Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
Dominasi perilaku publik akhir-akhir ini nyaris tak terlihat. Muncul sebagai akibat ketidakmampuan menciptakan keadilan dan menyebar dalam ikut permainan politik yang diciptakan pemilik modal. Dominasi perilaku tersebut ditandai dengan adanya peran publik bebal yang tanpa disadari menjadi faktor sulitnya membuka ruang bagi perbaikan sosial politik.
Publik bebal merupakan suatu keadaan publik di mana publik tidak lagi memiliki kemampuan dan kesadaran untuk berkontribusi dalam upaya perbaikan politik. Alih-alih memberi peran dan tanggung jawab sosialnya melalui masa transisi politik, justru publik bebal terperosok ke dalam objek permainan politik yang penuh manipulatif dan anti kesejahteraan umum.
Tidak berdayanya kemampuan dalam merekonstruksi politik oleh publik kemudian menjadikan publik tanda sadar berbondong-bondong menuju jalan yang disebut sebagai “apa kehendak penguasa”. Penguasa akan selalu diisi oleh yang memiliki modal lebih, sehingga kekuasaan dapat diwariskan ke siapa pun, baik ke anak, manantu bahkan cucu meskipun proses politiknya dianggap demokratis.
Suburnya perilaku bebal di kalangan masyarakat tentu menjadi kekuatan bagi elite untuk terus menjamah kekayaan alam secara politik dan hukum demi kepentingan pribadi dan segelintir kelompok. Partisipasi publik untuk perubahan dan perbaikan berubah menjadi konsolidasi publik memenuhi kehendak penguasa. Posisi tawar publik tidak lagi berharga dalam setiap agenda politik dan pembangunan karena struktur dan peran publik berada di bawah kendali elite.
Publik bebal tidak berani menciptakan arus selain arus penguasa, perlahan-lahan terpaksa ikut keinginan penguasa dan pada tahapan lanjutannya berubah menjadi kebiasaan baru. Tunduk dan patuh pada penguasa adalah hal yang biasa bagi publik yang bebal. Publik bebal tidak lagi percaya harapan untuk mencapai kesejahteraan bersama, jika tidak berharap pada penguasa, maka salah satu pilihannya adalah menyelamatkan diri sendiri dari kekacauan politik yang diciptkan penguasa.
Jalur tempuh politik masyarakat bebal tidak ada lain selain garis komando, menungguh arahan yang mendominasi, seolah-olah publik telah menjadi prajurit semunya. Kebaikan dan etika dianggap lagi tidak begitu penting dalam menghadirkan cita-cita kesejehteraan umum. Justru yang diharapkan oleh masyarakat bebal adalah dapat hidup di bawah kendali manipulatif menguasa meskipun masyarakat mendapat bagian sisa-sisa dari program pembangunan.
Dalam fenomena publik bebal ini, keuntungan dari program pembangunan telah dipotong atas sebelum mengalir ke semua lapisan masyarakat. Tidak tepat sasaran dalam egenda pembangunan kemudian dianggap wajar dan tanpa ada perlawanan dari publik. Sebab dalam pandangan publik bebal, perlawanan adalah kesadaran yang penuh ilusi. Lebih baik menonton dan mengikuti cara main penguasa dari pada berusaha melawan untuk kebaikan bersama secara jangka panjang. Demikianlan pandangan politik publik bebal yang semakin mewabah hari ini.
Demikian halnya dengan momentum pemilihan kepala daerah (pilkada), aspirasi masyarakat tidak begitu berharga selain aspirasi elite dan partai politik (parpol). Publik bebal tidak lagi memiliki pemahaman antara di mana kepentigan pemodal, dengan kepentingan parpol dan kontestan pilkada. Semua kepentingan tersebut menjadi abu-abu yang kemudian masyarakat digiring untuk terus mendukung meski kesadaran palsu terus ditanamkan dalam masyarakat bebal. Sehingga dalam setiap pesta politik, publik bebal selalu disuguhi oleh praktik politik kucing dalam karung. Publik bebal selalu kalah main dengan para pemburu rente. Publik bebal selalu kalah dengan kepentingan politik keluarga. Publik bebal akan selalu menjadi tumbal politik di setiap perhelatan pesta politik.
Sementara ini, melihat arsitektur politik nasional dan daerah, belum ada penampakan bagi hadirnya obat penawar untuk menyelamatkan publik bebal. Para politisi yang mendapat sokongan modal besar telah sukses merancang dan merekayasa kesadaran dan perilaku publik bebal. Artinya, keberadaa publik bebal adalah proyek yang mesti dirawat secara berkelanjutan. Publik secara umum nyaris menjadi bagian dari struktur politik internalnya, sehingga publik bukan lagi mejadi bagian struktur bebas alamiah mengikuti kehendak publik, melainkan bergerak sesuai remot kontrolnya penguasa dan pemasok modalnya.
Untuk menyelamatkan publik bebal tentu membutuhkan semangat gotong-royang dan pendidikan politik publik yang progresif. Kesadaran tentang peran publik dan tanggung jawab sosial mesti dikembalikan menjadi panglima kebijakan publik. Sehingga publik bebal tidak lagi berpandangan dan bergantungan pada siapa penguasa dan siapa yang berharta. Meningkatnya kesadaran palsu yang mengkristal dalam benak publik bebal tanpa disadari telah menambah daftar panjang bagi ancaman Indonesia menuju perbaikan sosial dan politik di hari ini maupun di kemudian hari.
Leave a Review