Indonesia, Demokrasi Bertopeng Feodalisme?

Oleh : Danu Abian Latif
Penulis Buku Opini Nakal untuk Indonesia

Indonesia hari ini mungkin bukanlah negara demokrasi yang sejati. Sepertinya ia kini adalah negara feodal yang dipoles dengan pemilu, dibungkus dalam jargon kedaulatan rakyat, tapi dikendalikan oleh sekelompok elite politik yang memperlakukan kekuasaan seperti warisan keluarga. Di balik pesta demokrasi lima tahunan, tersembunyi dominasi nama-nama besar yang mewarisi jabatan dan membajak sistem politik untuk keuntungan pribadi dan kroni mereka.

Demokrasi yang Terkepung Dinasti
Fenomena ini bukan ilusi. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa lebih dari 150 kepala daerah di Indonesia berasal dari dinasti politik. Provinsi seperti Banten, Sumatera Utara, hingga Sulawesi Selatan menjadi laboratorium nyata dari kekuasaan yang diwariskan. Tak hanya di tingkat daerah, pola ini juga merayap bebas ke pusat kekuasaan nasional.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa dinasti politik adalah pintu masuk korupsi struktural. Ketika jabatan diwariskan tanpa kompetisi terbuka, maka akuntabilitas publik menjadi lemah. Rakyat kehilangan kontrol karena kekuasaan terpusat pada hubungan darah, bukan pada mandat suara.

Demokrasi Ditekuk di Meja
Contoh paling vulgar adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon Wakil Presiden dalam Pilpres 2024. Padahal, usianya belum memenuhi syarat sesuai Undang-Undang. Namun Mahkamah Konstitusi tiba-tiba mengubah tafsir hukum, memberi jalan pintas hukum bagi Gibran. Ironisnya, Ketua MK saat itu adalah Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi. Ini bukan hanya konflik kepentingan, tapi pelecehan terhadap konstitusi.

Reaksi publik pun keras. Dari akademisi, mahasiswa, hingga mantan hakim MK menyatakan kekecewaan. Tapi semuanya tenggelam dalam propaganda media dan mobilisasi politik. Di sinilah kita harus sadar, bahwa lembaga hukum bisa dijadikan alat kekuasaan jika sistem tidak diawasi rakyat secara kritis.

Permainan Politik Uang dan Partai
Dinasti politik tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh subur bersama partai-partai politik yang tidak demokratis dan sudah dikuasai oleh elite tertentu. Proses pencalonan tidak berdasarkan meritokrasi, tapi siapa yang punya uang dan nama. DPP partai politik berfungsi seperti kerajaan kecil. Ketua umum dipilih seumur hidup, dan semua keputusan bersifat sentralistik. Kader partai tidak punya ruang berbicara, apalagi rakyat biasa.

Politik uang semakin memburuk. Menurut Bawaslu, pada Pemilu 2019 saja, praktik politik uang ditemukan di lebih dari 27% wilayah TPS. Artinya, satu dari empat daerah tercemar uang sebagai alat tukar suara. Dalam situasi ini, bagaimana mungkin rakyat bisa memilih dengan bebas jika suara sudah dibeli sebelum hari pencoblosan?

Demokrasi Hanya Seremonial
Pemilu di Indonesia tidak ubahnya seremonial lima tahunan. Rakyat diajak mencoblos, lalu dilupakan. Kebijakan tetap dikuasai oligarki. DPR tidak berfungsi sebagai pengawas kekuasaan, tapi sebagai stempel legal untuk kebijakan pemerintah yang seringkali merugikan rakyat. Lihat saja RUU Cipta Kerja yang dibahas secara kilat, meski ribuan buruh dan mahasiswa menolak.

Lebih parahnya, partisipasi politik makin menurun. Survei Indikator Politik Indonesia mencatat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap DPR hanya 36%. Ini adalah sinyal bahaya yang menunjukkan bahwa rakyat tidak lagi melihat parlemen sebagai representasi suaranya.

Feodalisme Menghianati Semangat UUD 1945
Feodalisme, warisan struktur kekuasaan kolonial dan kerajaan yang menempatkan elite di atas hukum dan rakyat, adalah antitesis dari semangat kemerdekaan yang diabadikan dalam UUD 1945. Konstitusi kita dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat, persamaan hak, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, realitas birokrasi dan politik hari ini justru menunjukkan bahwa praktik feudal yang menuntut loyalitas tanpa kritik, menghargai jabatan lebih dari prestasi, dan mewariskan kekuasaan secara turun-temurun masih hidup dan mengakar.

Ketika jabatan politik diwariskan layaknya tahta, ketika kritik dianggap pembangkangan, dan ketika akses terhadap keadilan hanya dimiliki oleh mereka yang punya koneksi, maka feodalisme tidak sekadar hidup ia tengah menghianati ruh demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, namun dalam masyarakat yang dikuasai mental feodal, kedaulatan itu dibajak oleh elite yang merasa dirinya di atas rakyat.

Feodalisme bukan hanya bentuk ketertinggalan, ia adalah pengkhianatan sistemik terhadap cita-cita kemerdekaan. Ia menjauhkan negara dari amanat Pembukaan UUD 1945, yang menjanjikan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Maka, melawan feodalisme hari ini bukan sekadar soal reformasi birokrasi tetapi perjuangan untuk mengembalikan ruh konstitusi dan memperjuangkan demokrasi yang sejati.

Menuju Negara Gagal?  
Ketika demokrasi hanya menjadi formalitas, dan kekuasaan diwariskan, maka kita sedang bergerak menuju negara gagal. Gejala awalnya sudah tampak indeks demokrasi stagnan, kepercayaan publik turun, dan gerakan masyarakat sipil direpresi. Indonesia menjadi bangsa yang besar secara retorika, tapi rapuh secara sistem.

Laporan The Economist Intelligence Unit (2024) menempatkan Indonesia di level “flawed democracy” demokrasi cacat. Skornya stagnan di angka 6,71 dari 10. Ini menunjukkan bahwa sistem kita hanya baik di permukaan, tapi rapuh di dalam.

Reformasi Total Sistem Politik
Pertama, pendidikan politik rakyat harus diperluas. Generasi muda harus disadarkan bahwa suara mereka berharga dan tidak untuk diperjualbelikan. Kurikulum pendidikan harus menyentuh isu-isu demokrasi, konstitusi, dan peran warga negara secara kritis.

Kedua, partai politik harus dibersihkan dari praktik oligarki dan nepotisme. Aturan internal partai harus menjamin keterbukaan rekrutmen, pembatasan jabatan, dan penguatan kaderisasi yang meritokratis. Negara harus mendorong audit publik atas keuangan partai dan proses seleksi calon.

Ketiga, reformasi hukum adalah kunci. Mahkamah Konstitusi dan lembaga yudikatif lainnya harus benar-benar independen dan tidak boleh dikendalikan oleh penguasa. Sanksi berat harus dijatuhkan pada pelanggaran etika dan konflik kepentingan.

Rebut Kembali Demokrasi Kita
Demokrasi yang tidak adil lebih berbahaya dari kediktatoran. Demokrasi palsu menipu lebih banyak orang, lebih lama, dan lebih menyakitkan. Jika rakyat tidak segera bangkit dan melawan sistem yang bobrok, maka masa depan Indonesia hanya akan diisi oleh mereka yang mewarisi kuasa, bukan yang memperjuangkannya.

Kini saatnya generasi muda, masyarakat sipil, dan seluruh rakyat Indonesia bersatu. Demokrasi bukan milik penguasa, tapi milik rakyat. Jangan biarkan sistem suara rakyat adalah putusan tertinggi, menjadi suara mati yang mengubur harapan-harapan-harapan bangsa. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi