Oleh : Kafabihi SKM Cabang Tanjungpinang
Pada Debat Cawapres Pemilu 2024, yang mengusuh tema “Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.” Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Masih menjadi masalah ketimpangan sosial. Konflik agraria saling tumpang tindih kepentingan pusat/daerah maupun investor lokal/asing. Hingga diperparah dengan adanya mafia tanah yang berlindung dibalik oknum.
Tecatat lebih dari 212 kasus konflik agraria dengan lahan seluas 1,03 juta hektar pada tahun 2022 dan naik menjadi 241 kasus pada tahun 2023. Data ini menambah daftar hilangnya kawasan perampasan tanah adat/masyarakat yang selalu diwariskan begitu ada potensi proyek investasi dll.
Dengan total 660 konflik agraria sepanjangn tahun 2022-2023, menjadi sebuah pertanyaaan kepada calon pemimpin kedepan, beranikah capres dan cawapres pemilu 2024 mau memihak masyarakat serta me-Reformasi Agraria? atau justru, melanjutkan warisan konflik yang tak berkesudahan ?
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti visi-misi capres-cawapres ihwal reforma agraria, termasuk visi misi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin). Sebagai informasi, dalam visi misinya, Amin memiliki agenda khusus reforma agraria yang disertai 9 rencana program kerja. Amin berfokus pada, meredistribusikan tanah, mempercepat penyelesaian konflik agraria, reformasi kelembagaan, dan upaya mengkoneksikan dengan keharusan pengakuan wilayah adat. Lalu hal yang dirasanya utopis yakni Memberikan akses masyarakat untuk memanfaatkan tanah, termasuk tanah milik instansi pemerintah, Pemda, BUMN dan BUMD.
Disisi lain, Ganjar-Mahfud menjanjikan penataan alokasi lahan yang efisien dan berkeadilan. Dengan visi misi “reforma agraria tuntas” mengacu pada pengelolaan alokasi lahan yang efisien dan adil, termasuk redistribusi dan legalisasi tanah yang terbebas dari praktik mafia tanah. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa proses administrasi dan dokumentasi lahan berlangsung secara transparan, cepat, akurat, dan ekonomis. Masyarakat yakin dengan kapasitas Mahdud MD yang mempunyai pengalaman di bidang hukum, dapat menuntaskan reformasi agraria.
Bukan rahasia umum, jika Capres Prabowo Subianto akan melanjutkan kebijakan dari pemerintahan sebelumnya. Adapun agenda Reformasi Agraria yang akan dijalankan hanya berfokus pada peningkatan kesejahteraan petani dan produksi di berbagai sektor, seperti swasembada pangan, air, energi, serta ekonomi hijau dan biru. Program food estate yang dinilai dapat menyelesaikan persoalan pangan, mendapat kritik oleh KPA untuk tidak dilanjutkan. Karena dianggap oleh KPA dapat menimbulkan berbagai masalah. Mulai dari perampasan tanah wilayah adat, tanah petani, hingga mendorong proletarisasi petani.
Setelah melihat bagaimana calon pemimpin Indonesia menawarkan gagasannya. Kita sudah melihat bagaimana pengelolaan SDA selama ini dinilai tidak teratur dengan baik. Dibalik realisasi sertifikat tanah sebesar 100 juta dari total target 126 juta sertifikat tanah, ada masyarakat yang mengalami perampasan tanah. Padahal program bagi-bagi sertifikat tanah sudah merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) harian Kementerian ATR/BPN, bukan presiden. Dengan reformasi agraria isu ketimpangan, penyelesaian konflik, perwujudan kedaulatan pangan, keseimbangan ekologis, tidak boleh disembunyikan dengan euforia bagi-bagi sertifikat.
Selain konflik agraria, keberadaan mafia tanah terus mencari mangsa. Kolaborasi antara Kemen ATR/BPN dengan Kapolri belum membuahkan hasil. Mafia tanah, masih dengan gagahnya mencari celah untuk dijadikan ladang bisnis. Kenapa bisa begitu, apakah ada oknum dari pemerintahan yang bermain ? Pastinya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto membocorkan siapa saja mafia tanah yang selama ini bermain. Yakni oknum Pengacara, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala Desa, Camat, bahkan Pegawai kementerian ATR/BPN. Banyaknya jenis oknum yang bermain membuat tanah rakyat, swasta, atau bahkan milik negara diam-diam berpindah tangan tanpa disertai dokumen resmi, dan prosesnya melanggar hukum.
Peta Tematik Sebagai Solusi Memberantas Konflik Agraria.
Kita berharap, persoalan SDA mesti dikelola dengan baik dengan wujud birokrasi yang memadai. Sudah seharusnya Indonesia memiliki peta tematik berbasis data spasial untuk pengelolaan wilayah yang dapat diakses oleh publik. Sehingga, pemerintah tahu mana wilayah yang bisa dikelola dan mana yang tidak bisa dikelola. Tentunya, dengan sistem teknologi big data sangat mudah untuk merealisasikan. Sudah terlalu banyak pengelolaan wilayah yang tidak didasari oleh aturan berdasarkan data. Ini yang mesti dipelajari, bagaimana Indonesia maju dalam agrarianya.
Untuk mengatasi/serta mencegah permasalahan agraria, sudah tidak bisa lagi dilakukan diatas kertas. Diperlukan program database satu peta yang bisa membuat perencanaan pembangunan, serta kepemilikan tanah yang lebih akurat.
Dalam sistem tersebut sudah ada data terkait status, history pemanfaatan, sistem pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga sistem informasi pertahanan lengkap dengan titik koordinatnya sekaligus.
Badan Informasi Geospasial (BIG) dibawah BRIN, perlu bekerja keras dalam merealisasikan peta dasar dalam bentuk data spasial. Sistem pertahanan yang selama ini diatas kertas dan bisa dipalsukan harus teratasi. Melonjaknya sengketa tanah juga menjadi persoalan ditengah masyarakat. Agar semua aspek persoalan dapat teratasi, inovasi peta tematik harus menjadi arah baru, bagi Agraria Modern tentunya dengan Pola spasial itu berbasis Geographical Information System (GIS) dengan faktor interoperabilitas yang baik. Sehingga publik mudah mengaksesnya secara online.
Sudah beberapa kali pemerintah merevisi peraturan pengadaan tanah seperti perpres no 65/2006 yang diubah ke UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, malah menimbulkan masalah baru.
Tanpa adanya sistem ini, satu wilayah bisa saja hilang tanpa bekas akibat pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Peradaban suatu wilayah bisa hilang begitu saja tanpa ada data historis.
Seluruh tanah dari Sabang sampai Merauke harus di inventarisir dengan baik. Mulai dari yang belum terdaftar hingga yang sudah terdaftar. Selama ini kegiatan sensus PBB yang bertujuan untuk melakukan pendataan secara menyeluruh ke seluruh objek pajak PBB belum memakai secara optimal teknologi data spasial. sehingga ini berpotensi adanya kecurangan dalam pembayaran fiktif.
Kita semua menyadari, betapa urgentnya kebutuhan data ini. Persoalan reformasi agraria, hanya akan jadi khayalan jika Indonesia belum memiliki LIS. Serta ketimpangan akan selalu terjadi, dalam berbagai celah yang ada.
Terimakasih informasinya