Oleh: Syarifuddin Abe
Adalah Arwah Setiawan (1935-1995) yang dikenal dengan ‘Presiden humor Indonesia’. Suatu ketika pernah menulis tentang ‘Humor itu Serius” dan tulisan ini kemudian menjadi judul ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tanggal 26 Juli 1977. Arwah Setiawan yang oleh teman-temannya dipangggil Nawan, merupakan penulis terkenal tentang humor di Indonesia. Telah menerbitkan beberapa karyanya dalam bentuk buku, Humor Masyarakat Indonesia Tahun 2000 Plus, Komedi Masyarakat Indonesia Tahun 2000 Plus, kedua buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Arwah di Harian Suara Pembaharuan, Minggu. Buku ketiganya adalam Humor Zaman Edan (1997). Pada tahun 2020, baru keluar buku Humor Itu Serius, merupakan tulisan Arwah Setiawan yang dikumpulkan oleh teman-temannya dan menjadi buku besar Nawan tentang humor.
Darmanto M. Sudarmo dalam Humor Itu Serius, yang juga sahabatnya, menegaskan bahwa Arwah merupakan manusia seutuhnya, dinamakan ‘Arwah” di awal namanya, bukan berarti sebagai sosok makhluk halus. Bagi Darmanto, terdapat tiga aspek yang tidak dapat lepas dari dirinya, yaitu pertama, Arwah sebagai seorang manusia, Arwah bukanlah sosok gentayangan, akan tetapi riil sebagai manusia, sebagaimana kita sebagai manusia pada umumnya. Arwah adalah sosok yang tidak ada bedanya dengan manusia lainnya. Arwah merupakan sosok doyan makan, minum serta butuh ngobrol dengan teman-temannya. Artinya Arwah adalah manusia normal sebagaimana yang lainnya, memiliki hasrat dan keinginan.
Kedua, Arwah sebagai seorang humorolog atau sebagai ilmuan humor. Arwah merupakan ilmuan humor pertama di Indonesia, tidak ada yang lain waktu itu. Arwah hadir ketika masyarakat Indonesia masih kental menganggap humor sebagai sebuah guyonan yang biasa dan menjadi penghibur bagi siapa saja yang lagi dirundung sedih dan gundah gulana; sehingga humor sepakat dianggap hanya sebagai ‘penghibur’ belaka. Tepatnya tahun 1977, dengan gaya kalem, Arwah membuat gempar masyarakat yang mendengarnya. Arwah dengan kredonya “Humor Itu Serius” mampu membuat orang terperangah dan tercengang.
Pada masa itu, kalau ada yang membuat orang bingung, akan dianggap aneh. Sehingga orang banyak ingin tahu maksud dari kredo Arwah itu, ada yang mencari-cari makna tersembunyi dari kalimat itu, bahkan ada yang mentertawakan dan lebih jauh lagi ada yang berteriak “gila, gila memang anak itu, jenius betul pemikirannya”. Pada saat itu, tidak ada yang berpikir, bahkan terjadi diluar dugaan; seriusnya humor ternyata telah membuka wawasan seorang Arwah Setiawan untuk menjadikan humor naik taraf pada tingkat sejajar dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Pemikiran Arwah waktu itu, tidak hanya sebagai sebuah pendobrak, tapi pemikiran dan gagasannya itu langsung diamininya sendiri dengan memulai mendirikan Lembaga Humor Indonesia (LHI) yang menjadi jalan dalam mewujudkan keinginannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan pada akhir pidatonya di Taman Ismail Marzuki itu, “Barangkali ada baiknya dilancarkan suatu upaya yang lebih disengaja dan terkoordinasi untuk membudidayakan humor. Misalnya antara lain: membentuk semacam pusat pembinaan humor yang mengandalkan dua jenis kegiatan, yaitu di bidang praktik dan di bidang teori”. Di bidang praktik Arwah mengusulkan untuk menerbitkan majalah, buku-buku, mendirikan perkumpulan humoris, membentuk bank naskah komedi. Menyelenggarakan secara berkala event humor, dengan mencakup berbagai kegiatan, seperti festival lawak, pameran karikatur, sayembara penulisan humor, pembacaan anekdot (sebagai tanding baca puisi).
Pada bidang teori, Arwah mengusulkan untuk mendirikan suatu badan atau lembaga penelitian humor, mendokumentasikan humor, menyelenggarakan ceramah, seminar dan diskusi tentang humor serta menggiatkan kritik-kritik humor. Serangkaian gebrakan Arwah tersebut langsung mendapat respons waktu itu. Di antaranya diadakanlah lomba musik humor; yang menghasilkan sosok fenomenal Firgiawan Listanto alias Iwan Fals. Festival Lawak Nasional yang dimenangi oleh Kwartet S, Malang dengan lakon Ratu Jadi Petruk. Pameran Kartun Nasional, yang melahirkan Tony Tantra yang kemudian melahirkan karya-karya karikaturnya menghiasi halaman utama media-media besar ibu kota, Lomba Baca Puisi Humor, hingga mengadakan Seminar Humor yang memicu munculnya tokoh-tokoh pembicara humoris, seperti Gus Dur, Jaya Suprana dan lainnya.
Ketiga, Arwah sebagai humoris. Sebagai sosok humoris, kebenarannya dapat dilacak melalui karya-karya kolom lucunya. Kolom kreatif. Oleh Darmanto malah menyebut Arwah sebagai ‘Sang Pujangga Kolom Lucu Indonesia’. Bagi Darmanto, terdapat beberapa ciri khas cara Arwah melucu, yaitu dengan memakai ‘jurus’ plesetan (imitation and parody). Adapun ciri lainnya dengan menggunakan permainan logika. Arwah sangat ahli bahkan sangat detil sampai ke urat nadi persoalan, bahkan sangat piawai menggunakan terminologinya dalam membolak-balikkan logika.
Oleh Seno Gumira Ajidarma (Prisma: 2019), “Humor itu Serius” diibaratkan olehnya sebagai genesis perihal pemikiran tentang humor. Hal ini juga bagi Seno tidak sebagai untuk menjadi rujukan, melainkan dapat dijadikan sebagai sebuah konsep pertama dan menyeluruh. Menurut Seno, ada empat hal yang oleh Arwah Setiawan Humor dianggap sebagai suatu hal yang sangat serius dalam tulisannya itu.
Pertama, humor pada saat itu sebagai sebuah komoditas yang tidak bermasalah, banyak sekali humoris pada saat itu, apakah itu yang tradisional sampai yang kontemporer. Bahkan dari yang oral, visual hingga tekstual. Akan tetapi secara kualitatif masih jalan di tempat, hal ini dikarenakan modal lawakan yang masih dianggap sama, yaitu mentertawakan kelainan dan main jorok, yang oleh Seno diibaratkan seperti kentut.
Kedua, yang boleh ditertawakan dan mentertawakan hanyalah “kelas pembantu”. Hal ini mengakibatkan, humor dalam kebudayaan Indonesia, hadir tak lebih sebagai unsur pembantu, atinya humor dalam setiap kesempatan dan dalam bentuk serta suasana apapun, hanya sebagai bumbu. Misalnya, bumbu dalam ceramah dan itupun hanya pada tataran ilustratif. Atau humor hanya digunakan sebagai selingan agar orang dalam sebuah forum tidak ngantuk. Atau dalam sebuah acara atau sebuah kegiatan, humor hanya selingan yang disisipi di antara acara dan kegiatan pokok. Sehingga humor hanya dianggap ada dalam sebuah komunikasi atau sastra atau dalam sebuah teater/sandiwara, akan tetapi tidak pernah sebaliknya; artinya humor tidak pernah berdiri sendiri. Seakan-akan humor itu lemah tanpa eksistensinya. Tidak pernah kita menemukan humor sebagai sebuah analisis, walaupun dalam kadar yang ringan, yang secara khusus humor sebagai sebuah konstruksi yang mandiri dan berdiri sendiri.
Ketiga, sebagaimana yang dilakukan oleh Arthur Koestler (1905-1983) yang telah membuktikan bahwa kedudukan humor menjadi setara dengan ilmu pengetahuan dan seni dalam tiga wilayah kreativitas (humor – ilmu pengetahuan – seni), ketiganya malah sama-sama mencari analogi tersembunyi. Perbedaannya hanya pada landasan emosi serta akibatnya. Ilmu pengetahuan dengan emosi berjarak menjadikan orang mengerti. Seni dengan penuh keterpesonaannya membuat orang menjadi terharu, humor dengan emosi yang penuh agresif menjadikan orang tertawa. Di sini, mau tidak mau, harus diakui bahwa dengan logika humor yang biasanya disebut dengan bisosiasi, dapat dibuktikan bahwa proses kreasi humor adalah proses intelektual.
Arwah (2020) merujuk kepada pembagian kreativitas manusia kepada tiga wilayah sebagaimana yang disampikan oleh Arthur Koestler dalam bukunya The Act of Creation, di mana antara humor, ilmu pengetahuan dan seni memiliki kesederajatan, semuanya dapat diberlakukan dalam satu peristiwa yang sama dan batasannya sering tumpang tindih. Kegiatan kreatif ketiganya juga berjalan di atad proses yang sama, yaitu mencari suatu analogi yang tersembunyi. Sedangkan yang membedakannya hanyalah pada emosi yang terlibat, apakah itu yang mendasarinya ataupun yang diakibatkannya.
Humor tidak boleh dipandang sebelah mata. Hanya saja hingga saat ini, orang tidak memahami humor pada tataran yang sesungguhnya. Apalagi ada yang meremehkan humor. Humor dianggap sebagai sesuatu yang nyeleneh. Seorang yang humoris dianggap rendah, tidak ada wibawa, boleh diremehkan, tidak dianggap serius bahkan mentertawakannya karena dianggap geli oleh tingkah dan uacapannya. Yang serius itu orang-orang yang pembawaan tegang dan tidak pernah tertawa. Jarang senyum, tidak pernah main-main. Jarang bahkan tidak pernah tersenyum dan tertawa dianggap berwibawa. Orang yang tidak pernah tersenyum dan tertawa atau takut tersenyum dan takut tertawa wajahnya sering terlihat seperti orang yang suka menahan kentut.
Seolah-olah orang yang suka tersenyum dan tertawa tidak berwibawa. Maka tidak jarang, tanpa sadar ketika tiba-tiba anda menjadi lucu atau membuat orang tertawa oleh ulah, bahasa, perkataan atau mimik anda, maka jangan menyesal, dengan secepat kilat anda langsung dianggap orang tidak serius dan kemungkinan besar, pada tahap selanjutnya anda akan dianggap mudah untuk dilakukan apa saja, walau dihina tidak bias marah bahkan marahkan dianggap lucu, boleh dimain-mainkan dan anda akan digolongkan sebagai orang yang tidak memiliki wibawa dan rendahan. Hanya gara-gara seseorang membuat lucu; demikian menjadi rendahnya di mata orang-orang kepada seseorang. Lucu bukan?
Di sini, saya teringat kepada cerita pelawak Komeng dalam sebuah wawancara. Pada suatu ketika, Komeng menemani seniornya pelawak Ateng. Dalam sebuah perjalanan, tanpa sengaja bertemu dengan beberapa anak remaja, ketika remaja itu melihat Ateng lewat, spontan saja mereka teriak, “eh Ateng”. Komeng yang berada di samping Ateng kaget, kenapa anak-anak itu berani memanggil dengan sebutan nama secara langsung, tanpa ada embel-embel semacam Pak, Om, atau Bang? Komeng ingin mendekati anak-anak remaja itu, tapi Ateng melarangnya. Dari cerita ini saja, kita dapat memahami, betapa masyarakat kita tidak dapat memahami dan menempati ‘humor’ itu pada posisi yang sebanarnya? Masyarakat kita terlalu serius, kurang rileks, kurang piknik, sehingga seperti kurang edukasi terhadap humor bahkan kepada orang yang humoris. Humor seperti sebuah kata yang tidak memiliki makna.
Keempat, humor itu berdaya guna, walau dalam kenyataannya masyarakat tidak memiliki kemampuan menempatkan humor sebagai mana mestinya. Kalau dalam bahasa Seno menyebutnya “meskipun dalam khalayak tanpa hati”, dan Seno juga mencontohkan seperti di Uni Soviet. Bagi Seno, kebergunaan humor itu langsung atau tak langsung. Kebergunaan secara langsung sebagaimana keberadaan humor dalam sebuah hiburan dan pada kritik sosial. Harus diakui, Tulisan “Humor itu Serius” ditulis oleh Arwah Setiawan pada masa Orde Baru dan Arwah menurut Seno perlu menjelaskan bahwa kritik sosial sebagai bagian dari humor, dan akan dapat menyelamatkan penguasa. Apalagi ada dua fungsi dari kritik sosial itu, yaitu pertama, sebagai bagian dari memperbaiki kekeliruan dan kedua, dapat menyalurkan kejanggalan. Arwah juga mempertegas bahwa secara psikologis, humor dapat menggantikan kekerasan.
Seno juga mempertanyakan, seandainya pada masa Orde Baru, atau ketika jaya-jayanya Orde Baru, kritik sosial tidak dianggap sebagai sebuah ganjalan atau sebagai sebuah gangguan, apakah Orde Baru masih jaya hingga sekarang? Betapa Orde Baru takut kepada puisi-puisi WS. Rendra, takut kepada pentas-pentas teater dan sebagainya. Semua kegiatan para seniman harus memiliki izin terlebih dahulu. Tidak hanya sampai di situ, terhadap kegiatan apapun, dalam bentuk apapun; semua harus melapor dan harus memiliki izinnya. Kalau harus dibilang Orde Baru kelewat, ya memang kelewatan. Bukankah akhirnya Orde Baru runtuh dan jatuh oleh ketakutannya sendiri. Ketakutan sudah menjadi hantu bagi keberlangsungan rezim itu. Lebih jauh lagi, tanpa sadar, sesungguhnya negara waktu itu sudah menjadi hantu bagi orang yang kreatif. Teror dan intimidari menjadi ‘tuhan’ untuk menyelamatkan rezimnya. Pengawasan dan kecurigaan menjadi mimpi buruk yang meluluhlantakkan kekuatannya. Betapa Orde Baru itu rapuh oleh ketakutannya, menempatkan kritik oleh masyarakatnya sebagai rongrongan untuk menghancurkannya.
Selanjutnya, humor yang kebergunaan tak langsung, menurut Seno, Arwah menginginkan humor harus dapat berdiri sendiri sebagai cabang ilmu tersendiri. Humor harus menjadi cabang ilmu pengetahuan yang mandiri dan humor harus ada sudut pandang tersendiri. Bagi Arwah, watak suatu bangsa, dapat dilihat berdasarkan dari humor yang berkembang dalam suatu masyarakat tersebut. Harus diakui juga, sekaligus menyedihkan juga, walau penelitian dari berbagai pendekatan telah dilakukan dengan dana yang melimpah bahkan ruwah, namun dari sudut pendekatan humor tidak pernah dipertimbangkan, sama sekali tidak ada.
Perguruan Tinggi boleh saja berdiri tegak dengan penuh keangkuhannya. Apakah berbentuk negeri atau berbentuk swasta sekalipun, diakui atau tidak diakui, terakreditasi atau apa pun namanya. Apakah suatu ilmu pengetahuan sudah berkembang atau masih dalam proses berkembang. Sepertinya humor tidak akan kunjung mendapat porsi sebagai cabang dari ilmu pengetahuan yang mandiri. Humor tetap dianggap tidak ada. Sekali lagi, ini berbanding terbalik dengan maraknya humor sebagai komoditas maupun gejala kebudayaan. Oleh Seno menjelaskan, di akhir pidatonya, “Humor Itu Serius” Arwah dengan sangat serius mengajak pembaca untuk berpikir, sambil bertanya; mengapa di Indonesia yang budaya humornya kaya harus tidak ada Lembaga Penelitian dan Pengembangan Humor? Pengantar Ilmu Humor?, maupun Sarjana Humorologi?
Pada tahun 2016, kurang lebih setelah 39 tahun Arwah berteriak “Humor Itu Serius” pada seminar untuk mengenang sosok Arwah Setiawan, melaksanakan seminar bertajuk “Humor Itu Memang Serius’. Berlangsung di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia West Mall, lantai 8, pada Jumat 11 Maret 2016 pukul 15.00 -17.30 WIB. Dengan menghadirkan pembicara; Jaya Suprana, Arswendo Atmowiloto, dan Seno Gumira Ajidarma bertindak sebagai moderator. Bagi Seno, ia sudah boleh bernafas lega, perjuangan Arwah Setiawan untuk mengangkat humor pada tingkat yang menjadi bagian dari ilmu pengetahuan serta dapat penghormatan sebagai keutuhan sebuah ilmu. Menurut Seno, walaupun belum lahir Sarjana Humorologi, tetapi minat penelitian terhadap humor, betapapun minimal dibanding gejala-gejalanya, dari tahun ke tahun telah menghasilkan skripsi, tesis, disertasi yang layak meluluskan penelitinya. Bahkan tidak terbayangkan oleh Seno, seorang humoris mendapat penghargaan bintang Mahaputra atas jasa-jasanya, lewat selera humor kelas wahidnya yang melekat pada Abdurrahman Wahid, dengan buku kumpulan kolomnya Melawan dengan Lelucon (2000), tidak menghalanginya untuk terpilih sebagai presiden Republik Indonesia ke empat.
Seno juga mencoba untuk membuat berupa catatan tambahan, dengan menambahkan artikelnya agar lebih sempurna. Seno menjelaskan, mengapa humor memang harus dipelajari dengan serius, hal ini dikarenakan adanya beberapa momentum, ketika humor telah menjadi suatu kebahagiaan bagi manusia, namun tiba-tiba telah menjadi potensi bencana mengerikan. Hal ini dikarenakan ada beberapa peristiwa yang sangat menyedihkan dan terhadap beberapa peristiwa itu perlu adanya intervensi humorolog. Antara lain: Pertama, peristiwa yang menimpa kartun Nasib Si Suar Sair pada Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), 24 Oktober 2004 di Medan. Kartun yang bersikap kritis terhadap fakta “korupsi tapi puasa”, menimbulkan tindak kekerasan terhadap kantor SIB, dengan tuduhan berbau pemutarbalikan sebagai penghinaan agama. Peristiwa bersifat lokal, namun memiliki unsur “kepentingan para pengganyang”, peristiwa ini dapat memutarbalikkan humor.
Kedua, peristiwa “kartun Nabi”, yang terjadi pada koran lokal Kota Aarhus, Jylland Posten, Denmark, pada September 2005, karya Kurt Westergaard. Berbeda dengan kasus Medan, tidak secara khusus terdapat sentimen keagamaan, dalam kasus kartun ini merupakan bagian dari proyek “kartun Nabi”, melibatkan 11 kartunis. Ketidakpekaan ini, lahir dari “kepincangan etis” dan mengakibatkan huru-hara demonstrasi di seantero bumi dengan korban jiwa setidaknya 139 orang.
Ketiga, peristiwa kartun tabloid Charlie Hebdo di Paris, lagi-lagi “kartun Nabi”, pada 7 Januari 2015. Bahwa pembantaian tidak dapat dibenarkan, tetapi kartun dianggap sebagai representasi kebebasan berekspresi, haruslah diimbangi sikap etis bahwa taraf kebebasan itu berbanding sama dengan taraf kemampuan bertanggungjawab. Menurut Seno, aksi teror yang meningkat setelah peristiwa itu, merupakan bagian dari “masalah humor” yang sangat berbahaya jika akan terus diabaikan.
Ketiga catatan peristiwa tersebut, bagi Seno, terhadap wacana politik, jurnalistik, atau komunikasi massa, yang biasanya berkembang hangat setelah peristiwanya, telah membuat pakar manapun terlalu sering lupa mendalami humornya itu sendiri. Baik karena humor tidak (pernah) dianggap penting, maupun sebenarnyalah sebagai wacana tidak dikuasai! J Dalam teori humor memang terdapat Teori Superioritas, yang menunjuk lahirnya tawa berdasarkan “penghinaan” terhadap objek humor, yang hanya dalam budaya humor bisa diterima.
Leave a Review