Oleh: Apriadi Rama Putra
Menyeroti pungli di Aceh Tenggara penulis rasa ini bukan hal yang tabu lagi untuk dibahas dan harus disikapi dengan tegas. Penulis ingin bercerita sedikit terkait beberapa waktu yang lalu penulis dan kawan – kawan buat kegiatan berbentuk olahraga di Aceh Tenggara guna mengurangi dan antisipasi maraknya pengguna narkoba di Aceh Tenggara ini.
Tidak lama berselang waktu kemudian penulis dan kawan – kawan kembali lagi buat kegiatan berbentuk kaderisasi guna pemberluas wawasan baik itu untuk diri penulis pribadi maupun kawan-kawan pemuda lainnya. Namun apa yang terjadi? Ketika dua kegiatan itu kami jalankan dan sedang terlaksana.
Ternyata kejadiannya yang sama terus terulang lagi, ketika kami buat kegiatan olahraga maupun kaderisasi bersifat diskusi itu, datanglah beberapa pemuda dengan membawa logo, dengan dalih minta uang rokok atau sering disebut di dalam pikiran alam bawah sadar.
Nah, yang lebih parah dan ini patut menjadi pertanyaan besar penulis sendiri mewakili seluruh pemuda dan mahasiswa Aceh Tenggara yang resah akan hal ini adalah dengan datangnya oknum-oknum dengan mengatas namakan instansi terkait meminta hal yang sama, yang ini langsung tembak dalih uang keamanan di dalam pikiran bawah sadar kami “ini kalau tidak dikasih pasti acaranya dibubarkan dengan berbagai cara yang di halalkan”, mendengar pernyataan tersebut, rela tidak rela, panitia acara memberi walaupun tidak iklash.
Maksud penulis melemparkan narasi diatas, apa masih sanggup para oknum-oknum di Aceh Tenggara yg mungkin juga bagian dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang tega “merampok” kami pemuda yang hanya ingin buat kegiatan agar pemuda Aceh Tenggara sendiri bisa saling bertukar pikiran saling kenal satu sama lain bukan maksud yang aneh-aneh dan pakai anggaran yang bersifat swadaya. Apa tidak malu?
Mungkin ini salah satu alasan kenapa banyaknya pemuda yang ingin buat kegiatan diurungkan lagi niatnya, karena berfikir lebih banyak anggaran yang dikeluarkan untuk memberi dana keamanan oknum-oknum yang tidak sekali datang bahkan ada yang sampai selesai acara.
Bayangkan ketika acara itu berlangsung seminggu dan minimal panitia harus mengeluarkan anggaran setidaknya perhari Rp. 300.000 x 7 hari untuk para oknum tersebut? Itu lebih besar anggaran dari biaya makan panitia dan peserta selama kegiatan. Dengan dalih ini disuruh atasan? Pertanyaannya atasan yang mana?
Tidak heran rasanya ketika ada pembangunan infrastuktur di desa, padahal itu untuk kita nikmati nantinya. Begitu banyak pemuda berubah menjadi preman (pre makan) dengan alasan disuruh ketua, pertanyaannya dalam konteks ini adalah ketua yang mana? Dan ternyata secara tidak langsung sifat mental pengemis ini ditanamkan oleh oknum-oknum tersebut.
Apa gaji yang diberikan negara terkait gaji pokok, tunjangan dan perjalanan dinas tidak cukup? Atau mungkin dulu waktu pencalonan terlalu banyak dana yang dikeluarkan sehingga untuk gaji pokok dan tunjangan serta perjalanan dinas tidak mencukupi untuk menutupi modal yang dikeluarkan di awal?
Begitu pun dengan pemuda setempat, ayolah lebih ikut andil lagi dalam kegiatan membangun karakter, coba ubah pola pikir dan perkataan “uang rokok dulu” dengan apa yang bisa kami bantu, penulis rasa perkataan itu lebih terdengar merdu lagi.
Dan ini penulis harap menjadi pekerjaan rumah besar untuk Kapolres dan Dandim agar pemuda di Aceh Tenggara terlebih khusus untuk oknum-oknum APH tersebut agar dibangun lagi cinta masyarakatnya sama-sama membantu kami pemuda ini yang sadar pentingnya membangun karakter dan bukan mengedepankan mental pengemis terlebih lagi membangun sifat premanisme terhadap masyarakat.
Artinya kalau bukan APH dan Pemuda yang saling bermitra untuk membangun karakter masyarakat namun siapa lagi? Kalaulah bukan APH tempat kami mengadu selain Tuhan terus siapa lagi? Pesan untuk Bapak Kapolres dan Bapak Dandim Aceh Tenggara ayo pak lebih di kawal lagi pungli di Aceh Tenggara ini, ini keresahkan kami sebagai pemuda yang tidak bosan-bosannya membuat peta jalan lebih baik kedepannya untuk Aceh Tenggara.
Leave a Review