Oleh: Syarifuddin Abe
Humor merupakan sesuatu hal yang menarik bagi siapa saja. Orang-orang menyukai humor karena menyenangkan. Bagi Jaya Suprana (2013) humor malah dapat menimbulkan rasa segar di samping juga menyenangkan; bagi siapa saja, bahkan sampai seseorang menimbulkan rasa haru, sebagaimana ketika seseorang berhadapan dengan suatu sutuasi yang indah, mengalami situasi keindahan, sehingga menjadikan seseorang terharu. Dengan humor orang dapat tersenyum dan tertawa. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa setiap orang pasti memiliki rasa humor.
Humor sangat dekat dengan permainan kata-kata, gaya bahasa, bahkan nalar atau logika; di sinilah orang-orang menganggap, bahwa orang yang memiliki rasa humor yang tinggi menunjukkan orang itu memiliki kejeniusan. Tidak semua orang akan mampu dengan secepat kilat menciptakan suasana humor, kecuali ia memiliki kemampuan mengolah suasana yang ia alami menjadi penuh humor. Kemampuan mengolah suasana, memainkan kata-kata, menciptakan gaya bahasa, bahkan lebih jenius lagi ketika ia mampu bermain pada sisi nalar dan logika; pasti akan menjadi ramai. Maka jangan bingung kalau ada humor, tapi orang akan tertawa kemudian, perlu waktu untuk tertawa, tergantung kemampuannya menerjemahkan bahasa dan logika yang didengarnya.
Tidak setiap orang yang suka humor menunjukkan orang itu humoris, tapi sudah pasti orang yang humoris itu memiliki banyak sisi-sisi humor pada dirinya. Demikian juga, seorang yang humoris sudah pasti dianggap sebagai orang yang jenius, tapi orang yang jenius belum tentu humoris. Mungkin kita pernah berpengalaman, ada teman yang dalam kesehariannya menjalani kehidupannya dengan sangat serius dan bila-bila waktu teman kita ini membuat sesuatu yang lucu, sudah pasti tidak ada yang tertawa bahkan orang tidak tahu kalau si teman kita ini sedang membuat lucu. Selucu apapun si teman kita ini, orang-orang pasti tidak terpancing, malah orang-orang menjadi bingung, kenapa si teman kita ini berdiri kaku tanpa berbicara apapun sambil matanya membelalak ke kiri dan ke kanan?
Terus apa hubungannya antara kopi dengan humor dan sufi? Tentu saja ada, sangat erat sekali hubungannnya. Kopi merupakan minuman kegemaran siapa saja; termasuk para sufi. Banyak sekali syair-syair para sufi yang menyanjung kopi. Bagi seorang sufi, kopi merupakan minuman yang dapat menstimulus dirinya dalam beribadah kepada Kekasihnya; Sang Khaliq. Dari segi spiritual, kopi sangat membantu pasa sufi dalam menempuh kedekatan dengan Sang Kekasih, bahkan bertahun-tahun sebelumnya, para sufi dari keturunan Rasulullah saw., sudah biasa menikmati kopi. Saking senangnya menikmati kopi, banyak syair dan puisi lahir dari mereka sebagai ungkapan cinta. Kopi sudah menjadi sebuah jalan atau perantaraan kepada Sang Kekasih agar para sufi menjadi lebih dekat bahkan untuk lebih giat dalam beribadah.
Dalam sebuah manuskrip tentang budaya Muslim abad ke-15 M, menerangkan bahwa kopi mulai dikenal dalam budaya umat Islam sekitar tahun 1400 M yang dibawa oleh masyarakat Yaman dari Ethiopia, sedangkan orang Ethiopia telah mengenal kopi sejak 800 SM. Dalam dunia Islam, kopi dikenal dengan sebutan al-Qahwah, berdasarkan cerita-ceritanya, dalam dunia Islam penikmat kopi di awali oleh kaum sufi, bagi kaum sufi kopi telah menstimulus mereka untuk tetap terjaga selama berzikir pada malam hari.
Minum kopi, dikarenakan perkembangan, lalu timbul istilah ngopi, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2023) adalah luluhan, yaitu berupa kalimat imbuhan yang tidak berbentuk suku kata yang ditambahkan atau dileburkan pada kata dasar ngopi yang pangkalnya adalah kopi. Maka ngopi adalah suatu aktivitas meminum kopi, boleh saja ada cemilan atau boleh juga disertai teman-teman atau bahkan sendirian saja. Tak dapat disangkal bahwa, ngopi sudah menjadi kegemaran semua orang, apakah kaum muda atau orang tua, apakah pelajar atau para karyawan kantor. Apakah atasan atau bawahan suatu institusi. Apakah kaum laki atau bahkan kaum perempuan. Sudah tidak ada batas lagi, semuanya melebur, bahkan di warung kopi sampai kita tidak mengenal lagi, asap yang mengepul tidak dapat dikenal lagi, entah itu dari tungku atau asap rokok.
Kita tidak perlu heran kalau di warung kopi atau di café-cafe kita menemukan sekelompok perempuan, yang dulunya perempuan dianggap tabu berkumpul di warung kopi, kini melebur bersama kaum laki-laki. Pemandangan ini boleh saja sudah menjadi suatu trend tersendiri. Ngopi sudah dianggap sebagai sebuah alasan untuk berkumpul, menghabiskan waktu bersama, atau sebagai alasan rileks. Kopi sudah menjadi simbol untuk dapat menyelesaikan banyak persoalan, dari persoalan agama, budaya, politik, pendidikan, ekonomi, percintaan dan sebagainya.
Ngopi sudah naik kelas. Dulunya dianggap sekedar sahabat istirahat sambil mendengar berita di radio transistor, kini malah sudah menjadi gaya hidup dan sebagai sebuah tradisi. Sebagai gaya hidup dapat dilihat bagaimana komunitas urban memproduksi citra tertentu yang dilakukan dalam bentuk aktivitas minum kopi. Sedangkan sebagai sebuah tradisi dapat dilihat dari cara dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, bagaimana mereka memaknai kopi yang telah menjadi bagian sangat melekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ngopi dapat dimaknai sebagai aktivitas bersifat spiritual, sebagaimana ngopi bagi komunitas sufi. Ngopi bagi seseorang atau oleh suatu komunitas telah mengantar menjadi suatu pengalaman transenden, yaitu kepada suatu bentuk spiritual atau religious.
Pengalaman transenden adalah suatu kejadian atau pengalaman tau keadaan pada saat-saat manusia melupakan keberadaan dirinya dalam waktu sesaat atau mengalami ketakjuban atas suatu keajaiban hidup yang dialaminya. Ketika manusia merasa kenikmatan kopi memuncak, dirinya telah melebur dalam nikmatnya kopi, yang seakan-akan manusia itu telah tiada, yang ada hanya nikmat kopi tiada tara. Pengalaman ini menjadikan manusia terbuka serta menerima misteri serta kehadiran Allah pada saat itu, lalu menyingkapkan makna hidup yang lebih. Pada saat nikmatnya atau pada saat rasa kopi yang memuncak. Di situlah bagi kaum sufi berdiwana bersama Kekasihnya, betapa kenikmatan yang dirasakan bersama kopi, menjadikannya melebur sambil memuji Kekasihnya dalam rindu dan cinta.
Siwi Tri Puji B, dalam tulisannya “Kopi dan Tradisi Sufi” di Harian Republika (29/11/2017) menjelaskan bahwa; sejak ulama sufi menyukai kopi, bahkan sampai memuji kopi dalam bait-bait syairnya. Syekh Hamzah bin Abdullah an-Nasyiriy al-Yamani (832-936 H) telah mengubah kurang lebih 80 bait syair yang secara khusus membahas tentang manfaat kopi. Di antara bait-bait tersebut, ada beberapa ulama ahli makrifah menukilnya;
Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta kepada-Nya
kopi telah membantuku mengusir kantuk
dengan pertolongan Allah
kopi telah menggiatkan aku taat beribadah kepada-Nya
Dikala orang-orang terlelap tidur
qohwah (kopi) huruf Qaf-nya adalah quut (makanan)
huruf Ha-nya adalah hudaa (petunjuk)
huruf Wawu-nya adalah wud (cinta)
dan huruf Ha-nya lagi adalah hiyam (pengusir kantuk)
janganlah kalian mencelaku karena aku meminumnya
sebab kopi adalah minuman orang-orang/junjungan yang mulia.
Terus, bagaimana dengan humor? Humor juga sangat erat dengan para sufi bahkan antara kopi dan humor tidak dapat dipisahkan. Ketika orang-orang kongkow di kedai kopi, warung kopi atau di café-café, hampir semuanya selalu menyertai humor dalam setiap canda tawanya. Humor terkadang menjadi media yang sangat ringan dan ampuh dalam setiap kesempatan, ketika orang-orang rileks di café-café misalnya. Bahkan humor dapat menjadi media kedekatan dan mempengaruhi orang-orang dalam setiap kesempatan pada sebuah komunitas dan humor juga dapat menjadi alat pada diri seseorang untuk dapat mengingat dan teringat kepada seseorang. Makanya ada istilah, apa gunanya minum kopi bersama teman-teman, kalau dari pagi hingga malam hari tanpa ada canda dan tawa?
Di dunia sufi (Iwan Marwan: 2015), humor menjadi media yang menyenangkan dan membahagiakan. Bagi sufi, humor dapat menjadi suatu media dalam menyampaikan suatu ajarannya. Humor sufi adalah humor yang banyak mengandung nasehat dan pesan moral. Humor sufi dilatarbelakangi oleh ajaran tasawuf. Tasawuf adalah intisari dari semua ajaran para Nabi dan Rasul, dengan jalan tasawuf inilah para Nabi dan Rasul memperoleh jalan kesempurnaannya. Kurang lebih Rasulullah Muhammad saw., 15 tahun melakukan suluk di goa hira, Jabal Nur, yang jaraknya dengan Masjidil Haram kurang lebih 7 kilometer. Ajaran tasawuf ini selanjutnya oleh Rasulullah mewariskan kepada para sahabat, para tabi’in dan seterusnya hingga sampai saat ini.
Dalam dunia sufi, kita mengenal Nasruddin Hoja dan Abu Nawas, sebenarnya masih banyal lagi, yang jalan hidup mereka sangat erat dengan kesufian. Dalam kisah-kisahnya, mereka adalah orang-orang cerdas, jenaka, nakal, aneh, bahkan tidak lepas juga dari ketololannya. Sesungguhnya, dalam kisah-kisah mereka itu punuh dengan kebijaksanaan, tidak lepas juga pesan-pesan moralnya, bahkan orang-orang yang membaca kisah-kisahnya menjadi paham, ada pesan dan hikmah dibalik apa yang diucap dan dilakukan oleh kedua tokoh itu. Dalam dunia ilmu pengetahuan kisah-kisah mereka malah menjadi khazanah keislaman tersendiri. Pesan-pesan mereka seperti menyentil kehidupan masyarakat yang tidak mengenal ruang dan waktu. Begitulah humor sufi, bagi kita yang membacanya seperti mengantar dan membawa kepada sebuah kesadaran dan kebenaran yang penuh kebijaksanaan. Aneh dan nakal, tapi mencerdaskan.
Humor-humor sufi itu, sebagian kecil atau besar, mungkin kita banyak mendengar ketika kita ngopi bersama kawan-kawan, atau kita sengaja menyempatkan sedikit waktu; sambil ngopi kita membaca humor-humor sufi itu. Membaca atau mendengar humor-humor sufi sambil minum kopi memiliki keasyikan dan kenikmatan tersendiri, apalagi sambil mendengar dan membaca humor sufi plus sebatang kretek; lebih asyik bukan?
Bagus sekali
Menginspirasi