Benang Kusut Industri Sawit

Penulis Muhammad Irvan Mahmud Asia Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)

Industri sawit di Indonesia menyisakan berbagai persoalan pelik. Membentang dari level kebijakan dan kelembagaan, hingga praktik dilapangan, menjadikannya seperti benang kusut yang saling bertautan.

Dari kebun illegal, tumpang tindih izin lahan dengan kawasan hutan, konflik lahan yang melibatkan swasta atau negara dengan warga sekitar dan masyarakat adat, tekanan internasional bahwa sawit Indonesia merusak lingkungan, produktivitas kebun rendah, petani swadaya yang rentan (belum mendapatkan perlindungan optimal). Minimnya transparansi data menjadi ikhwal permulaan korupsi di sektor sawit yang melibatkan oknum eksekutif, legislative, dan penegak hukum. Di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit yang mengabaikan kelestarian lingkungan menimbulkan berbagai dampak ekologis.

Pemerintah menyebut terdapat 3,3 juta ha kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Contoh, lebih dari 65 ribu ha hutan Taman Nasional Tesso Nilo di Pelelawan, Provinsi Riau berubah fungsi menjadi kebun sawit dari luas total 81,7 ribu ha. Namun demikian, masalah tersebut bukan saja aspek hukum. Akibat dari statusnya yang tidak pasti, berdampak pada akses yang terbatas: tidak mendapatkan pembiayaan dari Bank Himbara, kemitraan, dan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) serta keberlanjutan industri. Ketiadaan satu peta data dan kebijakan membuat konflik lahan terus berlangsung.

Selama puluhan tahun berbagai persoalan tersebut dibiarkan. Kementrian/Lembaga terkait: Kementrian Pertanian, Kementrian ATR/BPN, Kementrian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, serta pemerintah daerah, tidak terkordinasi, tidak satu visi yang sama. Hal serupa terjadi di hilir, Kementrian Pertanian, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak bersinergi dengan optimal.

Dalam upaya menyelesaikan tumpang tindih di kawasan hutan, presiden Prabowo telah mengeluarkan Perpres No 5 Tahun 2025 tentang Penerbitan Kawasan Hutan. Penerbitan dimaksudkan sebagai bentuk perbaikan tata kelola kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan dan optimalisasi penerimaan negara yang dilakukan dengan penagihan denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan/atau pemulihan aset di kawasan hutan. Hingga April 2025, PT Agrinas Palma total akan mengelola lahan 485,8 ribu ha yang didapatkan dari penerbitan kawasan hutan. Jumlah ini masih akan terus bertambah mengingat Satgas masih terus bekerja dilapangan.

Dalam konteks produk sawit yang mendapatkan hambatan di pasar internasional, khususnya datang dari Uni Eropa yang menerapkan hambatan tariff dan non-tariff telah merugikan petani. Harga CPO (Crude Palm Oil) lebih rendah dan sulit mendapatkan sertfikasi keberlanjutan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

Industri sawit bukan semata soal uang, atau bagi pemerintah sekedar sub sektor yang menyumbang bagi devisa negara. Terdapat dimensi lingkungan dan sosial yang harus dijaga. Dengan pendekatan ekonomi hijau, industri sawit tetap berjalan, bahkan memberikan kesejahteraan yang lebih baik dan merata.

Produktivitas sawit Indonesia juga kalah dari Malaysia. Negeri jiran itu menghasilkan 4,56 ton CPO per ha per tahun sedangkan rata-rata produktivitas sawit Indonesia sekitar 3,8 ton CPO per ha per tahun. Indonesia kalah karena benih sawit yang digunakan petani swadaya tidak berkualitas, sekitar 70% petani Indonesia menggunakan benih tidak bersertifikat. Faktor lain adalah peremajaan (replanting) yang lambat. Dari potensi 6 juta ha kebun rakyat, baru 100 ribu ha per tahun yang diremajakan.

Padahal Indonesia adalah negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Data CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries) pada tahun 2024 mencatat total produksi sawit Indonesia sebesar 45,5 juta ton, diikuti Malaysia 19,34 juta ton, dan gabungan negara-negara lain yang totalnya mencapai 14,41 juta ton.

Sementara para petani swadaya juga terpinggirkan. Dengan total luas kebun sawit nasional dikelola petani kecil (40%) tetapi posisi mereka dalam rantai nilai sangat lemah: menggunakan bibit asal asalan, minim teknologi, akses pembiayaan terbatas, begitupual dengan akses pasar.

Para petani terjebak dalam kemitraan yang tidak adil. Perusahaan besar sering memegang kendali penuh atas harga, pasokan pupuk, dan distribusi. Tanpa intervensi serius untuk memperbaiki tata kelola kemitraan, petani kecil akan terus menjadi pihak paling rentan.

Lemahnya transparansi data seperti izin yang tidak terpublikasi, data produksi dan ekspor menjadi celah pemalsuan laporan pajak, bahkan ada kasus yang beneficial ownership tidak diketahui dengan pasti menyulitkan pelacakan konflik kepentingan, dan banyak modus praktik lainnya.

Fenomena ini berdampak langsung pada maraknya korupsi di sektor persawitan yang nilainya sangat fantastis. Contoh kasus terpampang dalam pemberian fasilitas ekspor CPO kepada lima korporasi dalam Wilmar Group yang telah merugikan negara Rp 11,8 triliun. Atau kasus suap yang melibatkan PT Duta Palma Group memberikan gambaran bagaimana pemberian izin lahan di Riau dilakukan tanpa verifikasi yang prudent karena ada permainan uang dibalik prosesnya.

Padahal sektor ini jika dikelola dengan bersih akan memberikan manfaat yang besar. Mengutip Yeka Hendra Fatika Anggota Ombudsman RI menyebut bahwa pengelolaan sawit yang akuntabel dan menyeluruh akan menyumbang tambahan pendapatan negara hingga Rp 650 triliun. Potensi tersebut berasal dari peningkatan produktivitas kebun rakyat, harga ekspor CPO yang lebih tinggi karena terlepas dari isu deforestasi, serta tambahan pajak dari sektor sawit.

Dengan keberadaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang baru saja dilantik oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (16/6/2025), melambungkan harapan pengelolaan dana perkebunan (sawit, kakao, kelapa) yang dihimpun dari pelaku usaha, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah dapat menjadikan industri sawit semakin berkelanjutan.

Dalam Perpres No 132 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan, tepatnya pasal 11 ayat (1) bahwa dana yang dihimpun oleh BPDP digunakan untuk kepentingan: pengembangan SDM perkebunan, penelitian dan pengembangan, promosi, peremajaan, serta sarana dan prasarana perkebunan.

 

Kita berharap, keberadaan BPDP akan semakin memperkuat industri sawit Indonesia terutama untuk kebutuhan pangan, energy, dan hilirisasi industri perkebunan. Sebagai informasi, Malaysia yang punya lahan sawit lebih kecil dari Indonesia sudah lama punya MPOB (Malaysia Palm Oil Board) yang mengatur industri mereka secara terintegrasi sehingga harga TBS (Tandan Buah Segar) mereka lebih tinggi dan stabil.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi