Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)/Direktur Data & Informasi Eksekutif Nasional Rumah Tani Indonesia (RTI).
Sejak akhir Desember 2024 harga komoditas cabai mulai merangkak naik dan bahkan tembus di harga Rp 130.000/kg seperti di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Hal yang sama terjadi di Ngawi, Jawa Timur yang harganya sempat tembus Rp 120.000/kg.
Melambungnya harga ini bisa dikatakan sebagai “harga pedas” yang membuat pedagang bumbu dapur, usaha warung makan, dan konsumen menjerit. Kenaikan harga cabai memberatkan pedagang. Karena mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk membiayai produksi.
Menyetir Data Panel Harga Pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 11 Januari 2025 pukul 11.14 WIB harga rata-rata ditingkat produsen untuk cabai merah keriting sebesar Rp 34.360 dan cabai rawit merah Rp 45.300. Keduanya mengalami penurunan harga masing-masing 6,71% untuk cabai merah keriting dan 8,010% untuk cabai rawit merah dibandingkan sehari sebelumnya (10 Januari). Sementara di level pedagang eceran, harga cabai merah keriting sebesar Rp 50.360 dan cabai rawit merah Rp 73.600. Harga yang berlaku untuk cabai merah keriting tersebut menurun 1,81% jika dibandingkan tanggal 10 Januari. Sebaliknya harga cabai rawit merah naik 0,04% dibandingkan tanggal 10 Januari. Harga ini masih cukup tinggi dibandingkan sebelum bulan Desember 2024.
Pasokan yang seret terutama di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai sentra produksi cabai ditengarai menjadi sebab mahalnya harga cabai. Pemerintah mengakui jatuhnya produksi cabai karena La Nina sehingga banyak tanaman cabai terendam banjir. Menurut Bapanas, penurunan produksi karena banjir sekitar 60-70%.
Dari amatan penulis, La Nina juga membuat banyak daerah yang selama ini penghasil cabai tergenang satu–dua minggu karena lahannya tidak didesain dengan saluran pembuangan air, kemudian patah batang karena angin yang kencang, termasuk serangan hama. Terkhusus serangan hama bisa membuat penurunan produksi hingga 30% sebagaimana terjadi di Bali dan beberapa wilayah di Sumatera.
Kalaupun ada produksi, persoalan distribusi menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana menghadirkan ditribusi yang cepat dan merata dari sentra produksi ke daerah-daerah yang mengalami defisit. Hambatannya ada pada biaya logistik yang sangat mahal. Artinya petani atau pedagang harus mengeluarkan biaya tambahan ditengah ketidakpastian mutu cabai karena komoditas tersebut mudah dan cepat membusuk.
Kemungkinan harga cabai masih akan tinggi dan ini bisa terjadi sampai bulan puasa karena tingginya permintaan ditengah kondisi stok terbatas.
Gejolak pasokan dan harga cabai yang setiap tahun berulang mestinya dapat diantisipasi. Prognosa dari kementrian pertanian yang selalu penuh dengan optimisme karena diklaim surplus setiap tahunnya sekitar 5%. Paling penting adalah apakah didasarkan pada kebijakan program yang terukur, transparan dan akuntabel sehingga antara permintaan pasar dan produksi seimbang dan pelaku UMKM dan konsumen tidak lagi terbebani dengan harga cabai yang makin pedas.
Diperlukan program yang tepat dan tereksekusi sampai kelevel petani. Program yang selama ini digalakan pemerintah seperti program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) perlu diperluas sehingga cabai menjadi salah satu pilihan. Kemudian sudah saatnya Indonesia memiliki sistem budidaya cabai yang tahan cuaca dan/atau tidak terpengaruh cuaca. Pilihannya adalah sistem green house dengan konsekuensi biaya produksi lebih mahal. Paling realistis untuk mengerjakan ini adalah BUMN Pangan dan swasta.
Secara teknis budidaya, beberapa hal mesti diperhatikan diantaranya: pertama, membuat bedengan lebih tinggi untuk menghindari tanaman terendam air hujan. Penggunaan mulsa plastic juga akan sangat membantu menjaga kelembaban tetap stabil yang bermanfaat untuk mengurangi pertumbuhan jamur dan bakteri. Untuk lebih aman lagi maka drainase disekitar lahan pertanaman cabai juga harus diperhatikan untuk mempercepat aliran air keluar.
Kedua, pengaturan pH tanah mengingat baik atau tidaknya pertumbuhan cabai sangat dipengaruhi unsur ini. pH ideal untuk tanaman cabai antara 5,5 – 6,5.
Ketiga, penggunaan varietas yang toleran dengan curah hujan tinggi. Sebut saja varietas Ciko (Cabai keriting/cabai besar), Kencana,dan Rabani Agrihorti (Cabai rawit).
Keempat, jarak tanam cabai ketika musim hujan minimal 50 cm sampai 75 cm. Hal ini bertujuan agar sirkulasi udara menjadi lancar serta cahaya matahari lebih merata ke dasar dan sela-sela tanaman. Selain itu, jika jarak tanaman renggang akan meminimalisir penularan penyakit antar tanaman.
Kelima, pemupukan yang tepat (berimbang). hindarilah pupuk seperti ZA dan Urea. Gunakanlah pupuk NPK 15-15-15 sebagai pupuk dasar lalu ditambah dengan pupuk SP-36 dan KCL. Khusus untuk Nitrogen harus hati-hati sebab kandungan Nitrogen berlebihan dan tanaman tidak mampu menyerap semua unsur Nitrogen yang diberikan, maka akan menyuburkan pathogen.
Keenam, memantau perkembangan organisme penganggu tanaman. Dimaksudkan untuk mengantisipasi ledakan populasi hama dan penyakit yang dampaknya sangat luar biasa terhadap penurunan produksi.
Leave a Review