Aceh Leuser Antara (ALA) Tidak Boleh Mati

Ilustrasi Peta Pemekaran Provinsi ALA. Foto: (kompasiana.com)

Editorial 09 Januari 2024

Memang menyuarakan pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) untuk kesejahteraan tidak bijaksana dilakukan saat musim kontestasi politik saja. Jauh dari itu, ALA mesti dijadikan spirit juang kolektif bagi wilayah-wilayah yang telah mendeklarasikan diri sejak 04 Desember2005 (Jika wilayah lain di Aceh tidak berminat).

Kini, di awal tahun 2024 yang bertepatan dengan momentum politik 2024 harus terus dibuka ruang gerak kembali terkait strategi politik perjuangan agar Provinsi ALA dapat menjadi kenyataan. Tentu tujuan utamanya adalah untuk akselerasi kesejahteraan dan pembagunan di Aceh sekitar. Menganggap ALA hanya sekedar narasi politik musiman merupakan sebuah kekeliruan dan pandangan politik yang sempit. Karena generasi muda Aceh saat ini mesti terus dididik bahwa tujuan pemekaran ALA bukanlan semata-mata terkait ego sektoral atau kepentinggan beberapa elite politik tertentu. Justru tujuan mulianya adalah mempercepat kesejahteraan dan mempercepat pemerataan pembangunan sebagai akibat politik sentralistik di Pemerintahan Aceh.

Mencermati kinerja pemerintahan Aceh saat ini memang memprihatinkan. Misalnya praktik asyik bertengkar antara Gubernur Aceh atau PJ. Gubernur Aceh dengan DPRA. Belum lagi soal APBA cenderung SiLPA, menjadikan ALA tidak boleh dimatikan gerakan politik kerakyatannya. Dalam pandagan ketimpangan politik akibat keterbatasan jarak tempuh hingga tidak adanya pemerataan pembangunan se-Aceh menjadikan ALA ini tidak boleh dijadikan agenda perjuangan musiman.

Titik poin perjuangan ini tentunya bercermin dari apa yang sedang dialami oleh calon kabupatan dalam Provinsi ALA (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Singkil dan Bener Meriah). Perhatikan saja potret pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), insfrastruktur hingga daya beli masyarakatnya yang tidak berbanding lurus dengan wilayah Banda Aceh sekitar.

Belum lagi soal seberapa efektifnya jumlah kucuran APBA yang mengalir pada kabupaten yang sedang diperjuangkan menjadi ALA tersebut. Jika di tahun 2005 ALA tidak dapat berjalan mulus karena “menunggu” keberpihakan politik sentralistik di Aceh, justru di tahun 2024 ini belum juga nampak “hi“al” terkait adanya keinginan politik kolektif untuk menjadikan ALA mendekati cita-citanya. Kenyataan ini memang tersirat bahwa di Aceh memang belum ada niat baik untuk memekarkan Provinsi Aceh dengan tujuan untuk mempercepat kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Aceh.

Terlebih lagi jalan juang pemekaran ALA ini tidak dimotori melalui gertakan politik “minta pisah dengan NKRI”. Justru yang sebaliknya yang terjadi, yaitu untuk mengurangi beban komplit yang dialami oleh Pemerintahan Aceh hari ini. Kenyataan Aceh yang selalu diranking terbaik soal kemiskinan di Indonesia sejatinya dapat membuka kesadaran oleh semua pemangku kebijakan yang mengelola Aceh hari ini, apakah itu yang berada di singgasana daerah maupun di pusat.

Untuk mendapat jalan karpet terbentuknya Provinsi ALA memang tidak semudah memesan pisang goreng di pinggir jalan. Melainkan rakyat dan generasi muda di seluruh Aceh, terutama di wilayah ALA mesti terus ditumbuhkan kesadaran kolektif dan kolaboratifnya untuk memahami secara rasional (bukan sentimen) terkait tujuan mulia terbentuknya Provinsi ALA tersebut.

Mengingat para pelopor ALA terus mengalami keterbatasan gerak, isunya juga semakin memudar, hingga ditambah bahwa ada potensi generasi milenial di Aceh hari ini tidak begitu tertarik dengan isu politik kerakyatan ALA atau ABAS. Sejatinya, dengan memandang “remeh” Provinsi ALA sebagai strategi mempercepat akselerasi kesejahteraan masyarakat, sama artinya Pemerintahan Aceh sedang mengelola politik prokratis secara timpang. Sehingga lupa pada tujuan untuk mempercepat kesejahteraan di seluruh wilayah di Aceh.

Tantangan politik yang dihadang oleh para pejuang ALA ini bukan saja karena faktor “tidak kompak”nya elite politik di Aceh, melainkan juga terendus adanya “ketidakrelaan politik” oleh poros politik tertentu yang dianggap telah “nyaman” mendominasi dalam percaturan politik di Aceh.

Jika masih beranggapan bahwa Pemerintahan Aceh hari ini akan mampu mewujudkan kesejahteraan Aceh secara merata dan konret, maka jawabannya sampai tahun berapa seluruh rakyat Aceh mendapat pemerataan APBA? Apakah semangat ALA ini mesti terus “digantung” seperti jarak dari 2005 hingga 2024 lagi? Atau hanya menjadikan isu ALA sebagai narasi mainan politik yang tak jelas tujuannya?

Sungguh generasi Aceh hari ini mesti terus didorong kesadaran politik kerakyatannya agar tidak terjebak pada praktik korban politik sentralistik level daerah. Sampai tahap ini, masih adakah generasi Aceh yang masih berfikir bahwa Pemerintahan Aceh akan mampu mensejahterakan seluruh rakyat Aceh tanpa pemekaran? Sungguh jawabannya sangat menentukan nasib rakyat ke depan. (Zulfata)

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi