Oleh : Eno Malaka
“Jangan apa-apa harus akulah.” Jafar marah-marah tidak jelas di kamar kosnya. “Pranggg” Jafar yang sedang duduk di meja belajar tidak sengaja menjatuhkan setelah menggebrak meja.
“Masa tugas membuat RPP aku. Yang presentasi juga aku. Mereka c uma ngasih semangat” Jafar melanjutkan keluh kesahnya. “Padahal guru mgmp IPA ada 4 orang” “ARKHHHHHHH” Jafar mengacak-acak rambutnya lalu memendamkan wajahnya di meja belajar.
Lima hari yang lalu ketika rapat MGMP yang merupakan tindak lanjut dari persiapan monitoring dan evaluasi (monev) sekolah. Semua guru mata pelajaran diminta untuk menyiapkan segala yang diperlukan untuk melakukan pembelajaran mulai modul ajar, LKPD, dan persiapan microteching perwakilan setiap guru mata pelajaran.
“Tapi Bu Siti, saya kan udah buat prota-promes. Masa monev saya juga.” Jafar protes atas Keputusan rapat dengan guru MGMP IPA di sekolahnya, daripada dibilang rapat perkumpulan itu justru hanya seperti kumpulan tongkrongan.
“Tapi Pak Jafar kan ga punya tanggungan lain.” Pak Budi menyela pembicaraan Jafar, sebagai guru paling senior Pak Budi mencoba meyakinkan. “Coba Pak bayangkan, kita yang sudah menikah ini ada tanggungan ngurus suami atau istri dan juga anak.” Pak Budi melanjutkan dengan membawa pengalamannya. “lagian masih muda juga, energi masih banyak.” Tegas Pak Budi.
“Bener kata Pak Budi, Pak Jafar masih lajang. Ga banyak yang dipikirkan.” Bu Sri mencoba meyakinkan Jafar dengan mendukung pendapat Bu Siti dan Pak Budi. Rapat hanya berjalan selama 30 menit. Tidak ada rencana atau materi yang akan dibahas, semuanya setuju jika urusan itu diserahkan ke Jafar. Sebagai guru muda yang baru masuk satu tahun di sekolah, Jafar hanya bisa menuruti hasil rapat dengan sesame guru MGMP nya.
“Kenapa menjadi guru semenyebalkan ini.” Jafar mengangkat wajahnya, dia membereskan pecahan-pecahan piring yang tersebar di lantai. Jafar melanjutkan membuat modul ajar dan segala yang dibutuhkan untuk persiapan monev dua hari lagi.
Satu tahun yang lalu ketika pertama kali masuk ke sekolah sebagai guru baru, Jafar merasa berkesan dengan penyambutan yang dilakukan rekan-rekan gurunya. “Wih ganteng banget Pak Jafar.” Ucap kepala sekolah ketika Jafar pertama kali berkenalan di depan para guru. “Pak Jafar sudah menikah belum.” Tanya Bu Siti. “Saya belum menikah Bu.” Jafar menjawab pertanyaan itu sambil tersenyum, semua guru bersorak dengan jawaban dari Jafar.
Satu minggu terlewati Jafar merasa lebih berkesan dengan kehidupan di sekolah, semuanya terlihat sangat supportif. “Pak Jafar, ini ada jeruk buat nemenin sarapan.” Bu Siti menyerahkan langsung ke Jafar yang baru sampai di sekolah. “Walah terimaa kasih banyak Bu Siti.” Jafar menerimanya dengan senyum yang ramah.
“Pak Jafar nanti istirahat kedua kita rapat guru MGMP ya.” Pak Budi menghampiri meja Jafar saat istirahat pertama sambil membawakan kopi untuk Jafar. “Oh siap, Pak Budi. Terima ya kopinya.” Ucap Jafar. “Sama-sama.” Pak Budi melangkah pergi dari meja Jafar.
Saat istirahat kedua, semua peserta didik akan melaksanakan sholat dzuhur berjamaah di sekolah. Guru-guru akan sholat setelah peserta didik selesai, disaat menunggu jam sholat peserta didik. Jafar mengikuti rapat dengan guru MGMP IPA, kebetulan Jafar masuk di sekolah saat tahun ajaran baru. Sehingga semua guru mata pelajaran punya tugas untuk menyiapkan segala keperluan untuk satu semester dan satu tahun kedepannya.
“Berarti ini fiks ya kita milih materi ini, sama program P5 kita sesuaikan dengan sekolah,” Bu Siti mengkonfirmasi hasil rapat. “Nanti Pak Jafar minta tolong butin ya. Kita ada acara kalo pulang sekolah, jadi ngga sempet ngerjain.” Ucap Bu Siti pada Jafar yang duduk di Seberang Bu Siti. “Baik, Bu. Siap laksanakan.” Jawab Jafar dengan penuh keyakinan, sebagai guru baru ini merupakan kesempatan bagi Jafar untuk meningkatkan kemampuan administrasinya sebagai seorang guru. “Nanti kalo ada kesulitan sampaikan saja ya Pak Jafar. Sama nanti kalo udah jadi kirim ke saya ajam saya yang ngeprint nanti.” Ucap Pak Budi.
Jafar yang masih semangat-semangatnya, dapat mengerjakan prota-promes dengan tepat waktu. “Keren banget Pak Budi, baru seminggu sudah jadi aja. Kerenlah, lanjutkan ya” Ucap Waka Kurikulum kepada Pak Budi ketika menerima laporan prota-promes yang sudah di print Pak Budi. Jafar yang habis mengajar tidak sengaja mendengar percakapan itu, kebetulan ruangan waka berada di samping pintu masuk kantor. Sehingga seringkali obrolan di dalam ruangan waka bisa didengar oleh guru-guru yang ada di lura. Jafar tersenyum bangga pada dirinya sendiri, laluu melanjutkan menuju meja kerjanya.
Tiga bulan kemudian sekolah mengadakan P5 dengan tema kebudayaan, sasarananya adalah peserta didik baru. Mereka akan mengunjungi situs-situs kebudayaan peninggalan masa lampau seperti museum, gedung-gedung bersejarah, kampung-kampung bersejarah dan situs-situs lainnya.
“Pak Jafar nanti yang ke museum Barawita ya, nanti ada lima kelas yang Bapak temani, njenengan boleh mengajak teman guru untuk teman ngobrol selama di museum.” Waka Kurikulum membacakan susunan tugas untuk ke P5 ini, peserta didik dari 18 kelas sudah dibagi menjadi beberapa kelompok.
Jafar mendapatkan tugas untuk mengurus lima kelas yang merupakan jumlah kelompok terbanyak, selain itu jarak ke sekolah ke museum adalah 20KM dan merupakan lokasi terjauh dari beberapa lokasi yang sudah ditetapkan.
Jafar menerima tugas itu dengan senang hati, dia merasa dipercaya oleh pihak sekolah untuk melaksanakan tugas tersebut. Jafar akhirnya mencari kontak pihak museum yang bisa dihubungi untuk memberikan informasi terkait kunjungan sekolah ke museum.
Saat acara P5 dimulai semua peserta didik tahun ajaran baru sudah dikumpulkan di aula sekolah dan sudah dikelompokan ke kelompok kunjngannya masing-masing. “Pak Budi, ini anak-anak sudah berkumpul. Ayo kita siap-siap berangkat.” Ujar Jafar pada Pak Budi yang sebelumnya sudah mengiyakan untuk menemani Jafar di museum. “Walah Pak, ternyata saya tidak bisa, ini istri saya ada masalah jadi nanti saya akan izin ke sekolah untuk menemui istri saya.” Jawab Pak Budi. “Wah, dadakan banget yaa Pak.” Ucap Jafar dengan nada yang kecewa, mengurus lima kelas dan menempuh jarak 20KM dengan suhu kota yang panas bukanlah hal nyaman untuk dikerjakan seorang diri. “Ya gimana ya Pak, namanya juga sudah berkeluarga. Pakk Jafar yang masih lajang belum ngerasain hal giniang.” Ucap Pak Budi dengan menengadahkan kepala dan menggaruk-garuk lehernya.
“Yaudah, Pak. Ga papa nanti coba saya ajak temen guru yang lain.” Ucap Jafar yang langsung meninggalkan meja kerja Pak Budi. Jafar menemui beberapa guru termasuk teman-teman guru MGMP nya, semuanya ternyata tidak bisa menemani Jafar. Beberapa guru ada tugas lain dari sekolah sedangkan guru-guru MGMP nya menjawab dengan jawaban yang persis atau mirip-mirip dengan Pak Budii.
Jafar mencoba berlapang dada dan berfikir positif, barangkali memang ini kesempatan untuk Jafar bisa lebih mengembangkan dirinya di sekolah. Beberapa hal berat dalam hidup memang dibuat untuk menguatkan manusia secara fisik maupun mental. “Yaudahlah, lagian cuma nemenin di museum aja. Paling di sana aku juga cuma jalan-jalan aja. Semuanya akan diurus pemandu museum.” Jafar menghembuskan nafas panjangnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dengan sedikit mengeluh.
Sesampainya di museum Jafar mengatur peserta didik agar berbaris rapi sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Jafar lalu mengurus administrasi ke pihak museum.
“Padahal semua tugas aku yang ngerjain, tapi kalo ada masalah aku yang selalu disindir.” Jafar mengetik di laptopnya dengan mengeluh. “Pidihil idi giri midi ying misih lijing. Ahh hewan musuh kucing lah.” Jafar terus mengerjakak tugas MGMP mapel IPA dengan masih mengeluh dan semakin tidak terkontrol mengeluhnya.
Saat di Museum, Jafar benar-benar bekerja keras. Anggapannya sebelumnya bahwa di museum dia akan santai hanya jalan-jalan mengawasi siswa, lalu tugas akan diserahkan ke pamandu. MELESET SEMUANYA
“Oiii Nang ayo ke lantai dua, itu sudah pada naik.” Ajak Jafar ke salah satu kelompok peserta didik yang masih foto-foto dengan barang-barang museum. “Nduk-Nang jangan malah pacarana, ayo kumpul ke kelompoknya.” Jafar menegur peserta didik yang duduk di kursi panjang di museum yang pacarana. “Heyyy ayolah, jangan dipegang-pegang. Ituloh ada tulisan ga boleh dipegang.” Jafar mengingatkan peserta didik yang sembarangan menyentuh-nyentuh patung di museum, sambil menunjuk tulisan di tembok.
Jafar dibuat sibuk dengan kelakuan peserta didiknya, dia bahkan harus berlari-lari kecil untuk menyusul peserta didik yang malah menyebar ke seluruh penjuru museum. “Nduk, kelompokmu mana?” Tanya Jafar pada Kumpulan peserta didik perempuan yang asik berfoto di depan etalase-etalase barang antik. “Ahh males Pak, cape kaki ku. Bikin ngantuk juga penjelasannya.” Ucap salah satu peserta didik yang sedang merapikan lipstick di bibirnya. “Kalian ada tugas loh, buat video sama laporan kunjungan museum.” Jelas Jafar. “Ini ngapain lipstikan sama bedakan juga, sini kumpulin.” Jafar merebut peralatan make-up dari peserta didik.
“Ahhh, Baaapaakkkkkk.” Salah satu peserta didik yang dikenal sebagai seleb kelas mengeluh ke Jafar. Perjalanan di museum sangat menguras tenaga Jafar. Setelah selesai kunjungan di museum, Jafar kembali ke sekolah dengan keadaan lesu. Tulang di lututnya seperti pergi dari dirinya, otot-ototnya seperti menjadi kawat sangat sulit digerakan, energinya seperti sudah sampai batas limitnya. Jafar Kembali ke tempat duduknya dan menjatuhkan duduknya di kursi. “Pak Jafar, bisa ngobrol sebentar?” Ajak Bu Indri, salah satu guru jurusan bahasa Inggris di sekolah. Jafar yang sedang berleha-leha melihat ke atap kantor, dengan menempatkan kepala bagian belakangnya di bantalan punggung kursi langsung mengatur posisi duduknya.
“Tadi Pak Jafar merebut lipstick sama bedak Sinta ya?” Tanya Bu Indri. “Iya Bu, betul. Ada apa ya?” Jafar bertanya dengan ekspresi bingung. “Jadi gini Pak Jafar, Sinta itu anak saya. Dia kan masih remaja jadi wajar mencoba-coba untuk dandan.” Bu Indri menjelaskan dengan nada yang lembut. “Bapak kan masih lajang, jadi belum mengerti gimana rasanya punya anak. Saya kalo anak saya disakiti orang, hati saya pasti lebih sakit Pak.” Bu Indri melanjutkan penjelasan dengan memegangnya dadanya. “Tapi Bu, Kita lagi kunjungan di museum. Harusnya anak Ibu bisa mengikuti arahan dari pemandu. Tidak malah asik foto-foto sama dandan, saya cuma menjalankan tugas saya Bu.” Ardi mencoba memberikan pengertian pada Bu Indri. “Tapi tetap saja cara Bapak salah, harusnya ngga gitu Pak.” Bu Indri tiba-tiba melotot kearah Jafar. “terus gimana Bu seharusnya menegur anak?” Jafar masih mencoba berkomunikasi dengan cara yang baik.
“Bapak itu masih lajang, ngga ngerti hal ginian. Pokoknya kalo nanti Bapak nyakiti putri saya lagi, saya bakal mengkasuskan ke kepala sekolah. Jadi guru itu jangan seenaknya Pak.” Tidak menjawab pertanyaan Jafar, justur Bu Indri membentak dan pergi meninggalkan meja kerja Jafar.
Jafar yang sebelumnya dalam kondisi kelelahan secara fisik dan mental, menjadi semakin kacau dengan apa yang terjadi barusan. Jafar yang awalnya merasa berkesan dengan kondisi sekolah yang terlihat supportif di awal-awal ketika menjadi guru. LENYAP SEMUANYA.
Tiga bulan setelahnya beredar kabar bahwa Jafar adalah guru yang killer, suka mengatur peserta didik dengan seenaknya. Beberapa kali Jafar diminta menghadap kepala sekolah untuk mengkonfirmasi hal tesebut. Beberapa peserta didik di kelas yang Jafar ajar, juga turut dimintai keterangan tentang bagaiman Jafar mengajar. “Pak Jafar enak ko ngajarnya.” Salah satu siswa berpendapat. “Iya enak.” Beberapa siswa lain ikut berseru. “Pak Jafar itu kalo njelasin materi itu selalu menarik, ada aja gebrakannya.” Salah satu siswa menjelaskan lebih detail. “Bahkan Pak Jafar sering memberi hadiah eskrim untuk siswa yang aktif.” Lanjut peserta didik yang lain memberikan keterangan.
Jafar memeang terkenal menyenangkan dan cekatan, tidak heran dia sangat diandalkan untuk menyelesaikan banyak hal dan tentunya dia sangat disukai murid-muridnya. Beberapa guru juga bingung dengan rumor tersebut, Jafar yang mereka kenal sangat baik dan mudah mengambil hati orang. Tidak mungkin guru seperti Jafar akan melakukan hal buruk seperti rumor yang berkembang.
“Oke, ini yang terakhir. Aku bakalan nulis surat untuk kepala sekolah.” Jafar menghela nafas panjang di depan laptopnya dan kembali mengerjakan materi yang diperlukan untuk kegiatan monev sekolah. Setelah menyelasikan materinya Jafar lenjut dengan menulis usrat untuk kepala sekolah.
“Assalamulaikum Pak Budi, ini materi sudah saya kerjakan. Saya kirim ke Pak Budi ya untuk diprint.” Jafar menelpon Pak Budi untuk memberitahu bahwa materi untuk kegiatan monev sudah selesai, Jafar bermaksud memberikan ke Pak Budi untuk diprint Pak Budi sesuai intuksi sebelumnya. “Wahh maaf Pak Jafar, saya ada keperluan dengan istri saya.” Pak Budi menolak dengan halus. “Monevnya kan dua hari lagi Pak, jadi kalo sekarang ada acara dengan istri. Besok kan masih bisa diprint Pak.” Ujar Jafar.
“Pak Jafar masih lajang sih, ngga ngerti hal beginian.” Ujar Pak Budi. “Yaudah Pak, saya yang ngeprint nanti.” Jafar pasrah dengan ucapan Pak Budi. “AKHHHHHHHH, BRAAAAG” jafar melempar buku ke tembok disamping tempat duduknya. “Kenapa semua orang sangat egois.” Jafar berteriak. “STOP PARADIGMA BERFIKIR KALAU LAJANG ADALAH MANUSIA YANG TIDAK SIBUK, SETATUS SOSIAL MEMANG SENDIRI. TAPI SEMUA PEKERJAAN RUMAH JUGA DIURUS SENDIRI.” Jafar berteriak-teriak di kamar kosnya.
“Astaghfirullah” Jafar menenangkan diri dengan beristigfar. “Mereka yang sudah berkeluarga kan harusnya lebih enak, rumah ada yang beresin, makan ada yang masakin, baju ada yang nyuciin, nafkah juga sudah ada yang ngurusin.” Jafar melanjutkan keluh kesahnya. “Sedangkan aku yang masih lajang itu harus mengerjakan semuanya sendiri, aku yang paling sibuk dan repot. Tapi mereka selalu bilang PIK JIFIR KIN BILIM MINIKIH, GI NGIRTI LIH HIL BIGINI. AKHHHH hewan musuhnya kucinglah.“ Keluh kesah Jafar semakin memuncak. “Astaghfirullah.” Jafar bersitigfar lagi dengan menghelas nafas panjang yang dalam, kali ini dia bisa lebih tenang.
Dua hari setelahnya acara monev berlangsung. Jafar yang menjadi perwakilan guru MGMP IPA maju ke depan aula sekolah untuk presentasi, Jafar menyampaikan materi tentang virus yang ada pada materi semester satu kurikulum Merdeka.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Jafar memulai microteacingnya, dia akan bertindak sebagai guru sedangkan guru-guru yang lain akan menjadi peserta didik. “Anak-anaku semuanyaa, ada satu virus yang snagat berbahaya namanya Rotavirus. Ada yang tahu itu apa?” Jafar bertanya pada para guru dengan mengangkat tangannya, sebuah intruksi jika ada yang mau menjawab bisa dengan mengangkat tangannya.
“Ngga tahu Pak.” Para guru kompak menjawab.
“Baiklah, rotavirus adalah jenis virus yang mudah menyebar. Biasanya rotavirus ada diwilayah yang TOXIC” Jafar mengeraskan nada suaaranya dan melotot ketika menyebutkan kata toxic. “Virus ini berkembang dengan cara memanfaatkan tubuh yang diinfeksi sebagai nutrisi biasanya yang diinfeksi adalah orang baru, ehh maksud saya bayi.” Jafaar melanjutkan microteachingnya.
“Virus ini mengakibatkan bayi akan diare parah dan menghabiskan energi si orang baru. Ehh maksud saya si bayi.” Jafar mencoba menyindir para guru di microteacing itu. “Virus ini bisa dicegah dengan membersihkan lingkungan si bayi, namun jika di lingkungan si anak baru. Ehh maksud saya si bayai sudah ada virusnya. Maka lebih baik virus itu harus dikeluarkan atau dibunuh dengan menggunakan antivirus.” Jafar melakukan presentasi dengan heroic.
Setelah acara monev selesai, Jafar menemui kepala sekolah.
TOK TOK TOK. “Permisi Pak.” Jafar mengetuk pintu kantor kepala sekolah dan membuka pintunya. “Oh Pak Jafar, silahkan duduk.” Kepsek menyambut Jafar dengan ramah. “Baik, Pak.” Jafar membalas dengan senyum dan segera duduk di kursi. “ada apa Pak Jafar?” Tanya kepala sekolah.
“Saya mau menyerahkan surat ini Pak.” Jafar menyodorkan surat ke kepala sekolah.
TAMAT
Leave a Review