Editorial
Memasuki tahun 2025, meski produk reformasi tampak telah berdamai dengan oligarki, tetapi tidak untuk arah kekuasaan dengan deforestasi. Ada banyak lapisan yang menjadikan kekuasaan enggan berdamai dengan deforestasi, demikian sebaliknya. Kekuasaan cenderung gemar mengeksploitasi sumber daya alam, energi, kawasan satwa dilindungi, lahan gambut, hingga marga satwa dan soal ekosistem lainnya.
Diakui atau tidak, ada peran pihak pendonor luar negeri yang berperan aktif dalam menyokong pelestarian alam di Indonesia, dari Papua hingga Sabang, dari Pulau Papua, Kalimantan, Jawa hingga Sumatera. Demikian juga dengan keanekaragaman hayati, flora fauna, ada banyak lembaga di Indonesia yang disokong dari luar negeri untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia. Pada titik ini, ada benang merah yang ingin dicapai dalam upaya pelestarian alam tersebut adalah, agar di kolong langit ini manusia dan alam serta keanekaragaman hayatinya dapat seimbang dan berdampingan hidup satu sama lain. Bukan untik dipisah, apalagi dipertentangkan.
Tesis siapa butuh siapa, atau siapa lebih bergantung kepada siapa memang tidak membawa jalan harmonis antara visi kekuasaan dan deforestasi. Dua hal ini semakin hari semakin seperti air dan minyak, seperti siang dan malam. Tidak saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Meski semuanya berpadangan global, hutan ditebang, lahan jutaan hektare diratakan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan peluang ekonomi global.
Ada banyak korban yang terseret akibat tak berdamainya antara kekuasan dengan deforestasi ini. Kehidupan kerakyatan seakan menjadi timpang dan dianaktirikan. Masyarakat adat, pencari nafkah yang bergantung pada kesehatan lingkugan seperti tanah, hutan, laut, sungai adalah sesuatu yang sangat berharga bagi negara dan rakyat. Oleh karena itu, ada prinsip konstitusi kita menarik garis bahwa segala kekayaan alam diperuntukkan hanya untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat. Bukan sebaliknya yang dirampok untuk sekelompok atau sebanyak 50 orang kaya di masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Satu sisi memang Indonesia berpeluang menjadi negara strtegis dalam hal memproduksi hasil alam seperti hasil pertambangan, batu bara dan sawit. Damun pada sisi lainyya rakyat bahkan dunia membutuhkan udara segar, keseimbangan alam agar tak memicu bencana beruntun, konflik satwa liar dan satwa kunci dengan warga pemukiman juga mesti dipertimbangan.
Lain lagi halnya hutan, sungai, laut, sawah tak lagi menjadi tempat yang dapat dihandalkan dalam menopang hidup bagi kalangan rakyat yang hidup dengan kearifan lokalnya. Semua apa yang disinggung ini tentunya adalah penalaran yang terkandung di balik belum berdamainya kekuasaan dengan deforestasi.
Ada hal yang belum banyak terurai rapi antara dua hal tersebut (kekuasaan dan deforestasi), yang diharapkan satu sama lain saling mengikat dan saling mempertimbangkan, namun justru dua hal tersebut saling tidak akur. Kekuasaan selalu menjadi pemenang, deforestasi selalu meluas dan meningkat serta menyisakan banyak peristiwa dan sejarah hilanga nyawa manusia, flora dan fauna.
Mencintai alam tidak dilarang dalam kekuasaan, demikian halnya meningkatkan ekonomi nasional dan ketahanan pangan juga tidak dilarang dapam prinsip deforestasi. Namun demikian pada praktik dan arah pembentukan kebijakannya justru dua hal tersebut belum juga terdapat tanda-tanda pertadamian.
Terkadang hukum alam bekerja sangat berbeda dengan cara hukum politik bisnis. Hukum alam terus memberi keuntungan sebesar-besarnya, namun pada sisi lain ia juga memberikan multiplayer efek kerugian yang tak dapat diukur dengan jumlah mata uang. Jika kelestarian alam dirusak, ada banyak nilai dan kehidupan yang menghilang dan tak tergantikan oleh mata uang. Sebalinknya, jika bumi atau alam terus dieksploitasi dengan tujuan bisnis global, golongan rakyat mana yang lebih mengambil manfaatnya? Adalah ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia yang hilang keluarga, berada di bawah garis kemiskinan, hilang tanah bahkan hilang kebebasannya dalam menjaga hak-hak adatnya juga mendapat keuntungan yang setimpal?
Dalam konteks inilah masih jauh panggang dari api bagaimana kekuasaan dan deforestasi itu mencari jalan damainya. Hingga kini, belum ada satu poros kerakyatan maupun golongan elite yang taktis mengambil peran dalam mempertemukan dua hal ini. Sehingga jika dibiarkan terus-terusan tidak menjalin perdamaian, maka sampai kapan Indonesia akan terus gersang dan saling menciptakan bom waktu dan terus mengakibatkan kensenjangan sosial, politik, ekonomi, kesehatan hingga kesenjangan dalam menciptakan kebijakan. Haruskah menunggu semesta mengutuk bangsa ini agar kekuasaan dan deforestasi dapat berdamai? [Zulfata]
Leave a Review