Aku bangun setiap pagi tanpa tahu harus ke mana. Hari-hari berjalan seperti bayangan—ada, tapi hampa. Umurku 23 tahun, dan entah sejak kapan dunia terasa begitu asing. Kuliah belum selesai, pekerjaan hanya datang sesekali, dan tabungan? Bahkan kata itu terasa mewah untuk kusebut.
Dulu aku pikir waktu akan menunggu. Bahwa jika aku melambat, dunia akan melambat juga. Tapi ternyata waktu terus berjalan, dan aku tertinggal jauh di belakang. Tahun 2019 adalah simpang jalan yang kulewati tanpa benar-benar memilih arah. Aku terlalu santai, terlalu percaya besok selalu ada.
Saat pandemi datang, aku seolah diberi jeda. Dunia kacau, tapi entah mengapa hatiku tidak. Ada tawa di tengah kekacauan, ada kebebasan yang aneh saat semuanya berhenti. Tak ada tuntutan, tak ada perbandingan. Aku merasa hidup, justru ketika semuanya sekarat. Ironis, ya?
Lalu 2025 datang seperti kabut pekat. Aku terbangun dalam kesunyian yang berat. Teman-teman mulai melesat: lulus, bekerja, menikah, hidup. Sementara aku masih menatap langit-langit kamar, mencari arah yang bahkan tak lagi jelas.
Penyesalan datang bukan dalam bentuk tangisan, tapi dalam keheningan. Dalam detik-detik kosong yang menyelinap di sela hari. Aku sering menatap dinding dan bertanya, “Andai dulu aku lebih berani, lebih tekun, lebih peduli… apakah hidupku akan berbeda?” Tapi waktu tak bisa diminta ulang.
Aku iri pada diriku sendiri yang dulu—yang bisa tertawa tanpa beban, walau dunia sedang terbakar. Sekarang, aku punya terlalu banyak pertanyaan dan terlalu sedikit jawaban. Setiap malam rasanya seperti jatuh ke dalam jurang yang sama, lagi dan lagi.
Tapi anehnya, aku masih di sini. Meski terpuruk, aku belum benar-benar menyerah. Mungkin karena dalam luka yang kupikul, ada harapan kecil yang belum padam. Aku mulai menulis. Bukan untuk didengar, tapi untuk memahami diriku sendiri yang kacau ini.
Kadang, menulis satu kalimat saja sudah cukup untuk membuatku merasa hidup. Ada yang bergerak di dalam dada, meski hanya sedikit. Aku tahu ini belum cukup untuk mengubah segalanya, tapi setidaknya aku berhenti diam.
Aku tidak tahu ke mana langkah ini akan membawaku. Tapi jika aku bisa memilih satu hal sekarang, aku ingin memaafkan diriku yang dulu. Ia tidak sempurna, tidak tahu banyak, tapi ia sudah bertahan sejauh ini.
Dan mungkin, hari ini adalah awal dari sesuatu. Bukan awal yang hebat, bukan kisah yang langsung berubah bahagia. Tapi langkah kecil yang jujur. Dan untuk sekarang, itu cukup.
*Penulis: Mhd.Arifin
Leave a Review