Oleh Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)
Mencermati arus gelombang kekuasaan Indonesia hari ini, masih jauh dari kata membatalkan keberlanjutan proyek Ibu Kota Nunsantara (IKN). Selain telah diperkuat secara konstitusi, kedinamisan kekuasaan level nasional pun nanti pihak-pihak yang awalnya menolak keberlanjutan IKN justru pada akhirnya akan menjadi bagian dari pembangunan IKN secara berkelanjutan.
Kerena terdapat satu kunci yang sulit dielak secara politik saat membicrakan IKN, yaitu daya tarik politik investasi. Kue politik pembangunan dari investasi IKN tersebut barangkali tak satu poros kekuasaan yang mampu mengelaknya setelah pilpres 2024 selesai.
Terlepas dari efek samping IKN, diakui atau tidak IKN dapat disebut sebagai simbol kekuasaan yang jauh dari apa yang disebut sebagai pembanguan berbasis Jawa sentris. Rasionalitas pembangunan IKN tersebut kemudian berdampak pada arsitektur pembangunan di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk di wilayah Papua misalnya yang kini telah menjadi beberapa provinsi yang pada awalnya dianggap sulit dimekarkan pada masa Presiden SBY.
Diakui atau tidak, tidak keliru rasanya jika menyebut Presiden Joko Widodo adalah bapak pembangunan progresif Indonesia. Melihat pendekatan pembangunan yang dilakukan Jokowi di Papua, jalan tol di Aceh, hingga pembangunan insfrastruktur strategis nasional lainnya menjadikan Jokowi dilirik oleh berbagai investor di berbagai negara di dunia. Mungkin gelagat politik pembangunan Jokowi sedemikianlah menjadikan Jokowi tampak tak ragu-ragu untuk cawe-cawe dalam konstelasi pilpres 2024.
Tentu postur politik atau pendekatan politik pembangunan khas Jokowi tersebut tidak dapat berhenti begitu saja, sebab partai politik yang berkoalisi dengan Jokowi kini dipandang cukup untuk menlanjutkan berbagai proyek pembangunan yang tertunda di berbagai daerah di Indonesia.
Demikian halnya dengan gagasan atau cita-cita memekarkan provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) yang masih menggantung sejak 2010 mulai digelorakan elite dan masyarakat Aceh di wilayah ALA tersebut. Semangat IKN secara politik dapat membuka peluang bagi terbentuknya provinsi ALA sebagai strategi percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Terlebih situasi dan kondisi politik pembangunan Provinsi Aceh hari ini tampak semakin membeku dan suram. Dengan adanya spirit IKN dan postur politik Jokowi jangka panjang tersebut dapat menjadi pintu harapan bagi terwujudya provinsi ALA.
Meskipun ada gosip politik yang beranggapan provinsi ALA tidak akan terwujud jika salah satu partai lokal di Aceh dianggap tidak merestui ALA. Meskipun salah satu mantan panglima gerakan di Aceh dianggap dekat dengan kaki tangan politik Jokowi justru menjadikan ALA akan mudah dihalangi oleh kekuatan politik nasional saat ini dan masa depan. Sadar atau tidak, kebekuan elite politik di internal Aceh hari ini sungguh tergantung dengan keiginan politik nasional.
Dalam konteks ini misalnya, siapa sangka ada mantan panglima gerakan di Aceh yang justru semakin mesra dengan tokoh nasionalis di republik ini? Siapa sangka partai lokal menjadi kaki tangan partai nasional hari ini? Siapa sangka ideologis keacehan hari ini semakin abu-abu bahkan mati suri? Selanjutnya, siapa sangka pula nanti ALA justru mendapat dukungan dari mantan panglima setelah “dikunci” oleh politik nasional? Oleh karena itu, peluang terbentuknya provinsi ALA masih terbuka lebar seiring dinamisnya politik nasional setelah IKN terus dibangun.
Menganggap provinsi ALA tidak akan terbentuk adalah pandangan politik yang kaku dan berpikir pendek, terlebih jika ada yang beranggapan bahwa isu ALA adalah isu musiman. Sungguh anggapan sedemikian merupakan anggapan yang terjebak pada politik kerdil dalam konteks strategi pembangunan daerah di Aceh.
Diakui atau tidak, selama provinsi ALA tidak terbentuk, sampai kapan daerah seperti Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Teggara, Aceh Singkil, bahkan Aceh Tamiang akan mendapat pembangunan layaknya Banda Aceh dan sekitarya? Justru jika provinsi ALA belum terwujud, selama itu pula sentralistik daerah Aceh semakin menjadi-jadi dan merugikan masyarakat serta daerah Aceh di wilayah ALA.
Melalui kajian ALA perspektif semangat IKN inilah sejatinya menjadi angin segar bagi masyarakat atau elite yang masih memperjuangkan ALA secara sporadis. Jangan sampai hasrat politik nasioal sedang berlabuh menuju muara politik pembangunan anti “sentralistik Jakarta”, justru Aceh sedang ngotot pada pembangunan sentralistik “Banda Aceh dan sekitarnya”. Sungguh Provinsi Aceh hari ini sedang berada di jalan yang menjebak kemiskinan dan kesengsaraan pembangunan bagi masyarakatnya sendiri. Ingat, sampai kapan Aceh akan terus-terus ditipu?
Leave a Review