Oleh: DANU ABIAN LATIF
PENULIS BUKU OPINI NAKAL UNTUK INDONESIA
“Negara kita adalah negara demokrasi. Kedaulatan berada di tangan rakyat.” Begitulah bunyi Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945. Namun, di tengah hiruk-pikuk politik kegelapan, prinsip luhur itu seolah kehilangan makna. Revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan menjadi bukti bahwa suara rakyat bukan lagi pusat kebijakan, melainkan pengganggu proses formal kekuasaan.
Pada 20 Maret 2025, DPR RI resmi mengesahkan revisi UU TNI. Di antara perubahan kontroversialnya, pasal yang memungkinkan perwira militer aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun menjadi sorotan utama. Dengan dalih efektivitas birokrasi dan ancaman non-tradisional, militer kini bisa menempati posisi di Kejaksaan, Kementerian, hingga BNN. Sebuah kemunduran yang mengingatkan kita pada zaman dwifungsi ABRI di era Orde Baru.
Namun yang lebih mencengangkan bukan sekadar isi undang-undangnya. Proses pengesahan dan sikap para pembuat kebijakan terhadap kritik publik justru jauh lebih memprihatinkan. Masyarakat sipil, mahasiswa, dan LSM kelompok yang selama ini berperan menjaga nafas demokrasi justru dianggap “tidak berhak” mengkritik produk hukum negara.
Beberapa anggota DPR bahkan menyatakan bahwa rakyat sebaiknya tidak ikut campur karena tidak memahami kompleksitas persoalan militer. Sejumlah aksi mahasiswa dibubarkan, aktivis diintimidasi, bahkan kelompok masyarakat yang mencoba masuk ke dalam ruang Panitia Kerja UU di Hotel Fairmont Jakarta diusir, dan sebagian dilaporkan ke polisi.
Ironis. Di negara yang konstitusinya menjamin kebebasan berpendapat, mengapa rakyat tidak boleh menyampaikan pendapat? Bukankah dalam demokrasi, keputusan tertinggi di tangan rakyat? Bukankah para legislator itu hanya pelayan mandat rakyat? Jika rakyat tidak boleh mengkritik, lalu untuk siapa hukum itu dibuat?
Para pendukung revisi UU TNI berdalih bahwa perluasan peran militer ke sipil bertujuan meningkatkan efisiensi dan menghadapi ancaman hibrida. Namun, narasi ini tidak menjawab kekhawatiran utama, apakah militer yang aktif, tanpa netralitas, bisa benar-benar menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan?
Lebih jauh lagi, logika dasar demokrasi kita runtuh jika rakyat tidak diberi ruang untuk menyampaikan keberatannya. Kita bukan sedang memperdebatkan hak teknis militer, tapi hak politik rakyat untuk terlibat dalam keputusan negara.
Rapat panjang revisi UU TNI dilakukan bukan di Gedung DPR seperti lazimnya, tapi di sebuah hotel mewah. Dalam masa reses. Dengan draf hanya 28 halaman dan lampiran referensi tak lebih dari satu halaman.
Ini bukan hanya tidak transparan, tapi juga menyalahi semangat partisipasi publik. Koalisi masyarakat sipil yang datang meminta klarifikasi bukan diberi ruang dialog, tapi dilabel sebagai pengacau dan dilaporkan ke pihak berwajib.
Tentu, tak bisa disangkal, TNI adalah salah satu institusi paling dipercaya masyarakat. Namun, kepercayaan tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapus batas antara sipil dan militer. Militer harus tetap profesional di baraknya bukan justru menguasai jabatan sipil, apalagi tanpa proses pensiun.
Revisi ini bukan sekadar administrasi. Ini adalah perubahan arah politik dan struktur negara. Bila dulu kita bangga atas reformasi 1998 yang berhasil menghapus dwifungsi ABRI, hari ini kita menyaksikan kembalinya skema lama dalam kemasan baru.
Mahasiswa yang mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas UU TNI mengaku mendapat teror. Ada yang dilacak keberadaannya, ada yang dibuntuti, bahkan kantor media seperti Tempo dikirimi kepala babi. Ancaman-ancaman ini menegaskan satu hal: kebebasan sipil sedang dalam ancaman serius.
Kebebasan untuk mengkritik dan menyampaikan pendapat bukan “opsi”, tapi fondasi negara hukum. Tanpa itu, Indonesia bukan demokrasi melainkan hanya proseduralisme semu. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki dua peran utama: memilih dan mengawasi. Namun kini, rakyat dibatasi hanya boleh memilih, tanpa boleh mengkritik. Seakan proses legislasi adalah urusan elit, bukan urusan publik.
Ketika rakyat dianggap “tidak layak” untuk bicara, ketika mahasiswa dianggap “mengganggu ketertiban umum”, dan ketika LSM disebut “merusak tatanan”, maka demokrasi kita tengah digerogoti dari dalam. Revisi UU TNI bukan sekadar persoalan militer duduk di jabatan sipil. Ia adalah gambaran bagaimana demokrasi Indonesia sedang mengalami pembusukan secara perlahan.
Rakyat yang menjadi sumber kekuasaan kini dikucilkan dari pengambilan keputusan. Mahasiswa dan LSM yang selama ini menjadi garda sipil justru diposisikan sebagai ancaman. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke masa kelam di mana kekuasaan tak lagi dikontrol rakyat, tapi dipertahankan oleh otoritas, senjata, dan kekuatan hukum yang dikuasai elit.
“Kritik bukan bentuk pengkhianatan. Ia adalah bentuk cinta pada negeri. Bila rakyat tidak boleh bersuara, maka siapa yang akan menjamin demokrasi akan tetap hidup.”
Leave a Review