Oleh Ananda Putri Nabila Riski. Duta Baca Aceh Tenggara 2023 dan Kader HMI Cabang Kutacane
Bel untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Aceh tenggara telah dibunyikan. Hal inidi tandani dengan maraknya beberapa program kepemimpinan daerah, baik di bidang pendidikan maupun kesejahteraan sosial. Adu gagasan sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dihindari dalam setiap kontestasi demokrasi. Tentu saja hal ini diperlukan bagi setiap kandidat yang bersaing, namun implementasi dari rencana yang ingin mereka laksanakan jika terpilih terkadang tidak konsisten antara das sein dan das sollen.
Aristoteles mengingatkan kita bahwa demokrasi penuh dengan demagog, demagog yang pandai menipu rakyat dengan perkataan dan janji palsu. Para demagog ini sering memberitakan janji-janji kemakmuran, pendidikan gratis, jaminan kesehatan, dan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat jika mereka terpilih dalam pemilu. Namun setelah terpilih, mereka tidak melakukan apa pun selain mengkhianati rakyat.
Saat ini, masyarakat Aceh Tenggara sedang hangat-hangatnya memperbincangkan beberapa tokoh yang mengisi kekosongan tersebut, dan nama-nama tersebut dapat dilihat di berbagai ruang online hingga meja kopi, mulai dari politisi hingga anggota DPR sekaligus. Diantaranya Raidin (mantan Bupati), Salim Fakhry, Ali Basrah dan beberapa nama lain yang punya peluang dan popularitas di masyarakat. Politik Indonesia memang mengalami perubahan pasca Orde Baru, namun konfigurasi kekuasaannya tetap sama
Partai politik yang berkembang hingga saat ini merupakan hasil dari aliansi ekonomi dan politik, yang mau tidak mau menjadi bagian integral dari proses akumulasi kekuasaan dan kapital. Fakta ini terlihat dalam hubungan partai politik dengan kaum borjuis, aliansi ekonomi politik dalam partai politik menguat dan politik saat ini. Politik elektoral digunakan untuk menjaga kekayaan, baik dengan mendukung kandidat maupun terlibat langsung dalam pertukaran kandidat. Sejumlah tokoh menilai calon bupati atau wakil bupati Aceh Tenggara tidak bisa lepas dari modal kekuasaan kaum borjuis.
Meskipun hal ini hanya bersifat sementara, namun sangat jelas terlihat bahwa partai politik tidak lagi memainkan kekuatan ideologi dan arus bawah partai, namun hanya bertumpu pada kepentingan finansial politik para elit. Hasilnya, masyarakat kita saat ini tertarik pada politik finansial yang pada akhirnya setiap kandidat membutuhkan biaya politik yang besar. Pendekan kebijakan berorientasi mencari untung tidak hanya didasarkan pada cara berpikir pragmatis masyarakat, tetapi juga pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji politik yang diberikan oleh para kandidat, yang seringkali hanya sekedar dongeng yang beredar selama kampanye pemilu, yaitu mengapa sebagian orang berpikir lebih baik mengambil uang yang diberikan daripada memikirkan masa depan kota yang entah berantah kedepannya.
Bumi Sepakat Segenep (julukan Kabupaten Aceh Tenggara) berhasil menarik perhatian kaum oligarki pada Pilkada 2024, karena proyeknya yang banyak serta sifatnya yang sangat kaya dan menjanjikan. Sehingga bisa dijadikan kemenangan bagi kelompok investasi (kapitalis) untuk menghentikan aksinya. yang sedang berlangsung. Perjuangan bukanlah perebutan gagasan, melainkan demokrasi yang disamarkan sebagai perjuangan kelompok elite yang mengatasnamakan rakyat demi keuntungan pribadi dan kelompok.
Sementara perebutan kekuasaan yang muncul rentan direbut oleh kelompok elit, tentu kita menginginkan karakter ideal yang tidak bermain politik uang sekalipun. Meski hal itu tidak mungkin, namun bukankah sejumlah tokoh yang “ngebet: maju sebagai calon bupati dan wakil bupati Aceh Tenggara akan mengulangi cara main politik oligarki? Pilihannya ada dua, kita lawan oligarki di Aceh Tenggara? Atau atau kita hanyut tenggelam dengan segala harapan palsu yang dijanjikan saat kampanye tiba.
Leave a Review