Sipil Tak Konsisten, TNI-Polri Bergantian Menjadi Pilar Kekuasaan

Kompas/erakini/berbagai sumber.

Oleh : Agusto Sulistio ǀ Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

Perdebatan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI kembali mencuat. Sebagian pihak menilai bahwa aturan ini membuka celah bagi militer untuk kembali masuk ke ranah politik dan pemerintahan, mengulang sejarah kelam Dwi Fungsi ABRI di era Orde Baru. Perlu digarisbawahi bahwa perdebatan ini akibat masyarakat sipil sendiri tidak konsisten dalam menjaga batas antara TNI-Polri dan politik.

Sejarah relasi militer, kepolisian, dan kekuasaan selalu berubah sesuai dengan kebutuhan politik penguasa. Pada satu masa, militer menjadi alat utama untuk menopang kekuasaan, sementara di masa lain, kepolisian yang lebih dominan. Ironisnya, masyarakat sipil dan elite politik yang mengaku pro-demokrasi pun kerap kali mendukung keterlibatan TNI atau Polri, tergantung pada apakah tindakan tersebut menguntungkan mereka atau tidak.

Sejak era Soekarno, Soeharto, hingga Jokowi, baik TNI maupun Polri telah berulang kali menjadi instrumen politik kekuasaan. Era Soekarno, militer dimanfaatkan sebagai penyeimbang antara PKI dan kekuatan politik lainnya. Namun, setelah peristiwa G30S 1965, TNI justru mengambil alih kekuasaan dan mendorong naiknya Soeharto.

Era Soeharto, militer tidak hanya menjadi alat pertahanan, tetapi juga masuk ke birokrasi, parlemen, dan bisnis. Dwi Fungsi ABRI menjadikan TNI sebagai pilar utama rezim Orde Baru. Era Reformasi, pemisahan TNI dan Polri tahun 1999 menjadi langkah besar untuk menghapus peran politik militer. Namun, bukan berarti kekuasaan tidak lagi memanfaatkan aparat. Jika di era Orde Baru militer menjadi tulang punggung penguasa, di era reformasi Polri justru mendapatkan peran lebih besar.

Saat Presiden Jokowi berkuasa, penggunaan TNI dan Polri dalam politik semakin kentara. Para jenderal, baik dari TNI maupun Polri, mendapat posisi strategis dalam pemerintahan. Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan) dan Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) adalah contoh bagaimana militer tetap menjadi bagian dari strategi politik kekuasaan.

Inkonistensi sikap masyarakat sipil dan elite politik terhadap peran TNI terlihat jelas dalam kasus penanganan FPI. Saat TNI diturunkan untuk mencopot baliho Habib Rizieq Shihab di Petamburan, relawan dan pendukung Jokowi justru mendukung keterlibatan militer dalam urusan sipil. Mereka membenarkan tindakan TNI karena dianggap bertujuan menertibkan oposisi yang dinilai mengancam stabilitas negara.

Keika enam aktivis FPI tewas dalam insiden di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, sebagian besar kelompok pro-pemerintah cenderung diam dan tidak bersuara lantang dalam mengecam tindakan aparat kepolisian.

Kini saat RUU TNI berpotensi membuka ruang lebih besar bagi militer dalam ranah sipil, banyak pihak yang dulu pasif justru aktif menyuarakan penolakan.

Di sini terlihat jelas bahwa sebagian kelompok politik dan masyarakat sipil tidak benar-benar konsisten dalam menjaga demokrasi. Mereka menentang intervensi militer hanya ketika itu mengancam kepentingan mereka, tetapi mendukungnya ketika digunakan untuk membungkam lawan politik.

RUU TNI yang saat ini dibahas bisa jadi merupakan langkah untuk mengembalikan dominasi militer dalam politik sipil. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa selama dua dekade terakhir, Polri-lah yang justru menjadi alat utama penguasa dalam berbagai kebijakan yang represif.

Dalam kasus demonstrasi mahasiswa 2019 dan aksi-aksi penolakan Omnibus Law, Polri yang paling banyak digunakan untuk mengamankan kepentingan pemerintah. Sejumlah kasus kekerasan terhadap aktivis dan penangkapan tokoh oposisi lebih sering melibatkan Polri dibandingkan TNI.

Ini membuktikan bahwa baik TNI maupun Polri, secara bergantian, selalu dijadikan alat oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Jika kita benar-benar peduli pada demokrasi, maka sikap terhadap intervensi militer dalam politik haruslah konsisten. Kita tidak bisa hanya menolak RUU TNI saat ini, tetapi di sisi lain mendukung tindakan militer ketika menguntungkan posisi politik tertentu.

Jika TNI seharusnya tidak boleh masuk ke ranah sipil, maka itu juga berlaku dalam semua kasus, termasuk ketika mereka digunakan untuk menindak oposisi. Jika Polri seharusnya tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan, maka itu juga harus ditegaskan dalam berbagai tindakan represifnya selama ini.

RUU TNI bisa menjadi awal dari kembalinya peran politik militer secara sistematis. Jika ini terjadi, maka Indonesia hanya mengulang sejarah: militer atau polisi, salah satu dari mereka akan selalu menjadi pilar kekuasaan.

Yang harus dijaga bukan hanya menolak intervensi militer, tetapi juga memastikan bahwa institusi negara tidak terus dipolitisasi oleh siapa pun yang berkuasa. Jika kita tidak konsisten, maka kita akan terus terjebak dalam siklus lama: TNI dan Polri bergantian menjadi alat penguasa, sementara demokrasi semakin terkikis

RUU Kepolisian yang sedang dibahas saat ini memuat beberapa pasal yang dianggap bermasalah dan mengancam kebebasan masyarakat sipil.

Beberapa poin yang dianggap kontroversial

  1. Perluasan Kewenangan Intelkam : RUU Kepolisian memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Intelkam Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, penangkalan, dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu yang dianggap mengancam kepentingan nasional.
  2. Kewenangan Penyadapan : RUU Kepolisian memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan tanpa harus mendapatkan izin dari lembaga lain, yang dianggap dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
  3. Pengawasan terhadap Ruang Siber: RUU Kepolisian memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Ruang Siber, yang dianggap dapat menimbulkan pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet.
  4. Peran Polri sebagai Superbody : RUU Kepolisian dianggap dapat membuat Polri menjadi lembaga yang terlalu kuat dan tidak terkendali, sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan mengancam kebebasan masyarakat sipil.

Sehingga fungsi pertahanan, yang mesti nya dikerjakan TNI diambil oleh Kepolisian. Yang notabene fungsinya di keamanan.

Kalibata, Jakarta Pusat, Selasa 18 Maret 2025,

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi