Oleh: Eji Aminullah
Ketua Bidang Demokrasi dan Politik, Himpunan Mahasiswa Islam Badan Kordinasi (Badko HMI) Sumut.
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang diketahui masih dengan kondisi yang stagnan terkhusus dalam upaya penyelesaian, pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal ini tentunya secara umum tidak pernah lepas dari persoalan akuntabilitas dan integritas, melalui peran dan fungsi aparat penegak hukum, lembaga yudikatif (lembaga hukum maupun peradilan) atau lembaga Trias Politica seperti lembaga legislatif dan lembaga eksekutif pemerintahan (governance), baik di era mulyono saat ini maupun prabowo kedepan, kemudian lembaga pemberantasan korupsi yang independen seperti KPK, berbagai organisasi mahasiswa dan masyarakat maupun secara pribadi masing-masing sebagai bangsa indonesia yang adil sejak dalam pikiran dengan kesadaran dan semangat anti korupsi.
Saya setuju sebelumnya dengan pendapat dari rocky gerung selaku akademisi yang mengatakan bahwa “tidak menutup kemungkinan kasus korupsi akan terus memburuk jika tidak ditangani sampai ke akarnya dengan serius dan penuh kejujuran (honesty)”. Maka dari itu sebagai masyarakat yang berdaulat kita mengenal istilah “society control” yakni sebagai bagian dari semangat perlawanan dan pencegahan praktik korupsi di indonesia. Kemudian menurut Jogiyanto (2018:40) secara metodologis untuk mengetahui adanya suatu permasalahan secara umum tentunya harus didasari oleh adanya indikasi, gejala atau tanda-tanda suatu masalah (symtom). Hal ini tentunya menjadi standing point saya untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi secara kualitatif pada PON XXI Aceh-Sumut 2024.
Mulai Terciumnya Bau-bau Praktik Korupsi pada PON XXI Aceh-Sumut.
Melihat situasi dari Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 saat ini tampaknya tidak terlepas dari sederet permasalahan dan reaksi kekecewaan seluruh masyarakat yang menyaksikan secara langsung maupun secara digital atas buruknya prosedur dan tidak memadainya fasilitas dalam kompetisi olahraga multicabang tersebut, bahkan sebelum kompetisi tersebut dibuka secara seremonial.
Permasalahan infrastruktur, pelayanan, akomodasi, transportasi dan konsumsi kepada atlet dan ofisial terlihat sebagai indikasi atau symtom (tanda-tanda) bahwa adanya kejanggalan yang dirasakan seluruh peserta yang terlibat, mulai dari masalah kamar mandi yang kotor beserta air yang kurang bersih, akses jalan menuju GOR vanue yang berlumpur atau pembangunan jalan yang masih pada tahap pengerjaan, atlet yang terlambat untuk dijemput oleh bus atlet, kemudian kondisi lapangan voli yang licin dan berbahaya, sehingga hal ini tentunya tidak sesuai prosedur perlombaan dan jelas membahayakan para pemain.
Selanjutnya penyediaan konsumsi atlet yang tidak tepat waktu, ditambah komposisi dari makanan tersebut yang tidak memenuhi standar kualitas sesuai yang ada di kontrak seperti ditemukannya nasi basi dan sayur berulat. Kemudian dikutip dari media detikSumut bahwa menurut Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian mengatakan sebelumnya bahwa “bila dilihat sesuai kontrak, harga satuan makanan untuk atlet Rp 50.900 perporsi dengan total harga Rp 30,8 miliar. Sementara untuk snack harga satuan Rp 18.900 perporsi dengan total harga 11,4 miliar.”Total anggaran itu Rp 42 miliar. Kalau kita lihat fakta di lapangan potensi mark up harga sudah terjadi sejak di-perencanaan. Mark up harganya besar dalam konteks tidak pidana korupsi. Kalau kita lihat fakta di lapangan nasi yang disediakan dan snack itu standar harga di Aceh,” Menurutnya, harga snack standar di Aceh Rp 10 ribu, sementara harga nasi standar di Aceh Rp 30 ribu perporsi sehingga akumulasi dari permasalahan tersebut menimbulkan berbagai reaksi kecewa, keluhan dan protes dari berbagai pihak yang terlibat baik atlet, kontingen dan masyarakat.
Menurut saya dari berbagai akumulasi kualitatif permasalahan yang terjadi di lapangan pada PON XXI Aceh Sumut 2024 saat ini bahwa adanya sederet masalah dan kejanggalan sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat karena ketidaksesuaian antara proyeksi dan realisasi (anggaran dan kualitas penyelenggaraan), mengingat anggaran PON XXI Aceh-Sumut tercatat mencapai 811 Miliar rupiah. Maka dari itu ketidakseriusan, kelalaian dan ketidaksiapan pihak penyelenggara PON XXI Aceh-Sumut maupun dinas-dinas yang terlibat seperti dinas PUPR dan dinas Perhubungan menjadi tanda tanya besar oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk (Menteri Pemuda dan Olahraga) bahwa apa yang sebenarnya mereka kerjakan selama ini dan kenapa tidak sesuai kontrak dan prosedur penyelengaraan.
Tentunya bentuk apology (permintaan maaf) saja tidaklah cukup untuk menjawab sederet permasalahan PON XXI Aceh-Sumut 2024 saat ini. Saya meminta Pihak Penyelenggara PON XXI Aceh-Sumut 2024 harus siap dan bertanggung jawab pada kondisi apapun kedepannya. baik pertanggungjawaban secara proyeksi maupun proses hukum jika munculnya berbagai tuntutan, dilakukakannya pengusutan dan penyelidikan oleh Polri dan Kejangung bagian Satgas Pendampingan Tata Kelola Penyelenggaraan PON XXI 2024, ditemukan atau tidaknya alat bukti dari laporan mengenai adanya dugaan penyelewengan dana PON XXI Aceh-Sumut 2024 tetap akan memberikan citra dan pengalaman yang buruk di mata peserta dan masyarakat yang terlibat.
Sekilas membahas Apa itu Korupsi?
Secara etimologis, Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi diartikan sebagai suatu tindakan penyelewengan atau penghapusan uang negara (perusahaan dan lain sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Di Malaysia terdapat peraturan anti korupsi, dipakai kata “resuah” berasal dari bahasa Arab “risywah”, menurut Kamus umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Andi Hamzah: 2002).
Risywah (suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (al-Misbah al-Munir–al Fayumi, al-Muhalla–Ibnu Hazm). Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Menurut Thomas Hobbes, Korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan kaum elit pemerintah jelas merugikan negara dan masyarakat. Mereka kuat dan cerdas dalam korupsi karena mereka melakukannya dengan sadar.
Mereka juga telah melakukan kejahatan yang sangat merugikan negara. Para koruptor ini terpelajar dan berpendidikan tinggi, duduk di jabatan tinggi dalam pemerintahan, lincah dalam trik birokrasi, dan pandai melakukan prostitusi politik secara diam-diam. Mereka pasti sudah mempertimbangkan rasio manfaat-biaya yang matang. Seorang koruptor selalu menggunakan kekuatan yang luar biasa (penggunaan kekuasaan) dan uang untuk menyogok (penyalahgunaan uang). Kemudian menurut Jogiyanto (2018:40) secara metodologis suatu permasalahan harus didasari oleh gejala atau tanda-tanda masalah (symtom).
Melihat Situasi PON XXI Aceh-Sumut Saat ini, Menurut saya respon dan laporan dari Dito Ariotedjo selaku Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga) saja tidak cukup untuk menjelaskan dan menangani masalah atas adanya indikasi, dugaan terkait penyelewengan dana dalam persiapan dan penyelenggaran PON XXI 2024 Aceh-Sumut tersebut. Meskipun berdasarkan Keppres Nomor 24 tahun 2024 bahwa pihak Kejagung (Kejaksaan Agung) dan Bareskrim Polri merupakan bagian Satgas Pendampingan Tata Kelola Penyelenggaraan PON XXI 2024. Maka dari itu saya meminta pihak penegak hukum yakni Polri dan Kejagung serius dan segera menindaklanjuti laporan Menpora tersebut melalui proses pendampingan dan mengusut tuntas kasus ini secara jujur, adil, presisi dan transparan. Kita tidak ingin korupsi menjadi hal diwajarkan dan dianggap normal karena ketika suara rakyat diabaikan dan penegak hukum mendiamkan dan mencoba menutupi dari sebuah masalah korupsi. Maka disitulah matinya demokrasi.
Saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengkampanyekan semangat anti-korupsi, hal ini bukan hanya berlaku pada penyelenggara negara melainkan bagi kita bersama-sama sehingga menjadi sebuah gerakan positif-partisipatif. kesadaran melalui berbagai upaya dengan terlibat dalam mengedukasi, mencegah, mengawasi, melaporkan dan memberantas korupsi di sektor publik, lingkungan sosial terkhusus pencegahan tindakan korupsi sebagai dasar penyelesaian masalah yang dimulai dari diri sendiri.
Selanjutnya menurut saya Peran mahasiswa sebagai kelompok intelektual dalam masyarakat termasuk Peran dari Kader HmI Se-Indonesia yang kalau dalam ucapan jenderal Besar Sudirman bahwa HMI sebagai Harapan masyarakat Indonesia pada dasarnya memberi arti bahwa kita saat ini dan seterusnya akan terus memikul tanggung jawab yang besar baik sebagai mahasiswa dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda yang terdidik dan tidak lupa juga harus sadar akan nilai-nilai luhur bangsa, baik semangat para pahlawan perjuangan kemerdekaan, nasionalisme dan spiritualitas yang semua itu penuh dengan kebaikan demi kebahagiaan masyarakat hari ini dan di masa yang akan datang.
Kemudian Karena dengan sifat dan wataknya yang kritis itu pula, mahasiswa dan masyarakat harus dapat bersatu dan saling melengkapi, berperan sebagai “kekuatan moral” atau moral forces, yang senantiasa melaksanakan fungsi “social control”. Untuk itulah sebagai tambahan bahwa secara positioning, principle and oriented, mahasiswa harus dapat menjadi kelompok yang independen (bebas) dari segala kepentingan apapun kecuali kepentingan akan kebenaran (haq) dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Leave a Review