Mirisnya Fenomena “No Viral, No Justice”

Ilustrasi: Dwi Setiawan/Katacyber.com

Oleh: Dwi Setiawan
Kolumnis di Katacyber.com

Di era digital saat ini, kemajuan teknologi dalam dunia maya umpamanya sudah menjadi seperti cermin yang dapat mempengaruhi penampilan seseorang yang ada di dunia nyata. Dalam dunia maya, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sebagai platform untuk berbagi momen pribadi atau berinteraksi dengan teman dan keluarga, media sosial juga telah berkembang menjadi alat yang kuat untuk menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat. Salah satu fenomena menarik yang muncul dari penggunaan media sosial adalah konsep “No Viral, No Justice” .

Peran Viralitas Mencapai Keadilan
Fenomena “No Viral, No Justice” telah menarik perhatian signifikan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya dalam konteks media sosial dan gerakan aktivisme daring. Konsep ini mengacu pada gagasan bahwa suatu tujuan atau isu hanya dapat menarik perhatian luas dan memicu tindakan yang berarti jika menjadi viral di platform media sosial.

Peran Media Sosial Menjadi Kekuatan Mencapai Keadilan, Frasa “No Viral No Justice” pun kerap kali mencerminkan pandangan bahwa keadilan seringkali sulit dicapai tanpa adanya viralitas atau perhatian luas dari masyarakat. Dalam konteks ini, viralitas berarti bahwa suatu isu atau kasus mendapat perhatian besar dari publik melalui media sosial atau dunia maya. Ketika sebuah kasus menjadi viral, ia menarik perhatian tidak hanya dari masyarakat umum tetapi juga dari media dan pihak berwenang.

Tekanan publik yang ditimbulkan oleh viralitas ini kerap kali memaksa pihak berwenang untuk mengambil tindakan yang adil dan tepat. Kini media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan memengaruhi tindakan. Kasus-kasus yang tidak mendapat perhatian media atau tidak viral seringkali diabaikan, meskipun memerlukan perhatian dan tindakan segera. Dengan berbagi cerita, video, atau gambar yang menggambarkan ketidakadilan, pengguna media sosial dapat menarik perhatian luas dan mendorong perubahan.

Tagar seperti #NoViralNoJustice sering digunakan untuk meningkatkan paparan isu-isu penting. Beberapa contoh kasus di mana viralitas di media sosial membantu mencapai keadilan. Banyaknya kasus serupa yang menjadi viral telah menyebabkan intervensi pihak berwenang dan langkah-langkah pendisiplinan yang lebih ketat.

Apakah Viral Dulu, Baru Keadilan Bisa Didapat?
Viralitas menjadi penyebab adanya dorongan gerakan reaksi publik atau para netizen untuk menyuarakan keadilan. Jika kita mengambil sample contoh kasus Pegi Setiawan, misalnya.

Seorang pekerja bangunan di Bandung, yang tiba-tiba ditangkap oleh anggota Polda Jawa Barat pada 21 Mei 2024. Tuduhan yang disampaikan kepadanya sangat serius: dia dianggap sebagai otak pembunuhan Revina Dewi Arsita alias Vina dan kekasihnya di Cirebon pada tahun 2016.

Padahal Polisi sudah kesulitan melacak keberadaannya selama delapan tahun, dalihnya karena Pegi sering berpindah-pindah tempat antara Cirebon dan Bandung serta telah mengganti namanya menjadi Robi. Meskipun ada beberapa perbedaan fisik antara Pegi dan deskripsi tersangka yang dirilis oleh polisi, seperti perbedaan jenis rambut, polisi tetap yakin bahwa mereka telah menangkap orang yang tepat.

Sugiyanti, pengacara Pegi Setiawan, dengan tegas menyatakan bahwa kliennya tidak terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut. Dia menekankan bahwa Pegi tidak pernah mengenal Vina dan tidak mungkin melakukan tindakan keji tersebut, karena sejak usia 15 tahun Pegi sudah bekerja keras sebagai buruh bangunan untuk menghidupi keluarganya. Sugiyanti juga menyoroti fakta bahwa orang tua Pegi sudah lama berpisah, sehingga dia harus menjadi tulang punggung keluarga.

Akhirnya berita tentang kasus Pegi Setiawan pun mendapat perhatian luas dari publik. Banyak orang merasa simpati terhadap penderitaan yang dialami Pegi selama proses hukum ini berlangsung. Dukungan demi dukungan pun tergalang luas mulai dari dunia maya hingga realita. Rasa Simpati menimbulkan reaksi berantai dan menimbulkan gerakan sosial masyarakat, mahasisawa, organisasi, media, hingga pemerintahan.

Hingga pada tanggal 8 Juli 2024, Hakim Eman Sulaiman membacakan putusan sidang praperadilan yang mengabulkan gugatan dari pihak Pegi Setiawan dan menyatakan bahwa penetapan tersangka atas nama Pegi harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Dengan demikian, status tersangka terhadap dirinya harus gugur dan dia harus segera dibebaskan dari tahanan.

Kisah salah tangkap ini menggambarkan betapa kecewanya masyarakat terhadap proses hukum oleh kepolisian di Indonesia, sebab bagaimanapun kesalahan dalam penegakan hukum dapat berdampak besar pada kehidupan seseorang. Walaupun pada akhirnya Pegi Setiawan dinyatakan dibebaskan setelah melalui proses praperadilan yang menunjukkan bahwa sistem peradilan memiliki mekanisme untuk memperbaiki kesalahan, meskipun hal itu memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Tetap saja itu pun besar kemungkinannya didapat berkat upaya para netizen yang gencar memviralkan kasus tersebut sampai menjadi perhatian besar sehingga penegak hukum terus didorong melakukan proses penegakan hukum dengan lebih ketat. Ini menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah harus viral dulu baru keadilan bisa didapatkan?

Berkaca dari Fenomena “No Viral No Justice”
Meskipun fenomena ini menunjukkan kekuatan positif dari media sosial dalam memperjuangkan keadilan, ada juga kritik terhadapnya. Salah satu kritik utama adalah bahwa keadilan seharusnya tidak bergantung pada seberapa banyak perhatian publik yang diterima oleh suatu kasus. Semua kasus seharusnya ditangani dengan serius oleh pihak berwenang tanpa perlu menunggu hingga menjadi viral. Akibatnya Profesionalitas kinerja penegak hukum pun dipertanyakan oleh khalayak publik.

Selain itu, ada risiko bahwa fokus pada kasus-kasus tertentu yang menjadi viral dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu lain yang sama pentingnya tetapi kurang mendapat sorotan publik. Ini dapat menciptakan ketidakadilan baru di mana beberapa korban mendapatkan lebih banyak dukungan dari pada yang lain hanya karena keberuntungan mereka dalam mendapatkan perhatian online. Tetapi tentu kita berharap dengan adanya kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua dan terkhusu bagi penegak hukum, sehingga ada upaya perbaikan dalam proses penegakan hukum di negeri ini kedepannya.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi