HMI Telah “Hilang”

Sejarah didirikannya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 77 tahun yang lalu tidak bisa lepas dari kondisi bangsa dan negara Indonesia. HMI hadir melewati pergolakan pemikiran dari seorang Lafran Pane, dan terus ada dalam setiap pergolakan bangsa dan negara. HMI lahir bukan karena kekuasaan dan untuk penguasa. Bukan pula untuk kepentingan pendiri dan kader-kadernya.

Dalam cacatan sejarah negeri ini, HMI yang masih berusia dini, belum cukup dua tahun hadir dalam membela bangsa dan negara pada saat Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak pada 1948. Selain itu, masih dalam rentang waktu yang sama, HMI hadir untuk mempertahankan keutuhan negara Indonesia dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun yang motori oleh Amir Sjarifuddin dan Muso.

Selanjutnya, HMI berperan aktif dalam gejolak pertarungan ideologi di Indonesia yang dirubah oleh PKI (sebelum dibubarkan) menjadi ideologi komunisme. Saat itu, Bung Karno hampir terpengaruh oleh tipu daya Pimpinan PKI Dipa Nusantara Aidit yang menuduh HMI kontra revolusioner. Akan tetapi, HMI menunjukkan kesetiaannya pada bangsa dan negara ini dari berbagai bentuk kegiatan ataupun gerakan.

Jika melihat kehadiran HMI di masa Orde Lama (Orla) seperti yang disebutkan di atas, di masa Orde Baru (Orba) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, HMI masih tetap hadir dan menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi yang kritis-solutif. HMI berdiam-nikmat sambil menikmati keadaan yang menguntungkan waktu itu, akan tetapi HMI masih memiliki kekritisan kepada pemerintah karena adanya persoalan negeri. Misalnya HMI masih aktif mengkritisi terkait Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang tumbuh subur di masa Orba, dan perihatin terkait demokrasi di Indonesia.

Jika kita jajaki tema-tema pembahasan kader-kader HMI di masa Orba, cukup banyak kegaitan dan gerakan menyuarakan demokrasi, mengkritisi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan diberbagai forum mengkritisi soal kebijakan pemerintah dengan cara yang akademis. Sebab waktu Orba, cara-cara seperti saat ini belum memungkinkan dilakukan. Akan tetapi, perjuangan perubahan sistem birokrasi dan sistem demokrasi sudah mulai digagas dari sana. Gerakan mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto tidak bisa pungkiri bahwa ada kader-kader HMI di sana yang ikut berjuang.

Pasca runtuhnya rezim Soeharto pada 1998 lalu, sinar demokrasi mulai cerah. Reformasi birokrasi hingga perubahan konstitusi dilakukan untuk mewujudkan sebuah negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Tidak ada lagi praktik kekuasaan absolut, sistem pemerintahan menjadi demokratis dengan prinsip cheks and balances (seimbang dan saling mengawasi), HAM di Indonesia dilindungi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Di era demokrasi ini, rakyat benar-benar memiliki kedaulatan memilih pelayan rakyat (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota) dan wakil rakyat di lembaga legislatif. Kedaulatan itu diwujudkan dalam sebuah bentuk pemilihan umum secara langsung. Selain itu rakyat pun memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dan kritikan, karena yang berdaulatan dalam negara ini adalah rakyat, bukan pejabat.

Dalam kondisi ini, HMI pun menikmatinya, HMI mengisinya dengan bebas berekspresi dan beraspirasi kepada pemerintah. Tidak ada lagi yang ditakui oleh kader-kader HMI dalam menyampaikan aspirasi rakyat, sehingga tidak sedikit kita lihat HMI ikut andil memperjuangkan nasib rakyat dari tirani kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat hingga daerah. HMI masih seperti apa yang dikatakan oleh Jenderal Soedirman: Harapan Masyarakat Indonesia.

Tapi itu awal-awal tumbuhnya demokrasi kita. Kini sinar demokrasi itu mulai padam, lebih tepatnya dipadamkan. HMI yang selalu hadir dalam setiap kondisi bangsa dan negara yang sedang tidak bai-baiknya saja, kini “hilang”. Politik dinasti mulai menggejala, HMI ada di mana? Hukum diobok-obok, HMI masih bobok? Pelanggar HAM Berat yang ditentang oleh HMI dulu, kini ingin berkuasa, HMI kemana? Demokrasi kita dibajak, HMI tak tampak.

HMI kini “hilang”, mungkin mati suri istilah Sejarahwan HMI Agussalim Sitompul. HMI sibuk dengan urusan struktural, intelektual anjlok, nalar kritis terkikis oleh polusi kongres yang tak memiliki substansi, sibuk dengan jual-beli suara dan burgening jabatan. HMI “hilang” dari tingkat komisarat hingga pusat.

Gerakan apa yang dapat kita lihat dari HMI di era kemunduran demokrasi dan gejala politik dinasti saat ini? Nyaris tidak ada, kecuali hanya pelaksanaan training-traning formal. Sekolah demokrasi dilaksanakan, tapi kader-kadernya menyembah pada perusak demokrasi. Berebut di lembaga-lembaga demokrasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk memperbaiki nasib diri.

Apa lagi guna HMI wahai Ayahanda Lafran Pane jika HMI tak peduli pada kondisi bangsa dan negara? Apa lagi yang diharapkan dari HMI wahai Pak Jenderal Soedirman jika HMI tak lagi hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia? Apa lagi yang menjadi kekuatan HMI saat ini wahai Guru Cak Nur jika Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) diganti oleh HMI saat ini menjadi Nilai-Nilai Dasar Peruangan (NDP)? Dan apa lagi yang dibela oleh HMI saat ini wahai Kanda Munir jika HMI menghamba pada Politik Dinasti dan Pelanggaran HAM Berat yang ingin berkuasa?

HMI telah “hilang”!

Oleh : Ibnu Arsib

Penulis adalah Kader HMI Cabang Medan

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi