Prinsip Audi et Alteram Partem dalam Hukum Acara Perdata: Masihkah Relevan?

Oleh : Sartika Indah Paraswati
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Prinsip audi et alteram partem, yang berarti “dengarkanlah kedua belah pihak,” merupakan asas fundamental dalam hukum acara perdata yang menjamin setiap pihak dalam suatu perkara berhak untuk didengar secara adil sebelum putusan dijatuhkan. Asas ini mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan substantif, menjadikannya landasan utama dalam sistem peradilan yang adil (fair trial).

Dalam konteks hukum acara perdata di Indonesia, prinsip ini diatur dalam berbagai ketentuan seperti Pasal 118 dan Pasal 121 HIR, yang mengatur tata cara pemanggilan dan persidangan serta prinsip pengadilan yang terbuka untuk umum. Pelanggaran terhadap asas ini dapat menjadi dasar bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan upaya hukum seperti banding atau kasasi. Namun, di tengah berbagai tantangan modern, muncul pertanyaan mengenai sejauh mana relevansi dan penerapan prinsip ini dalam praktik peradilan.

Salah satu tantangan utama dalam implementasi audi et alteram partem adalah proses persidangan yang sering kali lama dan berbelit-belit. Sistem peradilan perdata di Indonesia masih menghadapi masalah klasik berupa mekanisme yang rumit, penundaan sidang yang berkepanjangan, atau ketidakhadiran salah satu pihak dalam persidangan.

Kondisi ini sering berujung pada putusan verstek (tanpa kehadiran tergugat), di mana hakim memutus perkara berdasarkan bukti dari satu pihak saja. Meskipun keputusan verstek sah secara hukum, praktik ini bisa merugikan tergugat yang tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pembelaannya.

Selain itu, ketimpangan akses terhadap keadilan juga menjadi masalah serius. Tidak semua pihak memiliki kemampuan yang sama untuk memahami atau mengikuti proses hukum, terutama masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum. Ketimpangan ini sering kali menghambat penerapan prinsip audi et alteram partem, karena pihak yang tidak terwakili dengan baik dalam persidangan mungkin tidak mampu menyampaikan argumen atau bukti secara efektif.

Di era digitalisasi, pengenalan sistem e-court dan e-litigation dalam peradilan Indonesia menambah dimensi baru dalam pelaksanaan prinsip ini. Teknologi memang menawarkan efisiensi dan transparansi, tetapi juga membawa risiko eksklusi bagi pihak-pihak yang tidak terbiasa dengan platform digital atau tidak memiliki akses yang memadai terhadap teknologi. Misalnya, individu yang tidak memiliki pengetahuan tentang pengoperasian sistem e-court mungkin merasa kesulitan untuk menyampaikan argumen mereka secara efektif.

Hal ini menimbulkan tantangan bagi hakim dan aparat peradilan untuk memastikan semua pihak dapat berpartisipasi secara adil. Selain itu, penggunaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa juga memiliki implikasi terhadap prinsip ini. Dalam beberapa kasus, mediasi yang dilakukan secara tidak transparan atau dipengaruhi oleh mediator yang tidak netral dapat merugikan salah satu pihak, sehingga mengancam keadilan proses tersebut.

Namun, relevansi prinsip audi et alteram partem tetap tidak tergantikan dalam sistem peradilan modern. Asas ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak yang bersengketa, terutama dalam perkara-perkara yang kompleks dan melibatkan kepentingan lintas negara, korporasi besar, atau masyarakat adat.

Meski demikian, untuk mempertahankan relevansinya, prinsip ini harus disesuaikan dengan tantangan-tantangan baru yang muncul. Pengadilan harus memahami konteks teknologi dan dinamika modern untuk memastikan bahwa hak setiap pihak untuk didengar tetap terjamin. Dalam hal ini, hakim memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa semua pihak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengajukan argumen dan bukti mereka. Untuk memperkuat penerapan prinsip ini, beberapa solusi dapat diimplementasikan:

Pertama, peran hakim perlu ditingkatkan, terutama dalam memberikan panduan kepada pihak yang tidak terwakili oleh pengacara atau yang kurang memahami proses hukum.

Kedua, pendidikan hukum dan literasi digital bagi masyarakat harus diperluas agar setiap individu dapat memahami hak-haknya dalam proses peradilan, termasuk hak untuk didengar secara adil.

Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur peradilan, termasuk menyediakan teknologi yang ramah pengguna dan aksesibilitas bagi semua pihak, sehingga tidak ada pihak yang tertinggal.

Terakhir, reformasi prosedural diperlukan untuk menyederhanakan proses persidangan tanpa mengurangi substansi dari prinsip audi et alteram partem. Misalnya, pengadilan harus meminimalkan penggunaan putusan verstek melalui upaya maksimal untuk memastikan kehadiran semua pihak dalam persidangan.

Prinsip audi et alteram partem tetap menjadi pilar utama keadilan dalam hukum acara perdata. Meskipun tantangan dalam implementasinya terus bermunculan, asas ini tetap relevan untuk menjamin proses peradilan yang adil. Dengan adopsi teknologi yang inklusif, reformasi prosedural, dan penguatan kapasitas masyarakat serta para pihak, prinsip ini dapat terus menjadi panduan utama dalam menjaga keadilan dan hak asasi manusia di Indonesia. Di tengah perubahan zaman dan tantangan yang semakin kompleks, Audi et alteram partem harus tetap menjadi pondasi dalam setiap proses peradilan, memastikan bahwa setiap suara didengar dan setiap hak terlindungi.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi