Berselimut Agama

Coe Zie, Pendiri Yayasan Aspirasi Cendekiawan Samben Bangka Belitung

Oleh Coe Zie

Demi Masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran” (Surat Al-‘Asr: 1 – 3)

Agama hadir sebagai tameng diri di dunia untuk bekal menuju kebahagiaan hakiki (baca; kehidupan akherat). Sejatinya mereka yang memiliki pemahaman agama yang baik tentu belum cukup jika tidak dibarengi dengan sikap yang selaras dengan apa yang dipahami. Sebaliknya, mereka yang memiliki sikap yang baik meskipun tidak begitu memiliki pemahaman yang baik tentang agama atau memahami agama hanya alakadarnya, tentu itu baik untuk dirinya.

Lalu, baiknya bagaimana? Maka timbullah tanda tanya besar dibenak kita. Lantas jawabannya adalah mereka yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni kemudian selaras dengan sikap keagamaan mereka yang baik tentu inilah cara beragama yang paripurna.

Lantas apa yang dimaksud berselimut agama? Bukannya orang yang memiliki agama itu baik? Pertanyaan ini sengaja penulis layangkan atas dasar keresahan pribadi yang mana harus diperhadapkan dengan mereka yang mengatasnamakan agama namun orientasinya bukanlah Ridho-NYA. Namun, hanyalah kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sebelumnya penulis sangat mengapresiasi setinggi-tingginya bagi mereka yang memfasilitasi ruang belajar yang bernuansa agama. Ini menandakan bahwa Negara Indonesia yang meskipun bukan negara agama tidak melarang rakyatnya untuk berekspresi selagi tidak melewati rambu-rambu peraturan ke-Indonesiaan.

Agaknya tidaklah berlebihan jika penulis mengangkat keresahan ini, karena teringat dengan pernyataan Ibnu Rusyd yang berkomentar “Jika ingin menguasai orang-orang bodoh ‘dalam tanda kutip’ maka selimutilah suatu kebatilan dengan agama”.

Agama yang mustinya menjadi pedoman hidup, tidak jarang digunakan oleh oknum untuk mencari penghidupan (kakayaan duniawi) dan penghormatan (gila hormat). Mengapa demikian bisa terjadi? Karena beragamanya atas dasar ambisi pribadi dan materi. Mengapa harus mengatasnamakan agama? Pertanyaan ini harus digali.

Penulis menyaksikan beberapa tahun silam di salah satu desa ada seorang dukun cabul yang menyelimuti kebatilannya dengan agama. Siapa sangka? Dia hidup bermasyarakat dan berpakaian agamis, kalau kegiatan keagamaan pasti berada paling depan. Khalayak masyarakat menganggap bahwa dirinya adalah orang yang sangat baik dan paham agama.

Bertahun-tahun hidup di masyarakat dan akhirnya dengan seiring berjalannya penyelidikan endingnya kebejatan demi kebejatan pun terbongkar. Demikian ini merupakan fakta yang penulis saksikan sendiri, sebab yang bersangkutan tinggal di kampung halaman penulis.

Mungkin pembaca masih ingat salah satu kasus yang menerpa biro haji dan umroh, sebut saja “First Travel” beberapa tahun yang lalu. Siapa sangka? Kegiatannya sebagai wasilah pemberangkatan haji dan umroh untuk ibadah dibisnisasikan sehingga merugikan banyak orang. Miris dan heboh bukan?

Belum lagi bermunculan mereka yang menggunakan gelar kiai dan ustadz, serta pemuka agama yang menggunakan agama sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sehingga bermunculan ustadz-ustadz karbitan yang belum mumpuni membicarakan agama akhirnya memaksakan diri atas nama dakwah, tidak jarang membuat fatwa-fatwa baru yang ngawur (sesat) tak berlandaskan pemahaman agama dan sikap beragama yang baik.

Tentu ini bukanlah aib baru di Negara kita. Bahkan mengatasnamakan agama demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sudah terjadi pada masa Nabi. Sebagaimana kisah pedagang terong pada masa itu membuat hadis palsu agar barang dagangannya dibeli oleh konsumen.

Jujur saja, penulis tidaklah terkejut jika menemukan orang-orang yang mengatasnamakan agama demi kepentingan pribadi dan kelompokknya. Lantas penulis angkat masalah ini karena rasa cinta kepada manusia dan teringat dengan satu hadis yang disandarkan kepada Nabi bahwa agama adalah nasihat. Sehingga, tulisan ini perlu diangkat untuk pengingat diri dan menasihati mereka yang menyelimuti kepentingan diri dan kelompoknya dengan nama agama.

Orang yang pemahaman agama dan beragamanya baik sejatinya hadir untuk menenangkan jiwanya dan jiwa-jiwa saudara di sekitarnya, bukan malah digunakan untuk memperalat para penganut-Nya. Sehingga tega mendzolimi banyak orang dengan embel-embel agama atau berselimut agama.

Biasanya, orang-orang yang menyelimuti kebatilannya dengan agama dikenal dengan istilah terorisme. Teroris menutupi perilakunya dengan bungkus agama. Namun perlu juga diketahui bahwa ternyata, teroris tidak hanya mereka yang membunuh dengan mengangkat pedang dan senjata.

Namun, ada juga teroris yang membunuh secara pelan-pelan. Yaitu mereka yang tergabung di instansi yang mengatasnamakan agama akan tetapi mendzolimi orang-orang yang bekerja di dalamnya dengan tidak memenuhi kewajiban mereka sebagai pemilik yayasan sedangkan para karyawannya sudah menjalani kewajibannya namun tidak mendapatkan haknya. Pemilik yayasan yang berselimut agama tersebut, salah satu yang penulis maksud sebagai teroris berdarah dingin.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi