
Belum lama pasca pelantikan pengurus besar organisasi ini perputaran tahta serta pergantian pemain rezim menjadi ritual yang harus di lakukan. Bahkan orang-orang besar pernah di tempat di dalam nya.
Angka tujuh dua kali ini, bisa jadi refleksi akankah organisasi berkiprah menjadi organisasi yang stagnan dalam pergerakan atau selalu memberi perubahan. Kemunduran dan kemajuan beriringan berjalan namun sikap egosentris dan menjajah sangat melekat sekali apa memang ini menjadi pilar yang fundamental berdiri nya pada saat penjajahan belum selesai maka kulturisasi akan tetap sama? Dan sudah berapa banyak antara maslahat dan mudharat yang di lakukan oleh organisasi Ini menjadi sorotan buat kita semua mencapai tujuan memang tidak lah mudah, bila di gunakan dengan metode ukhwah bersama, mengembalikan pada khitah perjuangan.
Namun semakin banyak pengkerdilan mengatasnamakan “kita sedang berjuang atas nama HMI”. Fenomena sering sekali di lakukan untuk mencapai tujuan yakni kegiatan menyatukan gagasan untuk perubahan “konsolidasi”. Konsolidasi progresif atas nama perjuangan berubah menjadi ajang pembodohan, mematikan iman dan hati nurani demi jabatan, kesenangan pujian dan rezeki musiman.
Berat memang kapal himpunan ini berlabuh, godaan untuk hidup hedonis, ingin terus dipertuankan, merasa diri elite sudah saatnya dijadikan “cencelled culture” di himpunan itu (zulfata dalam buku bubarkan HMI). Jika tidak di jadikan itu maka pertaruhannya adalah kerusakan generasi yang perlahan-lahan akan menghilangkan spirit altruisme atau jiwa kepahlawanan dalam menjaga keadaban dan menghantam segala kemungkaran.
Dalam konteks ini pula terkadang kita lupa, jeritan dan teriakan yang selama ini dituntut dijalanan adalah buah dari perilaku himpunan itu sendiri, generasi yang tidak amanah, generasi yang mematikan mata hati ketika hendak membangun komitmen keislaman dan keindonesiaan yang progresif.
Atas realitas HMI seperti ini, masihkah kita menyangkal bahwa kita adalah organisasi yang benar-benar memproduksi oligarki secara penuh suka cita di hadapan rakyat dan bangsa?
HMI sejatinya memiliki cita-cita besar bertugas untuk mencetak para pemimpin, kaum intelektual, para teknokrat dan para ideolog masa depan. Maka HMI tidak boleh diintervensi oleh kepentingan apapun, tidak boleh diintervensi oleh alumni yang memiliki jabatan sebesar apapun. Peran alumni hanya mensuporting, alumni tidak boleh mengintervensi kemerdekaan melakukan pengkaderan. Maka wajah HMI bukan wajah KAHMI, HMI bukan wajah negara, tetapi HMI adalah wajah idealisme, HMI wajah ideologis.
Leave a Review