Keseriusan TNGL Dipertanyakan, Aceh Tenggara Ngapain Aja?

Apriadi Rama Putra. Dok. (IST)

Oleh : Apriadi Rama Putra

Mengapa turis-turis asing sering keluar masuk ke Aceh Tenggara? Apa hanya sebatas untuk berpariwisata ke Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)? Apakah hal ini berposisi sama dengan turis-turis yang datang ke Yogyakarta dan Bali? Sampai rela menghabiskan anggaran yang banyak, atau jangan-jangan ada maksud lain? Selayaknya kita perlu tingkatkan rasa ingin tahu, bahwa ada surga di balik Gunung Leuser yang menjadi salah satu surga flora dan fauna dunia? Bahkan Mantan Presiden AS Barack Obama membuat dokumenter yang menyoroti taman nasional dunia, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser, yang berjudul Our Great National Park. (travel.detik.com).

TNGL adalah salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia seluas 1.094.692 hektare yang secara administrasi pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang terdeliniasi TNGL meliputi wilayah Aceh Tenggara , Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tamiang. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat.

Tetapi sampai saat ini mengapa hanya nama Bukit Lawang  Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara saja yang paling serius dalam membahas Taman Nasional Gunung Leuser? Apa karena Stockholder atau Pemerintahan Aceh Tenggara sendiri tidak mampu untuk merumuskan hal ini? Padahal, kalau kita cermati lebih dalam lagi, jika pemerintah Aceh Tenggara lebih serius dalam mengelola Gunung Leuser, maka ada kaitannya banyak jiwa tanpa ada terslip kata pelajar/mahasiswa di Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menganggur, yang terselamatkan dan bahkan bisa sampai menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Aceh Tenggara. Kalau Aceh Tenggara menjadi Kota pariwisata yang tepat sasaran.

Pada psosi ini, Kembali pada  dinas pariwisata pada tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan isi web resmi (https://disparpora.acehtenggarakab.go.id/halaman/tugas-fungsi). Merumuskan kebijakan teknis pelaksanaan operasional pembangunan di bidang pariwisata kepemudaan dan olahraga. Melaksanakan penyusunan program kegiatan operasional dan pembangunan di bidang pariwisata kepemudaan dan olahraga, penetapan, inventarisasi dan pengaturan objek wisata.

Menerima pendaftaran dan mengawasi berbagai usaha/industri pariwisata pemuda dan olahraga, menyelenggarakan pengeloalan pajak dan retribusi bidang pariwisata pemuda dan olahraga. Mengawasi berbagai kegiatan/event pariwisata pemuda dan olahraga masyarakat. Penyelenggaraan pembangunan dan pengembangan pariwisata pemuda dan olahraga.

Penyelenggaraan kerjasama nasional dan Internasional di bidang pariwisata pemuda dan olahraga, penyelenggaraan promosi dan pemasaran pariwisata pemuda dan olahraga. Melaksanakan pengelolaan adsministrasi umum meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, perencanaan, dan organisasi dinas.

Selanjutnya, bekerja sama dengan dinas perhubungan; dalam tugas pokok dan fungsi Dinas Perhubungan Aceh sendiri ada fungsi berkelanjutan dan memberi nilai tambah (ekonomi); dan pelaksanaan koordinasi dengan instansi dan/atau lembaga terkait lainnya di bidang perhubungan. Bisa lebih memanfaatkan pemandu wisata dan memanfaatkan putra putri daerah dan angkutan umum yang memfasilitasi turis-turis itu ke ketambe misalnya. (dishub.acehprov.go.id/profil/tupoksi).

Jadi, itu salah satu cara untuk menambahkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dan membangun Sumber Daya Manusia (SDM). Artinya, ketika itu untuk menambah kualitas SDM dan PAD sendiri kenapa tidak? Bukan malah sebaliknya defisit anggaran, minim kualitas Pemerintah Daerah seperti sekarang ini.

Sembari melindungi kenapa tidak digunakan untuk menambah PAD, seperti Taman Nasional Bromo Tengger Semeru misalnya. Padahal kalau kita lihat secara detail banyak konsevasi-konservasi kelas internasional yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser. Atau jangan-jangan ada apa? Apa karena di Taman Nasional Gunung Leuser tidak bisa dibangun yang berhubungan dengan infrastruktur yang harus diperbaiki dari tahun ke tahun. Contohnya seperti jembatan, rabat beton dan yang bersangkut dengan semen dan pasir, saya rasa tidak juga.

Ketika pemuda atau mahasiswa beraudiensi ke dinas terkait untuk kemajuan TNGL sering kali mendapatkan alasan yang tidak pembangun marwah sebagai pemuda dan mahasiswa asli putra putri daerah dengan pernyataan yang menjijikan belum ada SDM yang mampu mengelola itu semua, artinya kalau bukan pemangku kebijakan yang mendorong generasi mudanya sebagai putra putri daerah  untuk membangun daerah sendiri, terus siapa lagi? Sampai dengan Imam Mahdi keluar pun daerah ini akan seperti ini terus menerus (stagnan), jalan ditempat tanpa gerak maju jalan.

Sebagaik generasi muda yang peduliu daerah, kami resah dengan regulasi yang kacau dan rusak, membiarkan turis-turis asing yang tujuannya pun tidak jelas dengan alibi berwisata sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan ada yang sampai berbulan lamanya. Tanpa diawasi yang datang silih berganti seakan-akan mereka adalah pribumi putra dan putri asli tanoh alas metuah bumi sepakat segenep.

Coba bangun lagi regulasi mengikuti kota-kota wisata lainnya; seperti Yogyakarta dan Bali. Disana jangankan turis-turis mancanegara, bahkan turis-turis lokalpun diawasi dengan regulasi yang ketat. Baik rasanya untuk pemerintah Aceh Tenggara lebih menyeroti hal ini, terlebih lagi ini berhubungan dengan PAD. Jangan hanya bangun pagi ngurus jembata,  tidur siang mimpikan rabat beton, dan ngopi malam diskusi tentang perbaiki jalan.

Cobalah sekali-sekali Pemerintah Aceh Tenggara berfikir untuk menciptakan terobosan kebijakan yang partisipatif dengan kelompok pemuda dan masyarakat yang produktif dan visioner. Sehingga Pemerintah Aceh Tenggara tidak seperti hari ini, terkesan ugal-ugalan dalam mengurus potensi daerahnya sendiri.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi