Oleh Ahmad Yusuf, Presiden Mahasiswa Universitas Serambi Mekah (USM)
Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan majemuk, menghadapi tantangan serius dalam sektor pendidikan tinggi. Salah satu isu yang meresahkan adalah munculnya istilah “mafia kampus”. Fenomena ini mencerminkan praktek-praktek tidak etis dan korup yang menggerogoti integritas institusi pendidikan. Muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang berada di balik mafia kampus ini?
Praktik fraud (tipuan) dalam proses penerimaan mahasiswa baru, kenaikan pangkat dosen, hingga pengadaan barang dan jasa di kampus menjadi rahasia umum. Nepotisme pun merajalela, di mana posisi-posisi strategis sering kali diisi oleh individu-individu yang memiliki hubungan dekat dengan pihak berwenang, bukan berdasarkan kompetensi. Para pelaku ini biasanya memiliki jaringan dan relasi kuat di dalam dan di luar kampus, termasuk birokrat dan politisi yang memanfaatkan kekuasaan mereka.
Sistem pengawasan di perguruan tinggi pun sering kali tidak berjalan efektif. Badan-badan pengawas internal seperti senat akademik dan komite etika sering kali tidak berdaya atau bahkan terlibat dalam praktik korup ini. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas memungkinkan para mafia kampus untuk melancarkan aksi mereka tanpa takut sedikitpun.
Persoalan lainnya datang dari banyaknya perguruan tinggi yang bergantung pada dana dari pihak ketiga, baik dari pemerintah maupun swasta. Ketergantungan ini sering kali membuka celah bagi para mafia biadab, di mana pengelolaan dana tidak dilakukan dengan transparan. Para pelaku korupsi memanfaatkan kelemahan ini untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Di sisi yang sama, pendidikan etika dan moral di kalangan akademisi dan mahasiswa sering kali diabaikan. Pembiaran inilah yang menciptakan lingkungan di mana praktik-praktik tidak etis dianggap sebagai perlakuan biasa. Sebagaimana kita ketahui, tanpa pendidikan etika yang kuat, kampus menjadi lahan subur bagi tumbuhnya mafia pendidikan.
Yang lebih miris lagi, tekanan ekonomi dan sosial juga turut menyumbang pada munculnya para mafia kampus. Dosen dan staf yang gajinya tidak mencukupi sering kali tergoda untuk menerima suap atau bahkan melakukan praktik fraud lainnya. Problem lain muncul ketika tingginya tuntutan dan tekanan untuk mencapai prestasi akademik juga mendorong mahasiswa dan dosen untuk mencari jalan pintas melalui cara-cara yang tidak etis, seperti melumrahkan sogokan.
Kehadiran mafia kampus memiliki dampak negatif yang berdampak luas, mulai dari penurunan kualitas pendidikan hingga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan tinggi, khususnya PTS. Mahasiswa dan dosen yang jujur dan berkompeten menjadi korban utama, di mana kesempatan mereka terhambat oleh sistem yang korup terstruktur.
Untuk mengatasi penyakit ini, langkah-langkah konkret harus secepatnya dilakukan dengan memperkuat badan pengawas internal dan eksternal dengan memberikan kewenangan lebih serta memastikan independensi mereka, memperkuat sistem yang transparan dan akuntabel dalam semua proses akademik dan administratif kampus, Integrasikan pendidikan etika dan moral dalam kurikulum pendidikan tinggi untuk membentuk karakter yang kuat, meningkatkan kesejahteraan dosen dan staf juga menjadi solusi yang wajib dilakukan untuk mengurangi adanya godaan-godaan untuk melakukan praktik fraud.
Mafia kampus adalah ancaman serius dan harus dibasmi demi masa depan pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya Aceh. Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan adanya komitmen bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat. Dengan melakukan reformasi secara menyeluruh dan membangun sistem yang transparan dan akuntabel, kita dapat memberantas mafia kampus dan mengembalikan integritas dunia pendidikan di Indonesia khususnya di Aceh dengan cara yang serius dan tepat.
Dalam mengatasi persoalan ini diharapkan adanya keseriusan dari pemerintah untuk harus memastikan bahwa regulasi dan kebijakan terkait pengelolaan pendidikan tinggi diperbarui dan diterapkan secara relevan dan konsisten. Kolaborasi antar berbagai lembaga pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan institusi pendidikan juga dapat memperkuat fungsi pengawasan dan penindakan terhadap praktik-praktik fraud.
Selain itu, peranan publik juga menjadi salah satu faktor dalam penyembuhan dan pemberantasan para mafia kampus ini, media massa dan masyarakat sangat berperan penting dalam mengawasi dan melaporkan jika adanya temuan indikasi fraud di kampus-kampus. Adanya transparansi dan partisipasi aktif dari semua elemen, diharapkan para mafia kampus dapat diberantas secara efektif dan tuntas, dengan adanya upaya ini, percayalah integritas pendidikan tinggi khususnya PTS akan dapat dipulihkan dan bahkan bisa mendorong tercapainya cita-cita besar kita yaitu Indonesia era keemasan 2024.
Leave a Review