Oleh : Danu Abian Latif
Penulis Buku Opini Nakal untuk Indonesia
Tahap pemilihan calon pemimpin (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sampai ke fase mengeluarkan 20 nama kandidat yang di nyatakan lolos test profile assessment dari 40 nama kandidat sebelumnya yang sudah lolos test kompetensi, namun hasil panitia seleksi menjelang tahap akhir pemilihan calon komisioner dan dewan pengawas KPK memunculkan pandangan kontroversial di ruang publik.
Pembicaraan mengenai praktik ruang hitam dalam pemilihan Capim KPK menjadi perhatian besar masyarakat dan hangat di media sosial, pasalnya beredar desas-desus adanya dugaan intervensi dan titipan nama-nama calon kandidat rekomendasi istana, dari hal tersebutlah publik mulai meragukan independensi pansel KPK yang di bentuk oleh presiden.
Keraguan ini di dasari dengan lolosnya kandidat-kandidat Capim KPK yang melanggar kode etik, dari 20 nama yang di umumkan oleh panitia seleksi memiliki kandidat dengan segudang persoalan, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada nama kandidat Capim KPK yang pernah di laporkan dengan tuduan pelanggaran kode etik yaitu Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan, dapat kita lihat bahwa panitia seleksi belum siap atau memang sengaja meloloskan mengingat banyak sumber informasi untuk mendapatkan rekam jejak kandidat Capim KPK.
Belum lagi adanya pejabat struktural KPK Johanis Tanak yang di loloskan oleh panitia seleksi, melihat dari rekam jejaknya ketika KPK berada di bawah kepemimpinannya banyak stigma negatif yang di lontarkan masyarakat pasalnya kebijakan dan keputusan di ambil sering kali membuat kegaduhan, bukankah alasan ini sudah cukup menjadi alasan bahwa beliau tidak layak lolos tahap test assessment, kalaupun di loloskan apa alasannya? Bukanya sudah jelas gambaran KPK apabila jika ia terpilih akan sama ceritanya seperti sebelumnya.
Tidak habis di situ saja wajah aparat hukum juga terpampang mendominasi Capim KPK, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada 45 persen bisa di bilang ada 9 orang yang berasal berlatarbelakang aparat penegak hukum mau yang sudah purna tugas ataupun masih aktif, apakah hal ini di rencanakan atau memang ada cawe-cawe yang bermain bersama panitia seleksi KPK bahwa Capim KPK di isi oleh aparat penegak hukum.
Dominasi peserta Capim KPK dari aparat penegak hukum mendapatkan stigma di kalangan masyarakat, banyak asumsi di lini masyarakat bahwasanya pasti ada intervensi yang di lakukan terhadap panitia seleksi agar meloloskan nama-nama tersebut, dugaan yang melakukan intervensi ini juga terus membiasakan baik dugaan dari istana maupun dari pimpinan aparat penegak hukum itu sendiri.
Efek sebab akibat yang akan di timbulkan dari hal ini terdapat pelanggaran konstitusi, seharusnya setiap orang sama di mata hukum, seharusnya pansel memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua kalangan untuk maju menjadi Capim KPK selagi masih memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, hal tersebut jelas sudah termaktub pada UUD 1945 pasal 28 D ayat (1).
Apakah panitia seleksi tidak faham hal dasar kelembagaan KPK?, apakah praktik ini memang benar sengaja di lakukan dan terencana?, mengingat di dalam Undang-undang KPK tidak ada satu pasalpun yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk masuk kedalam struktural lembaga KPK, hal ini jelas akan membuat konflik kepentingan, letak independensi lembaga KPK pasti akan di pertanyakan, karena tidak ada jaminan lembaga KPK akan bersikap independen apabila nantinya KPK harus menangani dugaan korupsi di instansi asalnya, dari sinilah yang akan menimbulkan loyalitas ganda yang di salahgunakan, mengingat golongan mereka akan tunduk dengan jiwa korsanya saja.
Pemilihan Capim KPK harus melahirkan pemimpin yang bersih dan berkualitas, independen menjalankan tugas dan fungsi KPK secara sebenar-bernarnya, maka dari pada itu panitia pelaksana harus melakukan proses rekrutmen, evaluasi rekam jejak dan knowledge yang memumpuni para kandidat harus di perhatikan, sehingga dapat memunculkan seorang pemimpin akuntabel dan profesional.
Tapi berkaca dalam proses pemilihan Capim KPK, banyak pandangan miring dalam prosesnya, memunculkan sebuah opini panitia seleksi terbelenggu dengan paket nama titipan istana, praktik ini jelas upaya yang di lakukan dalam menggunakan sistem penegak hukum dalam upaya pengamanan sistem kekuasaan.
Mengingat KPK adalah lembaga yang memiliki kewenangan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang sangat potensial, jadi sangat tidak mengherankan banyak poros yang ingin mengamankan posisi tersebut, mengingat KPK dapat menjadi alat untuk menyingkirkan lawan politik, di lain sisi juga apabila koalisi yang bersangkutan dapat nilai tawar hasil berkas dugaan korupsi.
Maka dari pada itu perlu banyak sosok mata dan kritis jeli masyarakat dalam mengawal proses seleksi Capim KPK ini, mengingat ketidak percayaan dan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, jauh dari pandangan itu seolah ingin merawat dan merencanakan instrumen korupsi secara struktural, tapi masih tertanam sebiji harapan dalam hati masyarakat bahwa berharap dapat pemimpin KPK yang jauh dari lingkaran intervensi dapat bersikap independen, jujur serta bersikap adil.
Leave a Review