Oleh Syarifuddin Abe
Mampukan orang menertawakan dirinya sendiri? Untuk apa orang menertawakan dirinya sendiri? Kenapa orang harus memiliki kemampuan untuk menertawakan dirinya sendiri? Apa untungnya orang menertawakan dirinya sendiri? Bijaksanakah orang yang mampu mentertawakan dirinya sendiri?
Hidup selalu dekat dengan permasalahan. Permasalahan dalam kehidupan bagai orang yang berkecenderungan menikmati secangkir kopi di pagi hari. Hidup tanpa ada masalah, hampa. Hidup memerlukan masalah da nada masalah, karena masalah akan memperindah nilai kehidupan. Seperti sebuah ungkapan; masalah dalam kehidupan, obat mujarab untuk mendewasakan manusia. Dengan masalah, menjadikan manusia semakin dewasa. Dengan masalah, menjadikan manusia semakin kuat dan tangguh dalam menjalani kehidupannya. Tuhan tidak akan membebani hidup manusia dan Tuhan akan menguji hamba-Nya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Menertawakan adalah kata kerja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menertawakan merupakan kata yang tidak baku. Mentertawakan merupakan asal kata dari ‘tawa’. Kata ‘tawa’ sudah memperoleh awalan ter-(tawa) dan fonem ‘t’ pada kata ‘tertawa’ tidak luluh. Sebagaimana dijelaskan Jaya Suprana (2013), humor itu mandiri, boleh menghindari dari lucu dan boleh juga tidak mesti berkaitan dengan tertawa. Berdasarkan ilmu bahasa, antara humor, lucu dan tertawa, sangat tidak sama, berbeda satu dengan yang lainnya. Humor kata benda, lucu kata sifat, dan tertawa kata kerja. Humor merupakan suatu situasi dan kondisi atau boleh dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang bebas nilai. Lucu merupakan kata sifat yang sarat nilai bahkan lebih kepada subjektifitas. Tertawa lebih kepada sebuah respons terhadap sesuatu oleh jasmaniah, dan juga merupakan salah satu dampak stimulus oleh humor. Bagi Jaya Suprana, tertawa bukanlah satu-satunya stimulus yang dihasilkan oleh humor.
Sebenarnya, siapa orang yang mampu mentertawakan dirinya sendiri? Sulit memang mentertawakan diri sendiri? Susah memang mencari orang yang mampu mentertawakan dirinya sendiri. Kalaupun ada, mungkin dari sekian ratus atau ribu orang, hanya ada seper-sekian persennya saja. Mungkin dari lima belas orang hanya ada satu, itupun kalau ada? Mungkin masih harus diklasifikasikan lagi, antara yang serius dan yang tidak serius – antara yang ikhlas dan yang tidak ikhlas – antara yang pura-pura dan yang politis – antara yang bermuka satu dan bermuka dua. Asal jangan, muka buruk, cermin dipecah.
Hanya orang-orang yang memiliki hati mulia dan orang-orang bijaksana saja yang mampu mentertawakan dirinya sendiri. Untuk mentertawakan diri sendiri, orang harus memiliki kemampuan untuk merenung, berpikir, mampu memahami makna hidupnya, bijaksana, ikhlas dalam memandang hidup, jujur menjalani kehidupannya, tidak mudah terpengaruh oleh berbagai iming-iming dalam menjalani kehidupannya, memiliki nurani yang jujur serta harus berintegritas. Kemampuan mentertawakan diri sendiri adalah kemampuan memahami dan menjalani kebijaksanaan terhadap proses kehidupannya.
Susah memang mentertawakan diri sendiri. Semua orang ingin dihormati. Semua orang tidak ada yang suka direndahkan apalagi diremehkan. Orang disenyumin aja, kadang sudah curiga. Belum dipelototin, baru sekadar dilirik, itupun tidak sengaja, sudah merasa diawasi. Kalau sudah begini, kapan kita mulai introspeksi diri? Kapan kita mulai melihat ke dalam diri? Salah satu makhluk yang sulit untuk diarahkan, itu termasuk manusia, kecuali sudah sejak dari kecil dibiasakan untuk belajar memahami diri. Lihat saja di film-film kungfu atau karate.
Manusia selalu merasa diri serba bisa dan mampu. Selalu merasa diri mudah menghadapi segala hal; tahu-tahu keok duluan. Makanya, dalam dunia beladiri atau lainnya, katakanlah kungfu atau karate, hal yang pertama dilatih adalah menurunkan ego manusia, melatih kesabaran. Bagi yang merasa rendah dan tidak sabar, akan tamat sebelum waktunya. Disuruh angkut air dalam ember terlebih dahulu. Diperintahkan mengisi bak mandi setiap harinya. Disuruh membersihkan toilet setiap hari, dan sebagainya. Disuruh mengabdi sambil mencari kebenaran dirinya. Kalau pada zaman nabi dan rasul dulu, sebelum diangkat menjadi nabi atau rasul, diperintahkan mengabdi (berubudiyah) dengan mengembala kambing atau onta terlebih dahulu. Intinya, manusia itu butuh waktu untuk memperbaiki dirinya, perlu kesempatan untuk meruntuhkan hal-hal yang membuatnya cengeng dan manja.
Orang yang mampu mentertawakan dirinya sendiri adalah para pahlawan kehidupan, terutama untuk diri dan keluarganya. Tidak ada kamuplase dalam kehidupannya. Tidak ada hitam-putih, yang ada adalah hitam atau putih. Tidak ada tipu-muslihat dalam kehidupannya. Yang ada adalah setiap detik-menit-jam dan waktu adalah proses kebijaksanaan, proses melengkapi kehidupannya, proses menjahit dan merajut hidupnya. Orang yang mampu mentertawakan dirinya sendiri adalah seorang pemenang bukan pecundang. Orang yang mampu mentertawakan dirinya adalah orang yang telah memperoleh maqom tertinggi dalam hidupnya. Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa rabbuhu, siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Siapa yang mengenal hatinya, akan mengenal dirinya.
Prof. Farid Anfasa Moeloek (Bambang Suryadi, 2019), Menteri Kesehatan Kabinet Pembangunan VII masa Orde Baru, menulis, adalah Douglas Mac Arthur, seorang Jenderal Amerika Serikat, mantan Kepala Staf Angkatan Darat bahkan kemudian menjadi orang penting dalam Perang Dunia II. Arthur adalah orang yang memiliki rasa humor yang tinggi. Ia selalu mengolah humor dalam hidupnya. Humor telah memberinya rasa bijaksana, sehingga humor baginya dapat meningkatkan taraf kesehatan dalam hidupnya. Arthur sangat menghormati dan sangat akrab dengan humor, humor telah mengarahkan dirinya kepada kehidupan yang sehat dan energik. Menurutnya, tanpa humor orang-orang akan melalui kehidupannya dalam kekakuan, tidak bersemangat, tidak bertenaga, loyo. Bagi Arthur, mentertawakan diri sendiri adalah sebuah kebijaksanaan untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.
Arthur-lah seorang jenderal Amerika Serikat yang pada Perang Dunia II sempat ke Papua dan perjalanannya ke Papua diabadikan dengan sebuah monumen yang kini menjadi salah satu destinasi wisata di Papua, yaitu monumen Jend. Mac Arthur yang terletak di atas bukit, di atas danau Sentani yang sekarang lebih popular dengan bukit Makatur. Arthur adalah sosok mantan jenderal yang memiliki sense of humor bahkan humor selalu melekat pada dirinya. Hingga suatu ketika, Arthur menulis sebuah pesan yang secara sengaja dan khusus ditujukan kepada anaknya. Nasehat itu berisikan untuk selalu menjaga profesionalisme, disiplin, berintegritas, selalu kerja keras serta memiliki komitmen dalam kerja. Dan di akhir suratnya itu, Arthur menulis, “jaga dan berikan rasa humor dalam kehidupanmu”. Bagi Arthur demikian pentingnya humor dalam kehidupan. Rawatlah hidupmu dengan humor. Menertawakan diri sendiri, walau hanya sesaat, sama saja menjalani kehidupan dalam kegembiraan.
Sebenarnya, hakikat dari seorang humoris adalah menertawakan dirinya sendiri. Hanya saja, terkadang ia meminjamkan orang lain untuk mnentertawakan dirinya. Orang boleh saja tertawa terbahak-bahak mengalahkan peran syetan dalam film-film horror. Tanpa sadar, di antara yang tertawa juga ada yang mentertawakan dirinya sendiri lewat humor yang didengar dari seseorang. Kenapa ia tidak sadar sedang mentertawakan dirinya? Karena ia tidak mampu menterjemahkan humor yang sedang ia tertawakan. Karena ia tidak memiliki rasa kepekaan tentang dirinya sehingga ia dengan mudah tertawa, padahal ia sedang mentertawakan dirinya sendiri?
Hakikat seorang humoris adalah orang yang jujur, memiliki integritas tentang dirinya. Pandai mengatur waktu hanya untuk mencari kebenaran kehidupannya. Hidupnya selalu belajar kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan tertinggi yang dimilikinya adalah mentertawakan dirinya sendiri, yang itu sangat tidak gampang dimiliki oleh orang-orang dalam kehidupannya sibuk mencari sanjungan dan pujian.
Menurut Neli Triana, (Kompas, Minggu, 11 April 2024), mentertawakan diri sendiri berarti seseorang telah memiliki kemampuan untuk menciptakan sebuah lelucon tentang segala sesuatunya sesuai apa yang terjadi di sekitarnya, dalam hal ini termasuk kemampuan untuk mentertawakan terhadap diri sendiri. Hal ini diartikan oleh Neli Triana, seseorang sudah memiliki bekal lewat kemampuannya dalam menerima absurditas dalam kehidupannya seraya upaya resistensi yang lebih santai. Sebuah lelucon akan lebih lucu dan menarik, apabila lelucon itu mengarahkan pada diri sendiri. Ketika orang memiliki kemampuan untuk mentertawakan dirinya sendiri, itu berarti seseorang tersebut telah mampu dengan seintim-intimnya bersahabat penuh keakraban dengan dirinya sendiri. Artinya, betapa sulitnya mengenal diri sendiri.
Orang tidak akan mudah mengenal dirinya sendiri. Betapa banyak orang mesti ke psikiater hanya untuk membongkar onderdil dirinya. Betapa banyaknya orang stress hanya karena jauh panggang dari api terhadap dirinya. Betapa banyak orang mesti gila hanya karena sangat sulit menyadari dirinya itu siapa. Bahkan betapa tidak beruntungnya diri seseorang, bahkan betapa lemah dan rendahnya diri seseorang dengan akal dan hati belum mampu memahami dan menganal dirinya; sehingga lebih mengenal seutas tali yang mesti menjerat lehernya dari pada untuk sekedar mampu memahami siapa dirinya yang sesungguhnya? Di sinilah letak ungkapan, saya ulang lagi ungkapan di atas, mungkin dengan redaksi berbeda; siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Lebih lanjut, siapa yang mengenal hatinya, akan mengenal dirinya.
Orang kadang-kadang terlalu percaya diri; seolah-olah ia telah mengenal dirinya. Betapa banyak orang menjadi narsistik, hanya karena merasa sudah sangat mengenal dirinya, sudah merasa sangat akrab dengan dirinya. Berapa banyak orang yang sok merasa ganteng-cantik, bahkan berapa banyak orang yang menganggap dirinya sopan, baik dan dermawan, padahal itu semua hanya sebuah topeng atau badut bahkan dianggap sebagai lelucon belaka? Orang yang mengaku bahwa dirinya begini, sebenarnya bukanlah seperti itu. Sesungguhnya, ia sok tahu tentang dirinya saja. Orang banyak yang berkelakuan aneh-aneh akibat orang tidak mampu mengenal dirinya.
Orang suka sekali bermain dalam kepalsuan. Makanya jangan heran, banyak orang yang tidak puas dengan dirinya sendiri yang diakibatkan oleh ketidak mampuan mengenal dirinya sendiri. Dengan superioritasnya mentertawakan orang lain, padahal sesungguhnya, tanpa sadar, ia telah mentertawakan dirin sendiriya. Banyak orang yang mentertawakan dirinya dan itu hanya diketahui oleh segelintir orang, bahwa orang itu sesungguhnya sedang mentertawakan dirinya sendiri. Kalau pun diberitahukan, justru akan mentertawakan orang yang memberitahukan itu. Padahal orang yang suka bermain pada kepalsuan, itu tidak akan lama, pasti akan dengan ketidaksadarannya ia akan kembali kepada keasliannya. Tidak perlu untuk orang seperti ini mentertawakan dirinya sendiri, biarkan saja orang lain yang mentertawakan dirinya.
Saking sulitnya orang mengenal dirinya sendiri, sehingga orang suka menebak-nebak, suka menerka-nerka. Sehingga selalu menganggap dirinya orang baik, sopan, terhormat, dermawan, dan sebagainya. Selama orang masih teriak, “ngaca!”, itu berarti masih jauh panggang dari pada kucing. Hal yang terbaik untuk mengenal diri kita, salah satunya adalah dengan bertanya pada nurani kita, siapa aku sebenarnya? Kemudian terus bertanya kepada siapa saja atau bertanya kepada guru kehidupan kita masing-masing. Selanjutnya mendengar nasehat dan pendapat orang lain. Sampai pada akhirnya secara pelan-pelan sampai pada kesimpulan; baik atau tidaknya aku? Orang baik biasanya dicintai dan disukai oleh banyak orang, bahkan selalu didoakan karena kebaikan yang orang-orang rasakan. Orang baik bukan karena banyak membantu dengan mengharap imbalan, seperti setiap menjelang pemilu atau lebaran. Biasanya, orang baik itu di hati orang-orang dan orang tidak baik bercampur dalam ludah orang-orang, tergeletak di emperan atau comberan.
Socrates (meninggal 399 SM), filsuf Yunani, pernah mengingatkan, “kenalilah dirimu sendiri; gnothi seauton”. Socrates menginginkan agar orang terus menggali siapa diri-kita sebenarnya, mengenal diri sendiri menurut Socrates jangan sampai berlebihan, kai meden agan. Karena kalau berlebihan juga akan bahaya, jangan-jangan akan menjadi sombong karena terlalu mengenal diri sendiri. Intinya adalah kita harus memiliki kesadaran untuk mengenal diri kita sendiri, atau kita sering mendengar ucapan ‘sadar diri, kenapa?’. Kesadaran mengenal diri sendiri menjadi lebih penting daripada selalu melihat orang lain banyak berkekurangan. Orang ketika melihat orang lain, biasanya yang dilihat adalah kekurangan dan keburukannya. Jigong di gigi orang kelihatan, tapi kulit cabai di gigi sendiri tidak kelihatan.
Mentertawakan diri sendiri pada hakikatnya adalah sebagai sebuah proses yang secara terus menerus mencari jati diri. Nelli Triana, menjelaskan pemikiran dua filsuf, si filsuf kehidupan Henry Bergson dan psikolog Sigmund Freud, keduanya memiliki pandangannya tersendiri tentang tawa serta praktik dalam mentertawakan diri sendiri yang telah ada sejak dunia ini ada. Bagi Bergson, tertawa merupakan bagian dari koreksi sosial. Freud menyebutnya sebagai semburan bagi orang-orang yang tertindas. Berdasarkan kedua pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa mentertawakan diri sendiri adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang ataupun komunitas masyarakat dalam menghadirkan sebuah lelucon yang sesuai dengan apa yang terjadi disekitarnya, hal ini juga termasuk membuat lelucon tentang diri sendiri.
Dalam kehidupan, orang boleh saja menghadirkan humor yang seakan-akan mengolok-olok dirinya sendiri, padahal dibalik itu semua ia mencoba menyentil suatu keadaan sosial dan politik yang terjadi disekitarnya. Apa yang disampaikan oleh Bergson dan Freud, humor tidaklah dapat dipisahkan dari sifat rendah hati serta nilai-nilai kemanusiaan. Humor dapat mengantar manusia untuk melewati dari hal-hal yang menyakitkan, bahkan dapat memberi jarak bahkan jeda. Di mata Tuhan, semua manusia sama, begitu juga sesama manusia sudah sepatutnya untuk saling tidak merendahkan. Orang yang mampu mentertawakan diri sendiri bukanlah orang itu menghina dirinya, melainkan orang yang menghargai dan selalu bertanya; siapa aku sebenarnya?
Leave a Review