Filosofi Tanah & Perilaku Sosial

Foto: Ahmadi Sofyan. (IST)

Oleh : AHMADI SOFYAN

Ada 2 konflik yang akan dihadapi oleh masyarakat Bangka Belitung hari ini dan dimasa mendatang, (1) Konflik Pertambangan (2) Konflik pertanahan. Muaranya adalah tanah & isinya!

Suatu saat, dadakan saya diminta memberikan kultum sebelum sholat Tarawih. Ustadz yang biasa memberikan kultum malam itu tak hadir, jama’ah menoleh ke saya semua. Ya sudah, nekad saya berdiri & maju ambil mikropon. Saat pegang mikropon dan salam, saya belum tahu akan bicara tema apa dalam kultum tersebut. Seringkali peristiwa begini terjadi dalam diri saya, termasuk beberapa hari lalu, tarawih di rumah dinas Gubernur Babel, kejadian yang sama pun saya alami. Jadilah pemberi kultum dadakan sebelum tarawih karena ustadz yang bertugas absen. Jadilah saya isi kultum hanya memaknai kalimat dalam perintah Puasa: “Yaa ayyuhalladzii naaamanu…..”. Sedangkan yang saya ceritain dalam tulisan ini adalah isi kultum dari pengalaman yang pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu yang berkaitan dengan “Manusia & Tanah”.

Tanah memiliki makna dan nilai kehidupan yang sangat besar dalam kehidupan kita umat manusia. Setidaknya dari tanah ada 3 hal yang dapat kita ambil pelajaran penting. (1) Kita semua berasal dari tanah (2) Kita semua berdiri diatas tanah (3) Kita semua akan kembali kepada tanah.

Ada pertanyaan dalam dialog dengan seorang kawan: “Kalau kita semua berasal dari tanah, mengapa perilaku manusia berbeda-beda?” Pertanyaan receh ini bagi saya cukup menggelitik dan saya jawab pastinya dengan gaya humor. Pertama, Tanah mengandung banyak hal, ada emas, perunggu, air, gas, minyak, sampah, kotoran, timah, pasir, tembaga, batubara, dan lain sebagainya. Sifat dari semua benda itu pun berbeda. Demikian juga manusia. Unsurnya berbeda-beda, ada unsur api, unsur air, unsur logam dan sebagainya. Selanjutnya kita mengidentifikasi tanah pun berbeda-beda. Ada tanah negara, tanah uruk, tanah galian, tanah liat dan sebagainya.

Menjawab pertanyaan kawan tadi, saya terus nyerocos memberikan jawaban panjang dengan candaan. “Kalau ada orang yang sedari kecil dihidupi oleh negara, bekerja (mengabdi) pada negara, semisal ASN, TNI & POlRI, jangan-jangan dulunya dia terbuat dari tanah negara” lalu saya lanjutkan: “Kalau ada orang yang selalu numpukin masalah, tak pernah mampu menyelesaikan hingga orang lain yang harus menyelesaikannya, jangan-jangan dulunya diciptakan dari tanah uruk (urukan)“. Sang kawan pun mulai tersenyum. “Kalau ada manusia perilakunya menambang alias selalu menggali, hidup dari menggali tanah, jangan-jangan dulunya diciptakan dari tanah galian. Ini banyak di Bangka, karena wilayah tambang” lanjut saya mulai kritis.

Kalau ada manusia yang multi talenta, dibuat atau diajak apapun bisa. Jadi ini bisa, jadi itu bisa, kawannya banyak selalu lengket dengan semua orang, jangan-jangan dulunya ia diciptakan dari tanah liat” tambah saya lagi. Lantas sang kawan bertanya untuk menghentikan ocehan saya: “Kalau ada orang yang selalu aja ngomentarin pekerjaan orang yang dianggap selalu salah, jadi orangtua yang rese, selalu bermasalah dengan orang lain, merasa benar sendiri, semua orang dikritik, intinya selalu bermasalah dengan orang lain dan mencari bahan untuk dijadikan masalah. Terus berkoar-koar mempopulerkan masalah tersebut agar menjadi viral (besar), ini kira-kira dia itu terbuat dari tanah apa, Bang?“. Saya pun langsung menjawab cepat: “Itu pasti Tanah Sengketa“. Sang kawan tertawa ngakak. Lantas menyebut nama seseorang yang suka ngomentarin orang di media.

Begitulah kita, jika bercermin dari kehidupan kita, introspeksi diri, apa yang sudah kita lakukan, apa karya dan prestasi yang akan dikenang nanti oleh anak cucu & generasi setelah kita, apa nilai dari hidup kita, maka aebetulnya cukup belajar dari filosofi tanah. Akankah kita jenis tanah yang mengandung emas atau kotoran? Semua tergantung kita memberikan apa pada diri kita dan orang-orang disekitar kita.

Kita ini sesungguhnya adalah tanah. Ibaratnya, jika kita berdekatan dengan tukang sumur dan tukang tambang, maka pasti diri kita akan tergali (digali), kalau dekat dengan petani, akan ditanam pohon yang bermanfaat, kalau dekat dengan provokator, diri kita pasti bersengketa. Makanya ada kalimat yang pernah saya baca: “Untuk mengetahui pribadi seseorang, lihatlah dengan siapa ia berteman (bersahabat)“.

Oh iya, akhir tahun lalu, dihadapan Kapolda Babel dan selalu perwira Polda Babel, saya menyampaikan satu hal yang semoga bisa dianalisa apakah kenyataan ataukah hanya omongan belaka. Saya katakan bahwa ada 2 konflik yang akan dihadapi oleh masyarakat Bangka Belitung hari ini dan dimasa mendatang, (1) Konflik Pertambangan (2) Konflik pertanahan. Muaranya adalah tanah! Sebab karakter masyarakat Bangka Belitung sangat “tanah sekali”. Begitulah kita negeri Serumpun Sebalai ini, jangan sampai menjadi negeri “Saling Nyerambun Saling Berkelahi“. Ah, sudah dan selalu terjadi.
Demikian Kultum (kuliah tujuh menit) saya ganti jadi Kultum (Kuliah terserah antum).

AHMADI SOFYAN, akrab disapa Atok Kulop. Alumni Pondok Pesantren Al-Islam Kemuja & Pondok Modern Al-Barokah Kertosono Nganjuk Jawa Timur & Kuliah di Kota Malang. Aktif menulis dan seringpula ditulis karena mungkin diciptakan dari tanah di Batu Tulis. Kegiatan sehari-harinya banyak dihabiskan di Kebun.