Oleh Dwi Setiawan
Waksekjen DPP PGX/Founder Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa/Ex. Koordinator Daerah BEM SI Aceh/Ex. Presiden Mahasiswa Universitas Samudra.
Dalam dinamika politik seringkali rakyat yang selalu menjadi tumbal persengketaan para paslon dalam proses penyelenggaraan pesta demokrasi ini. Konsep adu strategi memenangkan paslon tentunya menjadi ragam dari terciptanya nuansa politik dengan beraneka ragam cara dan upaya.
Sejauh negara ini terus berkembang dan semakin baik dalam menjalankan peran sebagai negara demokrasi. Kita mungkin sudah sering melihat pertunjukan dinamika politik dengan berbagai macam rupa. Dimulai jauh sebelum diumumkan nya pemilihan umum 14 februari silam menjadi bel nuansa politik juga menjadi nyala, bahkan jauh sebelum itu pun dinamika politik yang semakin menghangat pun sudah kita rasakan.
Masing-masing partai pun memiliki ideologi dan mekanisme sendiri dalam proses turut serta kedalam proses demokrasi ini. Tentunya dinamika politik ini pun timbul karna kepentingan partai dalam menentukan dan mengusung para jagoannya yang akan di tunjuk maju menjadi kontestan di putaran pilpres dan berupaya agar dapat memenangkan pesta demokrasi ini.
Beberapa partai bahkan memulai nya dengan membentuk kelompok aliansi politik (koalisi). Namun seperti yang kita ketahui bersama bahwa sikap politik itu selalu saja bersifat dinamis. Terkadang hubungan antar pemimpin pun dapat berubah karna kepentingan dan strategi yang berubah. Maka menjadi hal yang lumrah ketika dalam perjalanan proses perayaan demokrasi itu timbul konsep “kawan menjadi lawan” dan “lawan menjadi kawan”.
Seperti yang terjadi di putaran pilpres 2024 ini, bagaimana perubahan koalisi “kawan jadi lawan dan lawan jadi kawan” di detik-detik menjelang pendaftaran capres-cawapres. Ya ini terjadi dimana PKB ternyata mampu menyebrang dan menyatu membentuk pasangan AMIN, begitu pun Demokrat yang juga berpindah menjadi pendukung koalisi Indonesia Maju bersama Prabowo. Bagaimana Gibran yang pada awalnya berada di gerbong partai PDIP malah didukung dan diusulkan menjadi cawapres oleh partai Golkar.
Kesemuanya itu adalah bagian dari nuansa politik, bahkan seringkali pertempuran politik kita menampilkan suasana adem di permukaan namun ada badai di baliknya, atau sebaliknya didepan penuh dengan badai dan pertempuran namun dibelakang sendu dibalik meja pertemuan.
Tidak ada yang tahu, apapun bisa saja terjadi dalam realitas politik ini. Namun sangat disayangkan, apabila setiap langkah-langkah strategi para elit politik yang dijalankan malah di konsumsi oleh masyarakat dalam sudut pandang yang negatif sehingga seringkali menimbulkan gejala efek gesekan di tengah masyarakat.
Kalau kita melihat pelajaran dan mengamati kejadian beberapa orang yang sudah pernah menggeluti dunia politik, mungkin kita dapat melihat sudut pandang yang berbeda mengenai cara kerja politik ini. Ingatkah kalian salah satu tokoh di pemilu 2019 silam yang sudah digadang-gadang maju sebagai cawapres dari jokowi namun ketika di umumkan, ternyata yang ditunjuk orang yang berbeda. Ya beliau adalah Prof. Mahfud MD yang dengan sikap kedewasaan nya mampu menjaga integritas dan menerima keputusan partai nya saat itu. Hingga akhirnya di pilpres 2024 akhirnya partainya baru benar-benar menunjuk nya sebagai cawapres menemani Ganjar.
Ingatkah kalian prabowo yang saat itu rival dengan jokowi pada pilpres namun ketika pemilu diumumkan, prabowo menerima kekalahan dan bergabung di pemerintahan jokowi. Bahkan jauh sebelum itu prabowo sudah 4 kali gagal dalam upaya maju sebagai capres dan cawapres namun dengan kesabarannya mampu menerima hasil dan baru kali ini beliau di tetapkan sebagai pemenang oleh KPU di putaran pilpres 2024 ini.
Hal yang lumrah dalam proses demokrasi pemilu ini, jika dalam berkompetisi ada yang kalah dan ada yang menang. Ibaratnya kalah itu pasti, menang itu bonus dan tanggung jawab untuk mengemban amanah. Setiap kandidat capres-cawapres beserta partai dan koalisi pendukung nya pun diberi kesempatan untuk bebas melakukan strategi dan mekanisme dalam menghimpun dukungan pemilihnya.
Namun pemilu kini sudah usai, Rakyat pun telah selesai memilih kandidat terbaik nya. KPU pun sudah memutuskan pemenang dalam pilpres tahun 2024 ini secara legacy dan sah. Namun ini pun belum final sebelum pasangan terpilih nantinya di lantik. Kini proses nuansa dinamika politik pun terus berlanjut, proses pemilu yang telah selesai mulai memasuki ring koridor yang tentunya berbeda. Bagi kandidat yang merasa proses pemilu tidak berjalan sesuai prosedur atau ada indikasi kecurangan dapat mengajukan keberatan dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ini pun juga boleh dilakukan karna merupakan bagian dari demokrasi dan di atur dalam peraturan undang-undang kita. Namun ingat ketika proses-proses sudah dilakukan dan hasil keputusan sudah keluar nantinya, jangan lagi ada upaya-upaya untuk menciptakan konflik ataupun membangun suasana yang tidak kondusif di tengah masyarakat.
Karna dalam dinamika politik tentunya sangat mudah bagi para elit-elit politik masing-masing paslon untuk menggiring dan menciptakan gerakan-gerakan berlebih bagi para pendukung nya. Maka oleh sebab itu penulis berharap cukup lah nanti MK yang akan memutuskan bagaimana hasil proses di pilpres ini dan seterusnya berjalan sesuai prosedur. Jangan nyalakan api perpecahan bagi semua masyarakat pendukung paslon baik bagi kandidat 01, 02, maupun 03.
Mari ciptakan indonesia yang tentram setelah pemilu dan proses gugatan di MK ini selesai. Selepas itu tidak ada lagi kubu-kubu 01, 02, dan 03 di tengah-tengah masyarakat, yang ada hanya persatuan Indonesia. Karna belajar dari perjalanan pemilu yang sudah-sudah. Mungkin setelah ini selesai, para elit yang tadinya berbeda pandangan politik akan mulai bergabung menyatu kembali dalam meja perjamuan dan pertemuan membahas kepentingan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, jangan mudah terprovokasi karna persatuan dan persahabatan tidak hanya sebatas 14 februari, persatuan dan persahabatan itu harus kita jaga selamanya.
Leave a Review