Prabowo Kembalikan Dwifungsi TNI: Bangkitkan Orde Baru atau Ancaman Demokrasi?

Oleh : Danu Abian Latif
Penulis Buku Opini Nakal Untuk Indonesia

Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang mencakup penguatan peran TNI dalam berbagai aspek kehidupan negara, termasuk dalam politik. Langkah ini menggugah kembali perdebatan publik mengenai peran dan fungsi TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang kini lebih sering disandingkan dengan pertanyaan besar apakah upaya ini benar-benar untuk memperkuat ketahanan nasional, atau justru akan membawa kita kembali ke era kegelapan Orde Baru?

Dwifungsi TNI merupakan kebijakan yang muncul pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada masa tersebut, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara, tetapi juga terlibat aktif dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Tentara menjadi pilar kekuatan negara yang sangat dominan, bahkan mengendalikan banyak sektor kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Keberadaan TNI yang sangat kuat dalam struktur pemerintahan ini menyebabkan peran sipil seringkali tereduksi, menciptakan jarak yang besar antara negara dan rakyat, serta menciptakan suasana ketakutan dan kontrol yang ketat terhadap kebebasan sipil.

Pasca Reformasi 1998, kebijakan dwifungsi TNI dibongkar dan secara bertahap dihapuskan. TNI kembali difokuskan pada tugas pokoknya dalam pertahanan negara, dengan harapan dapat mencegah terjadinya militerisasi politik yang telah menghambat demokrasi selama berpuluh-puluh tahun. Namun, dengan berbagai dinamika geopolitik dan tantangan ancaman yang semakin kompleks, beberapa pihak merasa bahwa revisi UU TNI untuk mengembalikan sebagian fungsi politik TNI, seperti yang diusulkan dalam revisi ini, mungkin menjadi langkah yang diperlukan untuk memperkuat ketahanan nasional.

Ketahanan Nasional dan Ancaman Demokrasi
Ketahanan nasional, yang dimaksudkan untuk mencakup seluruhaspek kehidupan negara, memang harus mampu menghadapiberbagai tantangan, mulai dari ancaman fisik hingga ancamannon-fisik, seperti ancaman ideologi, sosial, dan ekonomi. Dalamkonteks ini, TNI dianggap sebagai salah satu pilar utama yang dapat memastikan stabilitas negara dan memberikan jawabanterhadap ancaman yang datang, baik dari luar maupun dalamnegeri. Meningkatnya ketegangan geopolitik, persaingan global, serta ancaman terorisme dan radikalisasi menjadi alasan bagibeberapa pihak untuk mendukung penguatan peran TNI dalamaspek pertahanan dan keamanan.

Namun, di sisi lain, penguatan peran TNI yang lebih luasterutama dalam sektor politik dapat memunculkan kekhawatiran. Kita tidak bisa mengabaikan sejarah panjang dominasi militerdalam kehidupan politik Indonesia yang banyak meninggalkanluka dan trauma. Era Orde Baru, di mana TNI memiliki peranyang sangat besar dalam menentukan arah kebijakan negara, menjadi catatan kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Revisi UU TNI ini berpotensi membuka pintu bagi kembalinyadominasi militer dalam politik, yang dapat mengancam sistemdemokrasi yang telah dibangun pasca-Reformasi.

Mengembalikan Dwifungsi TNI: Dilema atau Keputusan Strategis?
Proses revisi UU TNI yang mengarah pada pengembaliansebagian fungsi dwifungsi TNI tentu menimbulkan dilema. Satu sisi, keberadaan TNI yang memiliki kapasitas untuk berperandalam berbagai aspek ketahanan nasional memang sangat penting. Apalagi, dalam situasi ancaman yang semakin global dan kompleks, di mana keamanan negara tidak hanyamelibatkan serangan fisik tetapi juga ancaman siber, ideologi, dan ekonomi. Keberadaan TNI yang memiliki kemampuanuntuk merespons berbagai ancaman ini bisa menjadi nilaitambah dalam membangun ketahanan nasional.

Namun, di sisi lain, peran politik yang lebih besar bagi TNI berpotensi mengubah struktur kekuasaan yang sudah terbangun setelah Reformasi. Demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah sejak 1998 bisa terganggu jika TNI kembali terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini tidak hanya berisiko mengganggu independensi lembaga-lembaga negara, tetapi juga dapat mengurangi ruang bagi masyarakat sipil untuk berperan dalam proses demokrasi. Tentu saja, mengembalikan fungsi TNI yang lebih besar di luar tugas pertahanan negara bisa membawa kita pada pola-pola kekuasaan yang lebih otoriter.

Apakah ini Era Kegelapan Orde Baru?
Bagi banyak kalangan, revisi UU TNI ini mengingatkan pada masa-masa gelap Orde Baru, di mana militer memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks ini, ada kekhawatiran yang sah bahwa upaya pengembalian dwifungsi TNI bukan hanya untuk memperkuat ketahanan nasional, tetapi bisa menjadi langkah untuk mengonsolidasikan kekuasaan yang lebih otoriter. Jika hal ini terjadi, maka kita akan menyaksikan kembalinya kontrol militer terhadap kehidupan politik dan kebebasan berpendapat yang telah diperjuangkan selama reformasi.

Tentu saja, kita tidak bisa sepenuhnya menilai niat pemerintah berdasarkan masa lalu. Namun, rekam jejak TNI yang terlibat dalam politik selama Orde Baru menjadi peringatan bagi kita semua. Apakah kita siap untuk kembali ke era yang penuh dengan kontrol ketat terhadap kebebasan sipil, pembatasan terhadap hak-hak politik, serta dominasi militer dalam kehidupan sehari-hari? Ataukah kita akan tetap menjaga dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi yang telah terbentuk setelah jatuhnya Orde Baru?

Menyambut Ketahanan Nasional atau Kembali ke Otokrasi?
Jika revisi UU TNI ini dilihat sebagai langkah untuk memperkuat ketahanan nasional, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap TNI dalam ranah politik. Ada kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa peran TNI tetap terjaga dalam koridor profesionalisme dan tidak terjebak dalam hiruk-pikuk politik praktis. Sistem ketahanan nasional yang kuat memang memerlukan semua unsur negara untuk bersinergi, termasuk TNI. Namun, peran politik TNI harus dibatasi secara ketat dan transparan agar tidak mengarah pada otoritarianisme.

Kita juga harus berhati-hati agar revisi ini tidak mengikis hak-hak dasar masyarakat dan tidak memberikan ruang bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ketahanan nasional tidak hanyasoal menghadapi ancaman fisik atau militer, tetapi juga soal menjaga keberagaman, kebebasan, dan hak-hak sipil. Dalam konteks ini, pertahanan yang terlalu mengandalkan kekuatan militer justru bisa menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri.

Upaya Presiden Prabowo dalam mengembalikan dwifungsi TNI lewat revisi UU TNI memang patut dipertimbangkan dalam konteks ketahanan nasional yang semakin kompleks. Namun, langkah ini harus disertai dengan kontrol yang ketat, pengawasan yang transparan, dan komitmen yang kuat untuk menjaga demokrasi. Agar revisi ini tidak membawa kita kembali ke era kegelapan Orde Baru, penting bagi semua pihak baik pemerintah, TNI, maupun masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara memperkuat pertahanan negara dan menjaga ruang politik yang bebas, terbuka, serta demokratis.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi