Editorial ǀ 17 Maret 2025
Indonesia nyaris tidak bisa lepas dari dwifungsi TNI/Polri. Runtuhnya rezim Soeharto bukan jaminan korupsi dan otoriter melemah. Reformasi bukan pula pintu awal langgengnya demokrasi Indonesia. Sebaliknya, orang-orang yang terlibat dalam gerakan reformasi justru menjadi prajuritnya penguasa dalam membunuh demokrasi dari dalam.
Dari sini, kita tidak pernah tuntas menemukan jawaban apakah yang membunuh demokrasi itu adalah otoriter di kalangan militer? jika memang hal itu benar, lantas mengapa ketika Indonesia dipimpin oleh dari kalangan sipil justru semakin menggandakan otoritarian secara massif di seluruh pelosok negeri? Juga mengapa dinasti politik semakin mewabah saat Indonesia dipimpin oleh sipil?
Dari beberapa pertanyaan di atas dapat ditarik benang merah bahwa sejatinya bukan soal militer atau sipilnya, melainkan soal sistim politik Indonesia yang menjadikan Indonesia semakin babak belur hari ini. Ketidapercayaan publik terhadap penguasa semakin kering. Monopoli kekuasaan semakin kencang, produk aspirasi rakyat setelah reformasi secara perlahan-lahan lumpuh dan tak berguna. Alat negara dan kelengkapan lembaga negara kemudian dirancang dan dialihfungsikan untuk menyelamatkan trah karir politik keluarga dari kalangan sipil yang awalnya mewakili aspirasi wong cilik.
Tercatat dalam sejarah politik Indonesia, runtuhnya kepemimpinan politik militer dianggap sebuah kesuksesan reformasi, sehingga saat kursi presiden RI dijabat oleh kalangan sipil disebut sebuah kebangkitan rakyat. Namun pada akhirnya, rakyat justru menemukan kematian demokrasi dengan waktu yang sangat singkat dan sadis.
Bayangkan misalnya, betapa banyak pertumbahan darah, harta dan waktu yang dipertaruhkan demi bangsa dalam memperjuangkan tuntutan reformasi, namun pada akhirnya dalam sekejap tuntutan reformasi tersebut telah berubah menjadi cangkang kosong yang kemudian diisi oleh “anak, besan dan menantu” di saat Indonesia dipimpin oleh seorang sipil. Lantas mengapa publik Indonesia hari ini masih berkutat soal mana yang lebih baik kepemimpinan militer atau sipil? Padahal, dari dua rekam jejak sejarah politik istana Indonesia telah membuktikan dua model kepemimpinan tersebut tidak lebih baik dalam memperpanjang umur demokrasi Indonesia guna mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Kini, stiqma politik kalangan militer dan sipil terus mengalami baku hantam, yang satu kalangan menyebut publik yang anti kemepimpinan militer adalah akal kampungan. Sebaliknya, sipil yang menyebut militer tidak paham aturan adalah militer yang rakus jabatan. Sampai kapan Indonesia rakyat dan militernya akur dalam memperkuat stabilitas politik bangsa jika di tahun 2025 potret rivalitas militer dan rakyat masih seperti ini?
Lain lagi misalnya saat RUU TNI tidak lagi dibahas secara transparan di gedung parlemen, melainkan dilaksanakan di hotel mewah. Bukan saja demokrasi Indonesia telah mati, tetapi juga dibuktikan dengan praktik pengkhianatan yang dilakukan wakil rakyat secara terang-terangan di republik ini?
Maka dari itu, jika konstitusional dilanggar, jika aturan dikebut tanpa benar-benar meyerap aspirasi rakyat dan sesuai dengan kebutuhan mendasar kerakyatan hari ini? Untuk apa sebenarnya makna memberi makanan bergizi gratis dan membangun pendidikan rakyat itu? Jangan-jangan ada misi yang tidak tulus yang sedang dijalankan oleh beberapa presiden yang disebut sedang kongkalingkong di balik potret pelaksanaan program prioritas pemerintah hari ini.
Uniknya, di balik sipil dan militer terus mengalami gesekan politik jabatan strategis, di situ pula terdapat para konglomerat secara terang-terangan terlibat aktif dalam menentukan arah kebijakan negara. Seolah-olah rakyat diposisikan sebagai komoditi yang dapat dipermainkan oleh dominasi partai yang berada di parlemen. Partai politik benar-benar menjadi lembaga memanipulasi aspirasi publik. Dengan mudahnya menggelontorkan sejumlah uang, maka dapat dipastikan seseorang tersebut menjadi wakil rakyat dan kemudian menyembah pemilik modal. Sehingga, parlemen kini telah berubah sebagai instrumen utama dalam membuat UU sesuai permintaan penguasa.
Secara kasat mata, memang dominasi politik militer memang tidak begitu nampak, namun kenyataannya hari ini, tanpa kita sadari adalah kolaborasi sipil militer dan konglomerat semakin hari semakin membuat potret politik Indonesia tidak benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Influenser dan media arus utama yang dibayar mahal oleh penguasa telah berhasil menghapus kewarasan dalam mengelola negara susuai cita-cita proklamasi Indonesia.
Seaindainya Jendral Sudirman, dan tokoh-tokoh besar TNI yang pro terhadap rakyat terdahulu masih hidup dan menyaksikan cara main relasi politik militer-konglomerat-sipil hari ini, mungkin mereka dapat saja menyebut kita saat ini sedang mengalami praktik menjajah rakyat sendiri.
Akhirnya, apakah Indonesia tidak dapat lagi dibenahi karena dinasti politik semakin menguat, konglomerat semakin mudah mengatur pejabat, tanah negara jadi tanah pribadi, TNI dirancang jadi politisi, parpol jadi perusahaan pribadi, sipil semakin takkaruan? Sungguh #IndonesiaGelap itu nyata saat ini. [Zulfata]
Leave a Review