Menjawab Tantangan Sebagai Bansa Teuleubeh Ateuh Rueng Donya

Oleh: Teuku Rivan Mughayatsyah
Forum Pikee Atjeh

Masihkah Aceh sebagai Bansa Teuleubeh Ateuh Rueng Donya?
Sejarah panjang Aceh selalu diiringi dengan kebanggaan akan identitasnya sebagai “bansa teuleubeh ateuh rueng donya, atau bangsa yang unggul dan menonjol di kancah dunia”. Di masa kejayaan Kesultanan Aceh, reputasi ini bukan sekadar kata-kata. Aceh adalah kekuatan besar di Asia Tenggara yang diakui dunia internasional. Namun, seiring dengan perubahan zaman, globalisasi, dan dinamika politik, muncul pertanyaan penting: Masihkah Aceh memegang statusnya sebagai bangsa yang unggul di atas panggung dunia?

Pada puncak kejayaannya, Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu kerajaan paling berpengaruh di Nusantara. Kesultanan ini menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan berbagai kekuatan dunia, termasuk Kesultanan Ottoman, Inggris, Portugis, hingga Belanda. Keberanian Aceh dalam melawan kolonialisme, baik Portugis maupun Belanda, menegaskan bahwa Aceh adalah bangsa yang kuat, mandiri, dan disegani.

Dalam sektor ekonomi, Aceh adalah pusat perdagangan yang penting, terletak strategis di jalur perdagangan internasional melalui Selat Malaka. Hasil bumi yang melimpah membuat Aceh menjadi magnet bagi para pedagang dunia. Di bidang keagamaan, Aceh dikenal sebagai pusat penyebaran Islam yang berpengaruh di Asia Tenggara, menyandang gelar “Serambi Mekkah”, yang menegaskan peran penting Aceh dalam dunia Islam.

Peran diplomasi Aceh juga tak kalah penting. Para sultan Aceh memiliki jaringan luas dengan dunia internasional. Hubungan Aceh dengan Kekhalifahan Ottoman menunjukkan bahwa Aceh bukan hanya bangsa regional tetapi memiliki pengaruh hingga ke Timur Tengah. Hal ini menggambarkan bagaimana Aceh, pada masanya, adalah bansa teuleubeh “bangsa yang dihormati dan diakui oleh dunia”.

Pandangan Dunia Terhadap Aceh di Masa Modern
Seperti halnya bangsa-bangsa besar lainnya, Aceh mengalami dinamika dan perubahan seiring berjalannya waktu. Dalam sejarah modern, Aceh kembali mendapat perhatian dunia melalui konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Dunia menyaksikan dengan penuh perhatian bagaimana Aceh berada dalam kondisi ketidakstabilan, baik secara politik maupun ekonomi.

Perhatian dunia terhadap Aceh tidak berhenti di situ. Pada tahun 2004, Aceh menjadi sorotan global setelah dilanda tsunami besar yang menghancurkan sebagian besar wilayahnya. Bencana ini memicu respons global yang luar biasa, di mana lembaga-lembaga internasional, negara-negara sahabat, serta organisasi kemanusiaan bahu-membahu membantu pemulihan Aceh. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Aceh tetap menjadi perhatian dunia, meskipun dalam konteks yang berbeda dari masa kejayaannya di era Kesultanan.

Setahun kemudian, pada 2005, dunia kembali menyaksikan momentum penting bagi Aceh: Penandatanganan MoU Helsinki yang mengakhiri konflik berkepanjangan antara GAM dan pemerintah Indonesia. Perjanjian ini menjadi contoh sukses bagi dunia tentang bagaimana konflik bersenjata bisa diselesaikan melalui diplomasi dan negosiasi, dengan pengawasan dan bantuan internasional. Aceh kembali diakui sebagai simbol ketahanan dan kemampuan untuk bangkit dari krisis.

Namun, setelah perdamaian tercapai dan rekonstruksi selesai, sorotan dunia terhadap Aceh perlahan meredup. Dunia internasional mulai beralih ke isu-isu lain yang lebih mendesak. Kini, lebih dari 19 tahun setelah MoU Helsinki, muncul pertanyaan penting: Masihkah Aceh dilihat sebagai bangsa yang menonjol, “teuleubeh” di atas bangsa lain, atau sudahkah dunia melupakan Aceh?

Tantangan Global: Mengukur Keunggulan Aceh di Era Modern
Dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, teuleubeh diukur dari kemampuan sebuah wilayah atau bangsa untuk beradaptasi dan bersaing di berbagai sektor modern. Dalam hal ini, Aceh menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan statusnya sebagai bansa teuleubeh.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana Aceh mengelola sumber daya alamnya. Aceh kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas, yang jika dikelola dengan baik, bisa menjadikan Aceh sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namun, pengelolaan yang kurang transparan, isu korupsi, dan ketergantungan pada sektor sumber daya alam menjadi hambatan bagi Aceh untuk maju.

Di bidang pendidikan dan inovasi, Aceh juga masih tertinggal dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Jika Aceh ingin tetap unggul di kancah dunia, investasi besar-besaran dalam pendidikan, teknologi, dan riset adalah keharusan. Tanpa peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing tenaga kerja, Aceh akan sulit untuk bersaing di era ekonomi digital dan globalisasi.

Selain itu, Aceh menghadapi tantangan dalam mengelola hubungan diplomatiknya dengan dunia internasional. Saat ini, meski sudah tidak menjadi pusat perhatian global, Aceh masih memiliki kesempatan untuk membangun kembali jaringannya di kancah internasional, terutama dalam sektor perdagangan, pariwisata, dan kerja sama internasional. Hubungan Aceh dengan negara-negara Islam, terutama di Timur Tengah, serta perannya dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), bisa menjadi pintu bagi Aceh untuk kembali menonjol di dunia Islam.

Budaya dan Identitas: Aset Besar Aceh yang Harus Dikembangkan
Salah satu aspek yang tak bisa diabaikan adalah kekayaan budaya dan identitas Aceh. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang dan identitas yang kuat, budaya Aceh bisa menjadi aset besar untuk kembali menempatkan Aceh di peta dunia. Tradisi, seni, dan budaya Aceh memiliki daya tarik tersendiri yang jika dikembangkan dan dipromosikan dengan baik, bisa menjadikan Aceh sebagai pusat kebudayaan di Asia Tenggara.

Di era pariwisata global, Aceh memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan mancanegara. Wisata budaya, sejarah, dan religi bisa menjadi andalan Aceh dalam menarik perhatian dunia. Pemerintah Aceh harus melihat potensi ini dan mendorong promosi budaya Aceh ke panggung internasional. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan ekonomi Aceh, tetapi juga mengukuhkan identitas Aceh sebagai bansa teuleubeh.

Generasi Muda: Penentu Masa Depan Aceh di Mata Dunia
Tak bisa dipungkiri, masa depan Aceh di kancah internasional sangat bergantung pada generasi mudanya. Generasi muda Aceh harus mampu berpikir global dan bertindak lokal. Mereka harus diberi kesempatan untuk belajar, berinovasi, dan berkolaborasi dengan dunia luar. Melalui pendidikan yang berkualitas dan akses ke teknologi modern, generasi muda Aceh bisa membawa Aceh kembali menjadi bangsa yang menonjol di dunia.

Menjawab pertanyaan apakah Aceh masih menjadi bansa teuleubeh ateuh rueng donya bukanlah hal yang mudah. Di satu sisi, Aceh memiliki warisan sejarah dan budaya yang kuat, potensi sumber daya alam yang besar, serta peran strategis dalam peta geopolitik dunia. Namun, tantangan modern, baik dari segi ekonomi, pendidikan, hingga diplomasi, mengharuskan Aceh untuk beradaptasi dengan cepat agar tetap relevan di panggung internasional.

Aceh bisa kembali menjadi bangsa yang unggul di kancah dunia jika mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya dengan bijaksana, melibatkan generasi muda dalam pembangunan, dan memperkuat hubungan dengan dunia internasional. Dengan semangat kebersamaan, inovasi, dan komitmen untuk memajukan Aceh, tidak mustahil Aceh akan kembali menjadi bansa teuleubeh yang disegani oleh dunia.

Forum Pikee Atjeh: Menghidupkan Kembali Semangat Unggul Aceh
Sadar akan tantangan dan peluang ini, muncul inisiatif untuk memberikan ruang kepada generasi muda dan masyarakat Aceh dalam mempertahankan keunggulan mereka. “Forum Pikee Atjeh”, sebuah komunitas diskusi dan advokasi, hadir dengan misi utama untuk menghidupkan kembali semangat bansa teuleubeh ateuh rueng donya di era modern. Forum ini bertujuan untuk mempertemukan para pemikir, aktivis, akademisi, dan masyarakat luas untuk mempertahankan dan memperjuangkan keistimewaan dan kekhususan Aceh. Forum ini memfasilitasi pertukaran ide dan gagasan antara generasi tua dan muda, dengan harapan dapat melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang akan membawa Aceh kembali menonjol di kancah nasional dan global.

Salah satu agenda utama Forum Pikee Atjeh adalah memperkuat pemahaman generasi muda tentang Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menjadi dasar kekhususan Aceh. Melalui diskusi terbuka, seminar, dan kampanye sosial, Forum ini memastikan bahwa hak-hak istimewa Aceh tetap dijaga dan dimanfaatkan untuk kemajuan bersama, bukan hanya sekadar status formal yang tertulis dalam undang-undang.

Inisiatif Forum Pikee Atjeh adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa Aceh tidak tertinggal dalam arus globalisasi. Dengan memberdayakan generasi muda, memperkuat pendidikan, menjaga budaya, dan memperluas jaringan internasional, Aceh bisa kembali menjadi bangsa yang disegani di dunia. Keunggulan Aceh tidak hanya akan diukur dari keberhasilan masa lalu, tetapi juga dari bagaimana Aceh mampu merespons tantangan masa depan.

Kini saatnya bagi Aceh untuk melangkah maju dengan semangat baru, sambil tetap menghargai warisan sejarah yang kaya. Aceh dapat sekali lagi mengklaim posisinya sebagai bansa teuleubeh, bangsa yang unggul, dihormati, dan diakui di atas panggung dunia.

 

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi