Oleh: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan
Sejarawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam bukunya yang sangat terkenal di kalangan kader-kader HMI, yang berjudul: 44 Indikator Kemunduran HMI, pada indikator ke-10 menyebutkan kemunduran HMI dikarenakan belum optimalnya pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan anggota dan pengurus HMI di hampir semua tingkatan kepengurusan tentang khasanah-khasanah ke-HMI-an dan keorganisasian; dan indikator kemunduran yang ke-23 menyebutkan bahwa HMI kehilangan panutan.
Dua indikator yang disebutkan di atas perlu kita renungkan saat ini. HMI saat ini telah jauh dari khasanah-khasanah ke-HMI-an dan keorganisasian. Hal ini dapat kita lihat dari aktivitas-aktivitas HMI untuk memperingati hal-hal yang historis di HMI, kecuali hanya perayaan Milad HMI saja. Padahal banyak hal-hal historis yang memberi pesan perjuangan dan semangat berorganisasi yang pernah ditorehkan oleh HMI.
Selanjutnya kita telah kehilangan panutan. Bahkan lebih parah panutan kader-kader HMI saat ini jauh dari nilai-nilai ke-HMI-an. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah lagi membicarakan dan memperingati/meneladani tokoh-tokoh besar yang lahir dari HMI dan meninggalkan “warisan” di HMI. Apakah kita masih ingat deretan tokoh-tokoh HMI yang memberi kontribusi pada organisasi dan negeri? Salah satunya, apakah kita masih ingat Nurcholish Madjid atau yang akrap disapa Cak Nur?
Sampai saat ini, saya belum mendengar atau mengetahui lewat media sosial online, bahwa ada sekelompok kader, pengurus komisariat, cabang, Badko hingga PB HMI yang memperingati dan mengkaji “warisan” Cak Nur di HMI.
Tahukah kita bahwa pada 29 Agustus (sejak wafat 29 Agustus 2005) adalah hari wafatnya Cak Nur? Adakah kader-kader HMI hari yang memperingati dengan melaksanakan kajian menggali pemikiran Cak Nur? Mayoritas saat ini kader-kader HMI tidak tahu tentang Cak Nur di HMI? Padahal karena Cak Nur lah HMI memiliki identitas pemikiran dan identitas ideologi HMI melalui Nilai-nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI) yang disusunnya puluhan tahu lalu. Hingga saat NDP yang disusun Cak Nur masih bertahan utuh dan menjadi materi kajian setiap perkaderan HMI.
Kader HMI saat ini mayoritas telah meninggalkan sejarah dan buta sejarah keorganisasiannya. Sehingga berdampak negatif pada HMI saat ini. Di HMI mayoritas diisi oleh kader-kader karbitan, pragmatis, hanya mengejar jabatan, memanfaatkan HMI untuk kepentingan pribadi, dan bahkan menggeser HMI sebagai organisasi intelektual menjadi organisasi semacam sayap partai politik.
Karena telah kehilangan dan tidak tahu sejarah, maka HMI hari ini terasa tidak ada. Hanya ada pada saat momentum pelantikan dan momentum cermony, di luar tampak ketika ada momentum politik atau ketika ada order untuk berbuat sesuatu, yang sifatnya pragmatis. Kita telah gersang, tak ada lagi tradisi meneladani dan mencontoh tokoh-tokoh terbaik dari HMI. Kader HMI saat ini mayoritas tak tahu siapa Cak Nur, Munir, Deliar Noer, Agussalim Sitompul, bahkan hampir saja tidak tahu Lafran Pane. Sebab kalau bukan karena lahir film Lafran, maka pendiri HMI itu hanya tinggal nama.
Tercerabutnya jiwa-jiwa sejarah HMI dari kader-kader HMI membuat HMI saat ini tanpa nilai, tanpa marwah, tanpa martabat dan tanpa semangat perjuangan. HMI telah dijadikan sebagai alat mencari kepentingan pragmatis dan materialistik. Ber-HMI hanya ajang-ajang berorganisasi, bahkan lahir kader-kader HMI yang kutu loncat, gila jabatan tapi minim perbuatan.*
Leave a Review