Oleh: Apriadi Rama Putra
Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan, mengenang pertempuran dahsyat di Surabaya tahun 1945. Dalam peristiwa heroik ini, Bung Tomo dan para pejuang Surabaya melawan tentara Sekutu yang hendak menguasai kembali Nusantara. Di bawah kepemimpinan Bung Tomo, pekikan “Merdeka atau Mati!” menggema ke seluruh penjuru kota. Suara itu tak hanya menggugah rakyat Surabaya, tetapi juga membakar semangat seluruh negeri untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan.
Namun, ironisnya, kini 10 November seperti hanya menjadi ritual yang diselubungi ingatan samar. Pidato-pidato di upacara, patung-patung pahlawan, serta liputan media yang dipenuhi nostalgia, seakan menjadikan Hari Pahlawan sebagai sekadar penghormatan kosong. Apakah kita hanya mengenang peristiwa tanpa memahami nilai perjuangan itu dalam konteks zaman ini?
Hari Pahlawan bukan hanya untuk mengenang keberanian para pahlawan, tetapi seharusnya menjadi momen refleksi tentang apa yang mereka perjuangkan. Bung Tomo, beserta ribuan pemuda yang gugur di Surabaya, memperjuangkan kemerdekaan—yang pada dasarnya adalah kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dan bebas dari segala bentuk penindasan. Namun, hari ini, makna kemerdekaan yang mereka perjuangkan tampaknya mulai tergantikan oleh bentuk-bentuk “penjajahan” baru.
Jika di masa lalu penjajah datang dalam wujud pasukan dengan senjata, kini “penjajahan” datang dalam bentuk yang berbeda. Penerapan kebijakan yang tak berpihak pada rakyat kecil, ketimpangan sosial yang kian melebar, dan korupsi yang tak kunjung reda, semua ini adalah bentuk-bentuk penjajahan modern yang merenggut kesejahteraan dan kemerdekaan sejati masyarakat kita. Para pahlawan dulu menolak ultimatum dari Inggris, simbol perlawanan terhadap dominasi asing. Tapi hari ini, kita justru terperangkap dalam “ultimatum” kapitalisme dan birokrasi yang korup.
Ada pandangan bahwa memperingati Hari Pahlawan sebagai bentuk penghormatan sudah cukup, bahwa momen-momen sejarah seperti ini memang pantas untuk dikenang dan tidak perlu diberi interpretasi berlebihan. Bagi sebagian orang, upacara di sekolah atau instansi, serta hiasan bunga di monumen pahlawan, sudah merupakan bentuk penghargaan yang layak.
Namun, pandangan ini bisa dibilang terlalu naif. Sekadar mengenang tanpa refleksi akan membuat peringatan Hari Pahlawan menjadi hampa makna. Sejarah sudah membuktikan, seperti kisah dalam “Animal Farm” karya George Orwell yang menggambarkan bagaimana para pejuang akhirnya berkhianat terhadap tujuan mulia mereka. Ketika bangsa hanya mengenang tanpa merenung, nilai perjuangan lama-kelamaan akan dilupakan, dan yang tersisa hanyalah upacara-upacara formal tanpa makna.
Kisah perjuangan melawan penjajahan bukanlah sesuatu yang unik di Indonesia. Dalam sejarah dunia, kita mengenal Nelson Mandela yang berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan. Mandela tidak hanya dikenang sebagai sosok yang membebaskan bangsanya, tetapi sebagai inspirasi bagi mereka yang ingin menentang segala bentuk ketidakadilan. Begitu pula dengan Mahatma Gandhi yang melawan dominasi Inggris di India melalui cara non-kekerasan. Keteladanan mereka tidak sekadar dikenang, tetapi dimaknai dan dipraktikkan hingga kini.
Lalu, di Indonesia, apakah Hari Pahlawan hanya kita maknai sebagai tanggal merah dan seremoni belaka? Jika ya, mungkin kita perlu belajar dari Mandela atau Gandhi yang menolak “penjajahan” dalam wujud apapun, baik fisik maupun ekonomi.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar Hari Pahlawan benar-benar bermakna, bukan sekadar ritual tahunan. Pertama, pemerintah seharusnya memastikan bahwa peringatan ini tidak hanya berhenti pada seremoni. Program-program yang berfokus pada kesejahteraan rakyat, pemberantasan korupsi, dan peningkatan mutu pendidikan, misalnya, adalah bentuk nyata menghargai perjuangan para pahlawan. Jika para pemimpin negeri ini benar-benar peduli pada nilai-nilai yang diperjuangkan para pahlawan, seharusnya mereka memprioritaskan kebijakan yang membela kepentingan rakyat.
Kedua, masyarakat perlu diberi ruang untuk turut serta dalam memaknai Hari Pahlawan. Di banyak negara, peringatan hari kemerdekaan atau hari pahlawan sering dijadikan ajang untuk diskusi publik, melibatkan warga untuk mengeluarkan ide-ide mereka tentang bagaimana memperbaiki negara. Kegiatan semacam ini akan memberikan arti lebih dalam pada peringatan Hari Pahlawan, bukan hanya perayaan satu hari, tetapi sebagai pengingat sepanjang tahun.
Pada intinya, maksud dari Hari Pahlawan adalah agar kita tak melupakan sejarah, agar kita menghargai apa yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Namun, tujuan itu akan sia-sia jika kita hanya menjadikan Hari Pahlawan sebagai momen sentimental semata. Pahlawan yang gugur demi kemerdekaan bukan sekadar nama di batu nisan. Mereka adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan dalam segala bentuknya.
Kita memerlukan keberanian untuk berani “menjajah” ulang diri kita, untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang masih kita temui sehari-hari. Tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi menghidupkan kembali jiwa-jiwa perlawanan itu dalam konteks zaman ini.
Hari Pahlawan bukan hanya soal menabur bunga di atas makam. Ia adalah momen untuk berani bertanya, apakah perjuangan mereka sudah kita lanjutkan? Apakah kita sudah bebas dari segala bentuk penindasan, baik dari dalam maupun luar? Kita punya tugas moral untuk menjadikan tanggal 10 November lebih dari sekadar ritual. Inilah tugas kita, sebagai generasi penerus, untuk meneruskan apa yang mereka mulai, bukan sekadar mengenang tanpa makna.
Sebagaimana kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Tetapi, menghargai bukan hanya mengenang. Menghargai adalah dengan meneruskan perjuangan mereka, dengan melawan bentuk-bentuk penjajahan baru yang ada di sekitar kita.
Leave a Review