Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
Tahun 2024 dapat disebut sebagai momen bersejarah bagi beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas), termasuk di dalamnya unsur keagamaan. Betapa tidak, ormas seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (BPNU) secara resmi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Belum begitu pasti bagaimana tatakelola tambang yang dimaksud, yang jelas sepintas lalu di alam pikir terbesit apakah ormas yang dimaksud kemudian akan bergerak seperti Vereenigde Oostindische Compagnie?
Di tengah wajah suram tatakelola izin tambang di Indonesia yang belakangan ini disebut-sebut dekat dengan celah menteri minta upeti, nama Bahlil Lahadalia juga terseret dalam persoalan “minta upeti” yang berakhir dengan investigasi Tempo terkena batunya. Belum lagi soal UU Pennyiaran yang mengarah adanya upaya akan mematikan kerja jurnalistik investigasi.
Dikabarkan selanjutnya, Bahlil juga dapat disebut sebagai dalang atau aktor terdepan yang mengusulkan ormas dapat diberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Hal tersebut diberikan sebagai bentuk upaya dalam mengoptimalisasi kinerja organisasi. Dalam konteks ini, siapa yang tidak kenal cara main politik Bahlil? Siapa yang tidak kenal ciri khas diplomasi politik Bahlil? Nama Bahlil semakin harum semenjak mendapat kepercayaan Presiden Joko Widodo dan kemudian berlanjut di masa Presiden Prabowo Subianto.
Mencermati pasang surut peran dari sebuah ormas besar, sebut saja PBNU, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan ini memiliki rekam jejak politik keagamaan yang sangat kental, bentuknya pernah berubah-rubah, pernah menadi partai politik, kemudian berubah lagi menjadi ormas dan memisahkan diri degan partai politik yang diisi oleh kadernya.
Dalam dinamika dan gejolak politik organisasi yang di dalamnya juga tak kalah menarik, sebut saja misalnya, Gus Dur sempat mengalami kudeta oleh sesama kader NU, dan kemudian secara singkat dapat disebut kader NU telah menyebar ke segala lini penjuru politik di negeri ini.
Meski PBNU pernah mengalami penurunan peran di hadapan pemerintah Indonesia sebelum masa Presiden Jokowi, namun tidak untuk hari ini. Dapat disebut PBNU saat ini adalah ormasnya emas bagi RI-01, atau secara blak-blakannya dapat dikatakan bahwa ketika ingin mencari sosok RI-02 mesti memiliki irisan kekentalan dari garis NU. Artinya, NU memiliki peran sentral dalam percaturan pasangan presiden dan wakil presiden.
Kini, PBNU memasuki babak permainan baru. Barangkali tantanganya jauh berbeda dengan partai islam pertama di Indonesia (Serikat Islam-SI), namun kini NU telah menanggung kefokusan agar pengelolaan tambang di kalangan kader NU nantinya tidak menjadikan NU tersandung kasus mega-korupsi seperti kasus tambang timah di Bangka Belitung dengan dugaan kerugian negara sebanyak Rp. 271 Triliun. Sehingga NU juga tidak menjadi tameng bagi penggusuran masyarakat yang dijamah alam lingkungan serta adatnya ketika kepentingan mengelola tambang adalah prioritas pemerintah.
Memang belakangan ini sosok yang ngotot, bahkan dapat disebut andal dalam memajukan pengelolaan tambang tersebut adalah Bahlil, diriya “terlalu” gagah dalam membungkus tambang sebagai investasi dan upaya propaganda membuka lapangan kerja di republik ini. Perhatikan saja misalnya komumikasi politik Bahlil di masa pemberlakuan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Lapanga Kerja (Cilaka), kini Bahlil tampil seolah-olah memberi lembaran baru bagi wajah pergerakan NU di Indonesia melalui WIUPK.
Sejatinya memang tidak ada yang keliru PBNU diberikan izin dalam mengelola tambang, namun yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana nasib PBNU dan cita-cita mulianya ketika juga terlibat aktif mengelola tambang? Sebab saat menggarap tambang secara otomantis rawan terjadi konflik, baik itu konflik sosial, benturan politik kepentingan, kompromi pembentukan kebijakan, hingga upaya penyalahgunaan kekuasaan dan ladang korupsi berjamaah.
Tentu dengan babak baru pergerakan NU ini senantiasa publik berharap agar NU tidak tersungkur, sehingga apa yang diharapkan ormas dalam menjaga persatuan umat berubah menjadi perseteruan umat dalam mengelola tambang. Demikian halnya dengan semangat kembali ke khittah berubah mejadi semangat korporasi mengeksploitasi alam negeri. Semangat memperjuangkan aspirasi rakyat dari represif orde baru justru memperkuat politik khas orde baru.
Pada posisi ini pula jangan sempat PBNU terlena dengan garapan baru tersebut, sehingga NU kini dan masa depan terasa semakin jauh dari misi utama NU dalam mengawal jalan kebangsaan republik ini. Akhirnya, melihat tekanan pedal gas NU hari senantiasa tidak menabrak rambu-rambu perjungan yang telah digariskan oleh pendiri NU.
Leave a Review