Ingkar MoU Helsinki: Penambahan Batalyon di Aceh Langgar Janji Perdamaian

Penulis Maulana Iqbal Ketua HMI Komisariat Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Sudah dua dekade berlalu sejak rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman Helsinki pada 15 Agustus 2005. Sebuah kesepakatan bersejarah yang mengakhiri konflik panjang bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat, serta menjadi simbol perdamaian yang telah mengubah arah sejarah Aceh.

MoU Helsinki bukan sekadar dokumen politik, melainkan wujud kepercayaan yang dibangun melalui pengorbanan, luka, dan harapan. Aceh saat itu memilih jalan damai, karena percaya bahwa kekerasan tidak akan pernah menghasilkan keadilan. Maka semua pihak sepakat menghormati butir-butir kesepahaman, termasuk di antaranya menyangkut batas jumlah aparat militer di wilayah Aceh dan larangan penempatan pasukan non-organik secara permanen.

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah Indonesia justru mengambil langkah yang sangat disayangkan. Rencana pembangunan enam batalyon TNI baru di Aceh dengan nilai anggaran fantastis sebesar Rp238 miliar telah mencuat ke publik dan memantik keresahan luas. Enam daerah yang disebutkan sebagai lokasi pembangunan adalah Aceh Singkil, Nagan Raya, Aceh Timur, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Pidie. Ini bukan sekadar pembangunan fasilitas, tetapi ekspansi militer yang memiliki dampak serius terhadap kepercayaan masyarakat Aceh terhadap negara.

Rakyat Aceh tentu masih ingat betul trauma panjang konflik bersenjata yang menghantui kehidupan mereka selama puluhan tahun. Penambahan batalyon dalam jumlah besar, tanpa dasar keamanan yang kuat dan di luar ketentuan MoU Helsinki, adalah tindakan yang tidak hanya mencederai komitmen damai, tetapi juga membuka kembali luka yang belum benar-benar sembuh.

MoU Helsinki secara tegas membatasi jumlah personel TNI organik di Aceh maksimal 14.700 orang. Selain itu, pasukan non-organik dilarang menetap secara permanen. Dalam konteks hari ini, di mana Aceh sudah tidak lagi menjadi wilayah konflik, langkah penambahan kekuatan militer dalam bentuk batalyon baru justru menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sesungguhnya dihadapi oleh negara?

Berbagai tokoh telah menyampaikan penolakan terhadap rencana ini. Wali Nanggroe Aceh, Anggota DPD RI H. Sudirman Haji Uma, Wakil Ketua DPRA Rusyidi Mukhtar, serta organisasi masyarakat sipil dan lembaga advokasi seperti KontraS Aceh secara terbuka menyatakan bahwa kebijakan ini melanggar semangat perdamaian dan bisa memicu resistensi sosial. Masyarakat Aceh tidak anti terhadap TNI, namun pendekatan militeristik dalam wilayah yang sedang tumbuh dalam kedamaian hanya akan merusak fondasi kepercayaan publik terhadap pemerintah pusat.

Pemerintah harus menyadari bahwa menjaga perdamaian tidak cukup dengan jargon dan seremoni. Perdamaian sejati adalah komitmen untuk mendengar suara rakyat, menghormati perjanjian yang telah dibuat, dan bersikap adil terhadap daerah-daerah yang pernah mengalami luka sejarah. Membangun batalyon baru di tanah yang sudah damai bukan solusi, tapi ancaman terselubung terhadap masa depan harmoni.

Kami, dari Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menolak keras kebijakan penambahan enam batalyon di Aceh. Kami menyerukan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar segera membatalkan rencana tersebut dan mengembalikan kebijakan pembangunan Aceh ke jalur damai, adil, dan berlandaskan komitmen yang telah disepakati bersama.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak mengingkari janji. Dan perjanjian Helsinki adalah janji antara Jakarta dan rakyat Aceh janji untuk tidak mengulang masa lalu yang kelam. Bila negara memilih untuk mengingkarinya, maka bukan hanya Aceh yang kehilangan kepercayaan, tapi seluruh bangsa ini yang kehilangan arah.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi