Oleh Zulfata
(CEO Media katacyber.com)
Mencermati kepemimpinan politik tentu tidak lepas dari peradaban, meskipun ada kesan bahwa problem kepemimpinan politik hari ini enggan belajar dari peradaban. Jika kita buka lembaran sejarah politik pada masa keemasannya suatu kerajaan atau dinasti politik, maka kita dapat menemukan pada masa itu terdapat kriteria atau syarat untuk menjadi pemimpin. Dalam peradaban politik wilayah timur (Islam) kita banyak menemukan berbagai teori progresif pada masanya terkait kriteria yang boleh diusung untuk menjadi pemimpin.
Dalam kontekstualisasinya terkait Aceh perpolitikan Aceh hari ini, khususnya Pilgub Aceh 2024, selain Aceh juga pernah menjadi sebagai wilayah yang menerapkan politik kerajaan (dianggap hebat pada masanya), juga Aceh pernah memiliki apa yang disebut kesepakatan politik berbasis kerakyatan. Pada posisi ini rakyat Aceh pernah berada di posisi dipimpin oleh pemimpin yang sesuai dengan kriteria untuk menjadi pemimpin.
Tanpa bla-blakan menerangkan kriteria kepemimpinan yang dimaksud, sebagai dampak proses dan dinamika politik yang melanda Aceh secara kekinian menjadikan perhelatan kepemimpinan politik (pemerintahan) yang mengalami babak belur. Bayangkan misalnya potret kepemimpin di Aceh beberapa tahun terakhir, baik terkait kinerja gubernur, bupati/wali kota, hingga kepala desa di Aceh. Sungguh tidak keliru mengatakan bawah dominasi yang memimpin di Aceh saat ini cenderung tidak sesuai dengan kriteria untuk menjadi pemimpin.
Jika kriteria soal kejujuran sangat berat, maka soal cerdas atau berakal sehat untuk menjadi pemimpin di Aceh barangkali masih bisa diterapkan di Aceh. Sehingga di Aceh tidak diisi oleh para kontestan calon pemimpin yang memiliki akal atau otak pengangguran seperti yang marak terjadi di berbagai wilayah di Aceh hari ini.
Adapun tafsiran atau makna dari otak pengangguran penimpin dalam kajian ini adalah di mana kondisi seseorang calon pemimpin atau sedang memimpin yang tidak memiliki rekayasa politik untuk menurunkan angka pengangguran di zona kekuasaannya. Sehingga kata pengangguran tidak lagi menjadi alat untuk mengelabui masyarakat di Aceh di tengah APBA, Otsus, yang berlimpah, dan kekayaan alam Aceh dan potensi yang dimilikinya sangat luar biasa strategisnya jika dibandingkan daerah lain di Sumatera.
Namun demikian, apa yang terjadi di Aceh hari ini, justru tampak lari dari sejarah politiknya sendiri. Artinya, rakya Aceh masa lalu masih mempertimbangkan kriteria calon pemimpin, namun hari ini, masih ada dominasi fraksi politik yang berbondong-bondong tanpa malu pada rakyat Aceh untuk mengusung calon penimpin yang sedikitpun tidak memiliki kriteria pemimpin yang masih jauh dari kata layak, baik kriteria dari komunikasi politiknya maupun kemampuannya dalam menghadirkan solusi yang terukur untuk berbagai lintas problem atau beban pemerintahan Aceh hari ini.
Untuk itu, melalui kajian politik singkat ini, penulis berusaha membuka ruang diskursus publik di Aceh untuk kembali mengadopsi penalaran politik ketika hendak memilih calon pemimpin di Aceh, paling tidak, jika tidak menemukan kriteria penumpukan secara sempurna untuk Aceh, maka janganlah mendukung atau memilih pemimpin yang sudah terbukti rekam jejaknya karena memimpin pasukan politiknya dengan otak pengangguran.
Leave a Review