Ada praksis yang terlupakan di setiap perhelatan pesta politik, praksis tersebut adalah upaya mengganjal dan mematikan gerakan literasi. Dalam konstelasi politik memang tidak dapat dipungkiri bahwa semakin rendah literasi publik, maka semakin mudah untuk mengontrol publik. Ketergantungan akut publik sebagai akibat rendahnya literasi pengawasan, hukum dan transparansi dan sebagainya justru membuat politik semakin brutal mengembangkan sayap-sayap kekuasaannya.
Belum adanya peta jalan kesatuan langkah dan sikap dalam mengerakkan (memperkokoh) literasi secara nasional di Indonesia salah satu tantangan besar bagi pegiat literasi di seluruh tanah air. Dalam konteks ini, pegiat literasi seringkali tak berdaya menghadap praktik-praktik pembodohan publik yang menjadi penumpang gelap dalam bentuk produk kebijakan, apakah itu terkait atas nama pendidikan, budaya, hukum hingga politik.
Babak belurnya program literasi yang berangkat dari kaum filantropi, relawan, pegiat literasi karena hobi dan gaya hidup nyaris tidak menjadi perhatian dominasi publik. Artinya, konten atau muatan kampanye yang cenderung bohong justru lebih menarik perhatian publik dari pada lebih memperhatikan upaya-upaya penguatan literasi publik, termasuk di dalamnya mempertajam literasi generasi muda.
Menggerak literasi di kalangan publik justru tidak menarik bahkan dianggap membosankan dari pada ikut serta dalam berkampanye politik praktis. Aktif berkampanye seolah-olah dapat membuat publik dapat bertahan hidup secara jangka pangjang, sedangkan menyulut kegiatan literasi untuk publik tidak akan mendapatkan apa-apa. Nyaris kegiatan literasi publik tidak mendapat ruang perhatian sedikitpun di kalangan masyarakat yang terlena dalam tipu daya politik.
Dalam momentum pemilihan kepala daerah (Pilkada/Pilgub) secara nasional misalnya, seberapa persentase diskursus perbaikan literasi di setiap daerah diperbincangkan? Sebarapa tajamkah upaya meningkatkan minat baca, menulis, partisipatif, berkreasi, berinovasi publik mendapat tempat bagi pembentukan program yang diusung oleh konstestan Pilkada/Pilgub? Alih-alih mencerdaskan kehidupan masyarakat daerah, terkasan program insfrastruktur jauh lebih seksi dari pada program penguatan literasi.
Sehingga, tidak seimbangnya antara penguatan program insfrastruktur dengan penguatan literasi menjadikan dua program tersebut berjalan dengan penuh ketimpangan. Ketimpangan insfratruktur mengakibatkan pembangunan tidak tepat sasaran, bahkan pembangunan berpotensi mangkrak, sehingga keuangan negara atau anggaran daerah terbuat atau hanya bermanfaat bagi sekelompok elite di lingkar penguasa.
Demikian halnya dengan akibat ketimpangan literasi yang berakhir pada fenomena jalan di tempat atau layu sebelum berkembang. Sehingga berbagai program literasi secara strategis bagi generasi muda atau publik tidak berjalan secara berkelanjutan. Bahkan gerakan literasi berumur pendek dan keseringan bergerak mulai dari nol.
Ambisius publik dalam berpolitik praktis salah satu momok berbahaya bagi keberlangsungan masa depan literasi suatu daerah. Bagaimana mungkin kekuatan lietasi nasional dapat terdongkrak dengan kondisi penguatan literasi di daerah dijegal bahkan dimatikan oleh poros-poros politik yang sengaja merawat kebodohan publik dan generasi. Sungguh berbahaya ketika minat berpolitik generasi meningkat namun minat literasinya terjun bebas.
Contoh nyata dari politik pembodohan tersebut terlihat dari permainan politik yang mengoperasikan transaksional dalam penempatan jabatan publik dari tingkat kepala daerah hingga ke kepala desa, belum lagi transaksional yang dianggap wajar dalam penempatan suatu jabatan di dunia birokrasi. Belum lagi gelagat perguruan tinggi yang tidak bisa lepas dari praktik korupsi dan pembungkaman nalar “kreasi-merdeka” di kalangan mahasiwa. Pada posisi ini terlihat jelas bagaimana penguatan literasi di Indonesia cukup menantang.
Solusi jalan tengahnya, meskipun dukungan politik praktis belum atau tidak mengarah pada upaya penguatan literasi publik, maka yang harus diciptakan adalah hadirnya dukungan publik non elite yang memberi semangat bagi kelompok-kelompok penggerak literasi,baik kelompok/organisasi formal maupun non formal. Dukungan moril dari masyarakat adalah modal besar bagi upaya menghentikan praktik politik yang mematikan literasi.
Sebab bergerak di bidang penguatan literasi publik tidaklah membutuhkan modal materil yang besar layaknya mengikuti kontestasi politik lima tahunan, melainkan modal berliterasi publik tersebut terletak sejauhmana partisipasi masyarakat secara sadar dan visioner dalam mendorong kelompok literasi semakin banyak dan berkelanjutan di berbagai daerah.
Tanpa dipungkiri, beberapa lembaga pemerintahan memang tak seutuhnya tidak peduli terhadap memperkuat program literasi di berbagai daerah di tanah air. Namun demikian, lembaga pemerintah terkait tidak mampu menggarap semua titik wilayah daerah sebagai kesatuan utuh dalam mencapai peningkatan literasi nasional. Meskipun pemerintah punya modal, konsep, fasilitas, namun dengan kondisi tata kelola negara yang cenderung pada kekuasaan, maka pada akhirnya target penguatan literasi oleh pemerintah justru kemudian tergilas oleh cara main politik pemerintahan itu sendiri.
Akhirnya, Dengan adanya dukungan publik, maka posisinya lebih strategis dalam membendung hantaman dari politik yang mematikan literasi. Sehingga sentuhan penguatan literasi dari beberapa lembaga negara juga dapat memberikan stimulus pada kelompok-kelompok literasi yang bertebaran di seluruh tanah air, baik mereka yang menggerakkan literasi secara terang-terangan maupun bergerak secara gerakan bawah tanah.
Penulis adalah Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com juga pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM)
Leave a Review