Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
“Cok UUPA Sipak Lam Pageu Keudeh” (Zakaria Saman_Bekas Menteri Pertahan Gerakan Aceh Merdeka)
Pernyataan di atas dapat diartikan sebagai simbol atau keterwakilan rakyat Aceh terkait babak belurnya eksistensi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) hari ini. Kebijakan yang lahir dari turunan Undang-Undang No. 11 Tahun 2026 tersebut sejak terbentuk hingga upaya implementasi (penerapan maupunarah revisi) nyaris identik dengan problematic akut bagi rakyat Aceh sendiri, baik dari sisi implementasi empat poin keistemawaanya maupu dari 26 kekhususannya.
Zakaria Saman, atau populer dipanggil sebagai Apa Karya kembali menyorot UUPA dengan kalimatnya “Cok UUPA Sipak Lam Pageu Keudeh” secara bahasa, kalimat tersebut memiliki arti “ambil UUPA itu, kemudian tendang ke dalam pagar”. Namun secara makna sosiologisnya dapat dipahami bahwa keberadaan UUPA tersebut saat ini dianggap tidak lagi berguna bagi rakyat Aceh sesuai cita-cita hadirnya UUPA.
Pernyataan itu secara tidak langsung menggambarkan sekaligus mewakili eksperasi rakyat Aceh dalam merespons kehidupan sosial di Aceh secara kekinian. Ketika melihat atau memakai sesuatu yang tidak bermanfaat atau merugikan/berbahaya bagi masyarakat, maka sesuatu itu harus dibuang. Sehingga secara filsafat Acehnya, kata “lam pageu” adalah suatu gambaran tempat pembuangan bagi sesuatu yang dibuang dengan diiringi dengan motif kekesalan dan rasa geram.
Mungkin bagi masyarakat luar wilayah Aceh tidak begitu mendalami makna yang terkandung dalam pernyatan Apa Karya tersebut, begitu juga dengan generasi Z Aceh hari ini yang terkesan kering meresapi pemaknaan dalam satu pernyataan dalam bahasa Aceh. Sederhanya, penulis ingin sampaikan bahwa kedalaman pernyataan Apa Karya tersebut adalah bermuara pada ketidakkaruan perpolitikan Aceh yang diakibatkan jauhnya praktik melenceng arah dan sikap politik Aceh dari apa yang dicita-citakan pasca perdamaian RI-GAM, atau dikenal sebagai cita-cita MoU Helsinki.
Beberapa faktor atau layaknya UUPA tersebut di “sipak lam pageu” di antaranya adalah terdapat berbagai butir dari poin 26 kekhususan Aceh tersebut justru menjadi biang kerok pemicu konflik bagi internal rakyat Aceh. Misalnya keberadaan Himne Aceh yang hingga kini masih mengalami penolakan dari beberapa kabupaten di Aceh. Sebut saja misalnya Kabupaten Gayo Lues dan sekitar hingga kini masih disebut-sebut tidak menerima melantunkan himne Aceh, karena himne Aceh tersebut justru dianggap tidak menghormati adat setempat. Lantas adat mana yang ingin diperkuat sesuai poin keistimewaan Aceh tersebut?
Kemudian juga dari sisi empat poin keistimewaan, dapat dicermati dalam persoalan pelaksanaan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan dayah. Berbagai praktik penerapan pendidikan di Aceh jusru dijadikan sebagai ladang korupsi. Salah satu faktanya adalah kasus korupsi beasiswa (juga aktor intelektualnya masih berkeliaran di kursi panas) hingga maraknya potensi penyalahgunaan anggaran dayah di berbagai wilayah di Aceh. Semua ini pada akhirnya, setelah 17 tahun UUPA dianggap ada di Aceh, justru tidak mempengaruhi kualitas pendidikan di Aceh.
Belum lagi soal politik terkait pelaksanaan Pilgub/Pilkada di Aceh, soal KKR, soal BRR, soal peran ulama, soal masa jabatan kepala desa, soal dana otsus, soal penerapan beragama, soal LWN, soal MAA, soal partai lokal dan seterusnya. Jika semua soal yang disinggug melalui tulisan ini justru bersatu menjadi momok yang berbahaya bagi cita kesejahteraan Aceh ke depan. Mengapa dapat disebut sedemikian? Karena nyaris semua soal di atas menjadi bahan bakar dalam menciptakan kesenjangan sosial di Aceh, justru menjadi modal dalam mengembangkan kemiskinan secara terstruktur dan massif di Aceh.
Dalam konteks ini pula, mungkin UUPA ada benarnya sekarang layak untuk di “sipak lam pageu”, sehingga upaya itu dapat berperan seperti mencegah atau memberantas kanker yang kemudian dapat membahayakan nyawa manusia. Artinya, dengan cepat me-“sipak UUPA lam pageu” secara tidak langsung dapat menyelamatka rakyat Aceh dari berbagai praktik orkestra pembodohan dan pemiskinan rakyat Aceh atas nama UUPA.
Disukai atau tidak, suara lantang atau pernyataan sastra politik dari Apa Karya di atas sejatinya bukanlah suara personal dari seorang bekas elite GAM yang telah bercerai-berai hari ini, melainkan suara lantang Apa Karya tersebut adalah suara dari lubuk hati yang paling dalam rakyat Aceh hari ini. Bahkan kadar objektif dari pernyataan tersebut jauh lebih jernih dan benar-benar mewakili aspirasi seluruh rakyat Aceh. Sehingga satu pernyataan yang meletup dari Apa Karya jauh lebih jujur dari pada suara-suara yang dikelola oleh anggota DPRA terpilih.
Leave a Review