Oleh Apriadi Rama Putra
Jurnalis Katacyber.com Wilayah Aceh Tenggara
Di tepi peradaban, tersembunyi di balik bayang-bayang kota yang sibuk, terdapat sebuah kisah yang terukir di dalam sebuah kota kusebut namanya Tanoh Alas Metuah. Kota nya tak jauh dari pusat keramaian, hanya diperlukan waktu 15 menit dengan motor atau mobil untuk sampai pusat dari desaku. Namun, di antara gemerlapnya kota, Tanoh Alas Metuah terasa terisolasi, seperti dunia yang berbeda. Jalanan yang redup dengan lampu lalu lintas, lampu-lampu itu hanya menjadi benda hias yang tak berfungsi dengan baik hanya menjadi salah satu pemandangan yang melambangkan kesendirian kami. Terkadang, lampu-lampu itu menyala hijau tanpa henti, terkadang merah tanpa alasan. Lebih buruk lagi, beberapa di antaranya telah menjadi korban perbuatan keji tangan-tangan maling yang rakus. Kehidupan di sini membuatku merasa kehilangan arah. Apakah ini kekacauan? Sungguh, aku pun tak dapat menemukan jawaban yang memuaskan, sama seperti rasa kebingungan yang melanda hatiku.
Tanoh Alas Metuah, sebuah kebun surga yang dijaga oleh gunung-gunung menjulang dan sungai-sungai yang mengalir tenang, kini terancam oleh tamaknya manusia. Penebangan liar semakin menjamur, mengubah kehidupan kami menjadi pemandangan yang menyedihkan. Setiap kali hujan turun, desa-desa kami sering kali dilanda banjir, menyapu bersih segala yang berdiri di depannya. Ini bukan sekadar cerita karangan, melainkan kenyataan pahit yang kami hadapi. Jika kalianragu, tanyakanlah kepada Ibu Tri Rismaharini selaku Menteri Sosial Republik Indonesia, berapa kali beliau telah berkunjung ke kota kami membawa bantuan. Namun, kunjungan-kunjungan itu tidaklah menjadi kebanggaan, melainkan pengingat akan kegagalan sistem.
Di Tanoh Alas Metuah, kritik adalah dosa besar yang berani. Suara-suara yang mencoba bersuara, entah dengan kata-kata atau tindakan, akan ditekan dengan celaan dan fitnah yang menjijikkan. Terkadang, suara-suara itu bergema dengan keras, menyalahkan mereka yang “belum menerima uang” sebagai alasan ketidaksetujuan mereka. Ketika lingkungan kita berbicara dengan cara seperti itu, tak pelak, orang-orang cerdas pun terdiam, terperangkap dalam belenggu materialisme. Kita bukanlah bangsa yang kekurangan otak, melainkan kejujuran. Seperti yang dikatakan oleh Kasino, “Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, melainkan kekurangan orang jujur.”
Kisah ini nantinya kuberi dengan judul besar “Tanoh Alas Metuah di Mata Para Bedebah.” Judul yang mengandung makna yang dalam, melambangkan pertarungan kami melawan kegelapan yang mengancam kota kami. Hanya para bedebah yang berani mengekspresikan keadaan Tanoh Alas Metuah dari segala sudut pandang: sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, politik, dan agama. Mulai dari Rumah Bundar (di perbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues) hingga Lawe Pakam (di perbatasan dengan Kabupaten Karo), kami bersuara tanpa harapan imbalan dari siapa pun.
Maka dari itu, saya akan memulai kisah ini tepat dari tempat saya tinggal. Jika ada yang ingin berbagi cerita tentang Tanoh Alas Metuah, mari kita bersama-sama menunjukkan kepada dunia bahwa kita peduli terhadap tanah ini. Kita bukanlah oknum LSM ” Lembaga Suka Mengejut ” atau “ Oknum wartawan cepek limpul” yang hanya gemar memberi kejutan. Tunjukkan kita adalah para pegiat literasi Tanoh Alas Metuah yang teguh dan konsisten dalam perjuangan. Bersama, mari kita terangi kegelapan yang mengancam kota kita.
Review yang sesuai