Oleh Farma Andiansyah, S.E., M.E. Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara
Kontestasi pilpres dan pileg baru saja usai digelar, meskipun prosesnya masih menuggu konfirmasi atau penyelesaian sengketa pemilu oleh MK setidaknya jika belajar dari beberapa pemilu lalu putusan MK tidak akan merubah hasil pemilu terkhusus pemilihan presiden. Berarti sudah berkemaslah presiden terpilih beserta koloninya untuk masuk ke gerbang istana.
Meskipun pelantikan presiden wakil presiden itu digelar tanggal 20 Oktober 2024, aroma bonceng membonceng, titip menitip, sikut menyikut sudah menjadi suatu keniscayaan. Karena mungkin ssebagai buah politik balas budi atas perjuangan pemengan pra pilpres kemarin. Selain reword bagi TIM SUkses, tentu saja ada Punisment bagi lawan politik. Kita masih menunggu apakah sederet jabatan mentri yang dipimpin oleh lawan politik akan tersingkir dari istana atau mungkin akan berakhir di jeruji.
Konsekuensi politik itu memang kejam, politik itu seolah harus hitam dan putih jika kau tidak putih berarti kau adalah hitam tidak ada jalan tengah. Pendapat seperti ini, kadang ada benarnya karena jurus politik dua kaki hanya dimiliki oleh elits minoritas saja, dan itu juga tidak semua elits bisa dengan lihai memainkan peranya.
Semakin tua sistem demokrasi kita saat ini, para elit politik kita seolah menyandra seluruh stake holder bangsa ini, mulai dari presiden sampai kepala desa untuk ikut dalam game yang namanya pemilu. Meskipun metode yang dilakukan berbeda-beda namun pelibatan tokoh-tokoh yang semestinya secara etik menyalahi kodrat sosial sudah menjadi tontonan kita akhir ahkir ini. Para tokoh adat tokoh agama yang pada hakikatnya membawa nilai kedamaian tapi karena fregmentasi politik kehilangan otoritas sosialnya ditengah kelompoknya.
Sistem saat ini memang sudah menyandra kita semua, seolah tidak ada lagi suatu pekerjaan yang berdiri tegak atas profesionalismenya melainkan seluruh sektor lapngan pekerjaan bahkan mungkin setingkat imam mungkim sekalipun dipaksa untuk punya apiliasi politik tertentu. Politik memang seolah tidak ada jalan tengah, politik seolah tidak memberikan tempat bagi seorang guru yang hanya punya ilmu dan keiklasan mengajar hanya untuk mengabdikan hidupnya, politik seolah tidak menyediakan tempat bagi para anggota organisasi nelayan untuk bisa hidup damai sejahtera tanpa harus mendapatkan di khawatirkan atas preferensi politiknya.
Semestinya seiring dengan bertambah dewasanya usia demokrasi kita, bertambah dewasa pulalah sikap para elit kita untuk menyikapi politik itu sendiri. Jangan dikarenakan tidak menjadi tim pemengan lantas menjadi alasan untuk memberikan sanksi bagi para pekerja buruh, jangan dikarenakan tidak memakai kaos kampanye lantas mencabut keanggotaan dari daftar penerima subsidi, jangan lantas dikarenakan tidak ikut berkampanye lantas diberhentikan dari pekerjaan. Politik itu semestinya membahagiakan bukan menjadi alat kekuasaan untuk menghantam orang-orang yang memilih jalan tengah.
Leave a Review