Editorial 08 Februari 2024
Memasuki bulan Februari 2024, puluhan kampus di Indonesia mendeklarasikan rasa keperihatinannya terkait kondisi yang dialmi bangsa Indonesia, baik dari sisi hukum, etika, demokrasi dan gelagat kekuasaan. Tidak tanggung-tanggung, subjek yang menggelar deklarasi tersebut terdiri para guru besar/profesor di berbagai tanah air.
Sepintas lalu memang deklarasi tersebut dapat menggugah publik, namun jika diperhatikan lebih dalam, apa yang dilakukan oleh kampus tersebut secara tidak langsung dapat disebut seperti tong kosong politik dengan tidak menyebutnya tong kosong nyaring bunyinya. Mengapa sedemikian? Dalam konteks deklarasi kebangsaan terkait keprihatinan bangsa dalam momentum pilpres 2024, sudahkah kampus berkaca diri bahwa kacaunya kondisi politik bernegara juga disebabkan oleh kampus itu sendiri, baik dari sisi kebebasan berekpresi mahasiswanya maupun politik main mata antara petinggi kampus dengan petinggi partai politik.
Tanpa fitnah, apa lagi hoaks, masih segar diigatan publik ketika Universtas Indonesia (UI) pernah dilanda praktik pembungkaman aspirasi mahasiswa terhadap peristiwa lip service oleh BEM UI terhadap Presiden Jokowi. Kemudian belum lagi soal rektornya yang merangkap jabatan komisaris di BUMN dan dianggap melanggar statuta kampus.
Tidak hanya UI, masih maraknya praktik joki karya ilmiah saat meraih gelar doktor-profesor di perguruan tinggi juga jadi masalah yang dirawat oleh kampus itu sendiri. Belum lagi saat rektor pada perguruan tinggi masuk dalam praktik transaksional dengan elite politik saat memperjuangkan jabatan rektor. Belum lagi soal koruptor di Indonesia dominannya adalah lulusan perguruan tinggi.
Lantas kelirukah menyebut bahwa dekalrasi kampus yang digerakkan juga oleh para profesor itu disebut tong kosong politik? Sederhananya, tong kosong politik tersebut bermakna bahwa suara-suara yang keluar dari perguruan tinggi terhadap publik di masa Presiden Jokowi tersebut hanyalah bentuk tidak adanya kesadaran atau tidak tau dirinya kampus bahwa ia juga menyumbang kebrobrokan demokrasi dan etika di Indonesia masa kini.
Jika alasan keberadaan kampus itu adalah untuk menjaga kejujuran metodologi dalam mencipatakan ilmu pengetahuan publik, maka di masa Presiden Jokowi keberadaan kampus sedemikian adalah omong kosong, dengan tidak mengatakan bahwa ada profefor yang kelakuannya jauh lebih tercela dari orang-orang yang tidak menempuh sekolah formal.
Jika alasan keberadaan kampus adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan berbasis kesejahteraan, maka hari ini kita secara nyata bahwa biaya kuliah semakin tinggi, mutu pedidikan semakin rendah. Parahnya pinjaman online untuk kuliah menghantui mahasiswa di Indonesia hari ini. Belum lagi tingkat pengangguran yang juga disumbangkan oleh kampus di Indonesia.
Jika keberadaan kampus sebagai transfer pengembangan generasi muda yang mencerahkan, maka hal ini masih jauh panggang dari api. Dapat dibayangkan bagaimana tidak relevansinya kehidupan demokrasi di internal kampus yang membuat generasi muda/mahasiswa sering mengalami pembungkaman secara akademik. Alasan-alasan akademik serta prosedural administrasi kampus tak jarang menjadikan mahasiwa bukan sebagai generasi muda yang merdeka berkreasi dan bereksprasi, justru menjadikan mahasiswa bagaikan bebek penurut.
Ada banyak sengkarut mental intelektual di perguruan tinggi di Indonesia. Belum lagi soal mental guru besar tak ada bedanya dengan raja yang ingin selalu diagungkan, dipuji, difasilitasi, dan dibenarkan. Belum lagi soal korupsi di internal kampus. Belum lagi soal arah pengelolaan kampus. Belum lagi kolaborasi kampus dengan partai politik. Nah, semua problem kampus dan guru besar yang disinggung ini merupakan bagian menyampaikan informasi bahwa dibalik deklarasi kampus tersebut merupakan bentuk ketidaksadaran diri dunia kampus di Indonesia.
Selain deklarasinya bersifat musiman/momentum politik lima tahunan, juga kritikan kampus tidak profesional. Ia hanya cerah mengkritik dan menyalahkan kondisi penguasa yang berada di luar dirinya, namum lumpuh total menyembuhkan penyakitnya sendiri dari dalam. Perkembangan dan keberadaan kampus di Indonesia, terutama di masa kepemimpinan Presiden Jokowi secara gamblangnya dapat disebut sebagai ketidakjelasan rasional yang dideklarasikan. Saat mencermati keberadaan dan fungsi kampus secara rasional, maka dapat ditemukan bahwa keberadaan dan fungsi kampus semakin tidak rasional dari hari ke hari.
Politik deklarasi kampus, apapun embel-embelnya, baik deklarasi guru besar anti korupsi maupun deklarasi kampus-profesor prihatin melihat kondisi demokrasi negeri. Sederet peristiwa tong kosong politik kampus ini tidak dapat benar-benar menciptakan pengaruh pada masyarakat, terlebih lagi pengaruh pada elite. Pertanyaan lanjutannya, adakah kepercayaan publik tinggi pada sivitas akademika hari ini? Lantas, percaya publik pada deklarasi kampus-profesor di musim kampanye? Atau jangan-jangan deklarasi kampus-profesor tersebut hanya dimanfaatkan secara praqmatis oleh segelintin buzer di pilpres 2024? [zulfata]
Leave a Review