Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
Apakah gerakan politik pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) telah kandas? Jawabannya mungkin saja kandas dan mungkin tidak. Namun demikian, observasi dan jejak pendapat yang dilakukan tim riset media Katacyber.com di wilayah ALA seperti di daerah Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil ditemukan bahwa keinginan untuk menyuarakan dan mewujdukan Provinsi ALA masih ada. Paling tidak dari hasil observasi dan jejak pendapat terkait ALA ini masih menyisakan benang kusut bagi provinsi ALA bahwa ALA masih menjadi harapan kolektif-generasi dari beberapa belahan wilayah rakyat Aceh saat ini.
Berbeda dengan ALA bagaikan gerak arus di dasar lautan, posisi gerakan politik Aceh Barat Selatan (ABAS) yang awalnya bergandengan tangan dengan ALA, justru hari ini ABAS dapat disebut tinggal kenangan. Hal ini dikarenakan ada faktor lemahnya kesadaran dan daya dampak konsolidasi politik ABAS yang ditanamkan pada generasi tidak mendapat dukungan identitas yang unik. Sehingga nasib ABAS kini bagaikan angin lalu.
Lantas mengapa ALA disebut masih terbuka harapan? Jika dicermati secara politik identitas yang bergerak senyap, semua wilayah/kabupaten yang menjadi basis ALA masih cukup kuat untuk bertahan pada pengakuan bahwa ALA hadir bukan semata-mata karena rentang wilayah dan ketimpangan pembangunan, melainkan daya sulut ALA di akar rumput jugas diperkuat oleh faktor kultur dimana masyarakat di kawasan ALA secara tersirat masih berpegang teguh pada kesadaran politik bahwa Aceh berbeda dengan wilayah “tengah-tenggara-perbatasan”. Perdebatan bahasa, suku dan etnis dan agama terkait orang Aceh di wilayah “tengah-tenggara-perbatasan” belum usai pada kesimpulan nasionalisme-keacehan.
Kemudian, ALA sebagai harapan atau satu-satunya kunci pencapaian kesejahteraan bagi masyaralat kawasan ALA telah membentuk semacam cita-cita bersama, mendarah daging dan turun-temurun. Termasuk posisi generasi milenial dan generasi X, Y dan Z di kawasan ALA tampak masih satu tarikan nafas terkait betapa pentingnya pewrwujudan ALA bagi kesejahteraan politik masyarakat dan ruang politik masyarakat pinggiran, terisolir dan cenderung terabaikan dalam panggung politik Provinsi Aceh hari ini.
Potensi politik senyap ALA yang disampaikan di atas tentu tidak dapat dipisahkan dengan mulai memanasnya kontestasi pemilihan gubernur (Pilgub) Aceh 2024. Selain faktor mendongkrak elektoral untuk kemenangan pasangan gubernur Aceh 2024, juga dikarenakan faktor keterwakilan wilayah ALA dalam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh belum mendapat tempat yang strategis dalam arsitektur pembangunan Aceh secara keseluruhan. Dominasi pasangan gubernur dan wakil gubernur Aceh masih didominasi dari kalangan pantai utara dan sedikit lebih dari pantai barat selatan. Sehigga potret politik elektoral di Aceh masih ada peran dominasi wilayah tertentu. Ketika hal ini tidak dibongkar dengan meletupkan aspirasi masyarakat ALA yang masih terpendam rapi, maka elite-elite di kalangan “tengah-tenggara-perbatasan” akan selalu menjadi pasukan “hore-hore” politik dengan tidak menyebutnya sebagai penonton di provinsi yang penuh hasrat senstralistik politik level lokal.
Situasi dan kondisi politik sedemikian tentu menciptakan geopolitik dan political will bagi ALA yang semakin terjepit meski kekuatan ALA masih mengakar kuat di masyarakatnya. Aceh akan “dibelah” demi keadilan, pemerataan dan kesejahteraan. Begitulah keseimpulan kasar dari politik kawasan ALA dalam momen politik Pilgub Aceh 2024.
Dalam konteks mencermati ALA dari sisi sentralistik “politik Banda Aceh” memang terlihat tenang, ibarat melihat permukaan lautan yang tampak begitu santai dan senyap, namun didasarnya terjadi gejolak arus yang barangkali tidak dapat dipahami bahkan tidak masuk dalam logika politik di kalangan arus “politik Banda Aceh” yang penuh daya politik sentralisti level lokal. Disadari atau tidak, dominasi secara berlebihan dari apa yang disebut sebagai arus “politik Banda Aceh” inilah membuat daya picu perlawanan politik senyap wilayah “tengah-tenggara-perbatasan” terus berkobar dari dalam.
Pada situasi politik kerakyatan dan politik identitas ini bahwa dalam momen Pilgub Aceh 2024 potensi politik senyap ALA ini hendak dibawa kemana? Akan dikelola semacam apa? Dibiarkan tidak mungkin, jika diakomodir pun harapan palsu akan selalu ada. Artinya, mewaspadai akan adanya politik kebijakan kesejateraan masyarakat “tengah-tenggara-perbatasan” dalam panggung Pilgub Aceh 2024 jangan sempat menjadi politik kosong dengan tidak menambah catatan rekam jejak seperti Keledai jatuh di lubang yang sama secara bertubi-tubi dan secara masa ke masa.
Leave a Review