Tantangan Keberlanjutan Industri Sawit Nasional

Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)/Ketua Bid. Pertanian & Ketahanan Pangan DPP Asosiasi Lembaga Peningkatan Kapasitas SDM Indonesia (ALPEKSI).

Kelapa sawit menyumbang sekitar 42% dari total supply minyak nabati dunia dengan market share Indonesia (bersama Malaysia) sekitar 60% dari market share produsen Crude Palm Oil (CPO) dunia. Data Kemenko Perekonomian per Oktober 2024, total nilai ekspor produk sawit Indonesia mencapai 40 miliar US$ atau 14,2% total ekspor nonmigas Indonesia.

Industri sawit menyerap tenaga kerja langsung sebesar 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja tidak langsung. Sementara kontribusi pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perkebunan tetap positif, kuartal III 2024 sebesar 1,69%. Sawit juga berkontribusi pada ketahanan energi melalui program mandatori Biodisel 35% (B35) dan terhitung 1 Januari 2025 mulai diterapkan B40 dengan tujuan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil.

Industri sawit di Indonesia harus dijaga keberlanjutannya baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Namun demikian, keberlanjutan industri ini diperhadapkan dengan berbagai tantangan yang multidimensional.

Pertama, dampak perubahan iklim seperti kenaikan suhu membuat lahan yang dulunya cocok ditanami sawit menjadi tidak sesuai dan sebaliknya. Hal ini mendorong terjadinya ekspansi sawit ke dataran tinggi. Sedangkan pergeseran puncak hujan berdampak pada pergeseran puncak produksi.

Singkatnya kegiatan kultur teknis sawit terganggu.
Ini menuntut pelaku usaha sawit, terutama petani swadaya untuk berpikir lebih inovatif. Inovasi di level mitigasi dan adaptasi iklim dibutuhkan. Misalnya pemilihan tanaman sawit yang tahan kekeringan atau toleran terhadap penyakit. Kemudian, monitoring iklim. Pemanfaatan automatic weather station dalam mengamati unsur iklim (curah hujan, suhu udara, arah dan kecepatan angin dll); membangun sistem monitoring iklim berbasis IoT sebagai piranti stasiun deteksi iklim otomatis. Manfaatnya adalah memberikan notifikasi kepada pengguna jika terjadi iklim ekstrim.

Inovasi lain adalah pada sisi konservasi air, tanah, hara. Misalnya membuat guludan dan embung guna menjaga kelembaban tanah lebih lama pada waktu kekeringan ekstrim. Kemudian praktik membuka areal lahan tidak dengan membakar, pengendalian hama dengan kontrol biologi untuk meminimalkan penggunaan bahan kimia. Terkhusus intensifikasi lahan dapat ditempuh dengan optimalisasi lahan existing, meningkatkan C-organik tanah dan berbagai inovasi lain berbiaya rendah.

Kedua, tantangan memaksimalkan produksi pada lahan marginal. Pemanfaatan lahan eks tambang, lahan gambut, berpasir, rendahan (tergenang alami atau curah hujan yang tinggi, pH tanah <4, penurunan hara makro, penyerapan N terhambat dll) harus dikedepankan dibandingkan membuka lahan baru dengan membabat hutan.

Inovasi perbaikan tanah bekas tambang cukup beragam, seperti menggunakan biochar dari tandan kosong kelapa sawit, mencampurkan tanah bekas tambang dengan kompos, memanfaatkan mikroorganisme, dan sebagainya.

Sedangkan lahan gambut dimulai dengan memastikan tingkat kematangan gambut dan kesuburannya, kemudian pengelolaan air untuk membuang asam yang berlebih kemudian penanamannya dilakukan miring searah, dan berbagai tindakan lainnya.

Untuk tanah berpasir dapat dilakukan penggunaan pupuk organik yang ditimbun pada lubang tanam, perbaikan drainase, dan berbagai input lain. Kemudian areal rendahan yang tergenang dikerjakan dengan titik tanam yang ditinggikan disusul pembuatan tanggul. Sementara pH tanah dan hara makro ditempuh dengan pemupukan secara pocket dan sebagainya.

Singkatnya baik perubahan iklim maupun lahan marginal memerlukan pengelolaan yang inklusif dan tepat agar sawit dapat berproduksi maksimal dan berkelanjutan. Ini akan membantu mengerek produksi CPO dari saat ini 50 juta ton/tahun menjadi 100 juta ton pada tahun 2045.

Dalam spektrum yang lebih luas, untuk memastikan perkebunan sawit membawa manfaat sebesar-besarnya, berbagai persoalan lain juga harus diselesaikan secara tepat.

Pertama, hak dan status tanah sebagai pra syarat perizinan. Temuan Ombudsman RI semakin memperkuat dimana terdapat 3,22 juta ha lahan yang tumpang tindih antara perkebunan sawit dan kawasan hutan serta antara perkebunan sawit dan 3.235 subyek hukum. Dengan cakupan 2.172 perusahaan kelapa sawit dan 1.063 koperasi atau kelompok tani sawit rakyat. Dampaknya tentu sengketa atau konflik status kepemilikan lahan, berdampak pada pemenuhan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan-ISPO dan lebih miris lagi menghambat upaya percepatan program peremajaan sawit rakyat. Celakanya penegakan hukumnya sangat lemah, rule of law kalah dengan sistem kekuasaan.

Kedua, korupsi dimana penghindaran pajak dan manipulasi data perdagangan. Dari sisi korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyebutkan belum ada desain tata kelola sawit yang terintegrasi antara K/L terkait dengan pemerintah daerah. Belum lagi regulatory state capture bagaimana pemberian izin kepada korporasi dilakukan dengan cara intervensi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mempermudah perizinan. Kemudian ada patron politik dan politically exposed persons dimana individu yang menduduki jabatan komisaris ataupun direksi korporasi sawit dapat memanfaatkan jabatannya untuk melakukan praktik revolving door dan seterusnya.

Sementara penghindaran pajak telah membuat negara kehilangan penerimaan puluhan triliun/tahun. Rata-rata Rp 22,83 triliun setiap tahunnya raip akibat penghindaran, penggelapan dan manipulasi pajak oleh pengusaha yang melaporkan luasan lahan kebunnya dengan jujur.

Ketiga, manipulasi data perdagangan dimana praktik kebocoran perdagangan dengan cara manipulasi pelaporan nilai ekspor sehingga nilai barang yang diekspor lebih kecil. Dampaknya pungutan ekspor yan diterima pemerintah menjadi lebih sedikit. Sebagai contoh, data statistik perdagangan minyak sawit (CPO-HS Code 151110) yang dikirim dari Indonesia ke China pada tahun 2019, nilai ekspor yang dilaporkan Indonesia sebesar US$ 5.864.540, sedangkan nilai impor yang dilaporkan China US$ 8.279.386. Berlanjut tahun 2020, nilai ekspor yang dilaporkan Indonesia sebesar US$ 1.961.298, sedangkan nilai impor yang dilaporkan China US$2.303.994.

Singkatnya dibutuhkan komitmen untuk perlindungan hutan alam, termasuk dalam konsesi, menghadirkan kebijakan/regulasi persawitan yang kredibel dan memastikan implementasinya, sejauh mana komitmen korporasi untuk taat aturan terutama pajak dan terakhir merangsang investasi dan pasar sawit yang sehat.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi