Editorial ǀ 22 Desember 2024
“Kebebasan per situ adalah check and balances, untuk mengendalikan penguasa. Dan dengan pers yang dinamis, dan pers kalau perlu keras, kadang sakit hati kita baca. Tapi itu juga mengendalikan kita, itu memberitahu kita something wrong. (Presiden RI Prabowo Subianto)
Perhelatan Pilkada telah selesai. Masing-masing daerah mulai berbenah, kalah dan menang dalam pilkada bukan penentu kemajuan daerah, sebab Pilkada di Indonesia masih dihantui oleh money politik yang terus mengganas. Untung dan rugi pasca pilkada tentu dapat menjadi jebakan bagi upaya pembangunan daerah lima tahun ke depan.
Bagi kalangan awam yang mencoba sedikit kritis, mereka menyadari betul bahwa setiap koalisi pemenang Pilkada mesti mengembalikan modalnya terlebih dahulu, baru kemudian dialokasikan untuk penunjang fungsi ekonomi kerakyatan. Itu pun kalau modal pembiayaan politiknya dapat kembali selama lima tahun.
Disadari atau tidak, ketika masyarakat (konstituen) yang mungkin mulai cerdas berhitung soal politik dagang di Pilkada, baik itu praktik di kalangan elite maupun praktik di akar rumput, untuk membangun daerah tidak bisa dibiarkan seutuhnya diurus oleh poros pemenang Pilkada, terlebih praktik pemburu rente tumbuh subur di sana. Kong kali koang sebelum pilkada dan setelah pilkada masih bersambung. Relasi kemenangan tersebut tentu memiliki irisan dengan tarik ulur kekuatan legislatif dan eksekutif.
Sederhanya, pemenang Pilkada secara otomanis mampu mendesain kekuadatan arah kiblat politiknya. Hal tersebut berpotensi besar bagi kepala daerah terpilih dapat memberi perintah politik kepada berbagai jabatan/pemangku kebijakan strategis daerah. Jadi, pos-pos tempat uang mengalir ke kantong-kantong penguasa dapat berjalan mulus melalui jaringan “bawah tanah”. Terlebih lagi, tren untuk beroposisi semakin keropos di negeri ini.
Atas situasi dan kondisi sedemikian, posisi pers mesti mengambil peran untuk terus memberikan upaya pewarasan bagi daerah, bagi penguasa, bagi kaki tangan penguasa, hingga bagi antek-antek penguasa yang tidak benar-benar untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Pers cara kerjanya yang semakin dinamis hari ini harus mampu berselancar di atas gelombang ketidakkaruan demokrasi daerah saat ini. Di tengah citra pers yang juga tidak sedikit tantangannya, pers mesti terus melaju, menerobos pintu-pintu yang sengaja ditutup oleh pelayan-peyan penguasa karena tuntutan profesi. Sehingga transparansi publik dan kredebilitas pelayanan publik patut dibuka dalam rangka upaya kemajuan daerah.
Mata dan telinga insan pers harus tanpa henti berkreasi dalam mengendus permaian politik yang tidak serius membangun daerah yang tepat sasaran untuk kepentingan rakyat. Para timses pengusa tidak dapat dibiarkan liar begitu saja dalam ikut campur soal menentukan misi pembangunan daerah. Pers mesti tak boleh lelah mengawas penguasa, mengedukasi publik, mebuka karangka pikir opini publik guna demokrasi dearah berjalan tidak pincang.
Pers dalam sejarahnya lahir sebagai pilar ke empat demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Posisi pers bukan di bawah tiga pilar triaspolitika, melaikan pers berada sejajar dengan ke tiga pilar tersebut. Demikian halnya dengan lembaga eksutif, legislatif dan yudikatif, jangan terlalu over dalam memandang rendah keberadaan pers. Sebab tanpa peran pers, tiga lembaga tersebut akan bergerak penuh dengan modus kejahatan di dalamnya. Dengan adanya peran pers, maka program pemerintah akan benar-benar berjalan untuk kepentingan rakyat, tepat sasaran dan berkesinambungan. Sebaliknya, tanpa pers, program pemerintah akan banyak disunat dan disulap atas nama kepentingan rakyat. [Zulfata]
Leave a Review